Share

Bab 3

Sandra sangat terkejut dengan kedatangan keenam orang itu. Dalam kepanikannya, dia berkata kepada mereka, "Tunggu sebentar, tunggu sebentar, aku akan segera mengambil uangnya!"

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Sandra bergegas masuk dan keluar lagi dengan membawa sebuah kantong plastik yang agak usang di tangannya.

Di dalam kantong plastik tersebut, terdapat banyak uang kertas 10 ribu, 20 ribu rupiah dan juga banyak koin seribu. Namun, hanya ada sekitar tujuh atau delapan lembar uang kertas berwarna merah.

"Sial, lagi-lagi uang receh!"

Edi, pria bermuka bekas bacok itu geram melihat isi kantong plastik. Dia berkata kepada salah satu anak buah di sampingnya, "Hitunglah itu!"

"Sampai kapan aku harus menghitung 10 juta ini?" keluhnya.

Rekannya agak kesal, tetapi tetap berjalan ke samping dan melakukan tugas yang disuruh.

"Tunggu sebentar! Kapan ibuku meminjam uang darimu?"

Julius berdiri di depan Sandra, memperhatikan situasi ini dengan wajah serius.

"Oh, aku pikir kamu adalah pengemis yang datang untuk meminta makanan. Jujur, aku tidak mengenalimu jika kamu tidak mengatakannya. Bukankah kamu bajingan yang pernah melempar botol alkohol ke arah Tuan William?"

Edi mengejek dengan senyum sinis, setelah berjalan lebih dekat dan melihat dengan seksama.

"Julius, akhirnya kamu dibebaskan. Aku harus mengakui bahwa aku mengagumi keberanianmu. Kamu bahkan berani melempar Tuan William tanpa tahu apa-apa tentang latar belakangnya."

Julius menjawab dengan tenang, "Kejadian yang sudah berlalu biarlah berlalu, tidak ada yang perlu disesali!"

Sambil berkata begitu, Julius mendekati Edi dengan tatapan tajam, menunjuk ke uang di dalam kantong plastik di tanah dan bertanya, "Ada apa dengan uang ini?"

Edi tersenyum dingin dan membalas, "Apa? Kamu tidak tahu? Apa kamu pikir kamu bisa melempar Tuan William tanpa ada konsekuensinya? Keluarga Lafau memintamu untuk mengganti kerugian sebesar tiga milyar rupiah. Tunanganmu bahkan sudah menjual rumah yang akan ditempatimu setelah menikah kepada Tuan William dengan harga dua milyar. Jadi, untuk satu milyar sisanya, bisa kalian bayar dalam bentuk cicilan."

Pria itu kemudian menggaruk dagunya, "Selama lima tahun terakhir, ayah dan ibumu telah membayar sekitar 480 juta rupiah, jadi masih ada sisa utang 520 juta rupiah. Hehe, terlepas dari alasan apa pun, bagus juga kamu sudah keluar. Kamu bisa membantu melunasi utang sekarang!"

Sambil duduk di lantai dan menghitung uang, anak buah itu mengeluh, "Yang benar saja! Setiap kali mereka membayar dengan setumpuk uang receh ini. Kita harus menghabiskan banyak waktu untuk menghitungnya!"

"Kalian tidak perlu menghitung lagi. Totalnya adalah 7,7 juta rupiah!"

Sandra berkata dengan rasa takut.

"Sialan! Masih kurang!"

Pria yang duduk di lantai dengan tato di bahunya melemparkan uang yang ada di tangannya ke tanah dan berdiri sambil menatap Sandra dengan marah. "Kamu ingin mati, ya? Setiap kali uangnya selalu tidak cukup!" teriak pria itu.

"Aku rasa kalian yang ingin mati!"

Julius membalas dengan marah sambil menatap tajam preman-preman itu. Dia tahu bahwa uang itu pasti adalah hasil jerih payah orangtuanya.

"Kamu minta dihajar, ya?"

Keenam orang itu segera mengelilinginya.

Edi juga berkata dengan nada mengancam, "Nak, aku sudah haus untuk berkelahi, sudah lama tidak melihat darah!"

"Jangan! Jangan sakiti anakku!" Sandra memohon dengan khawatir.

Sandra sangat ketakutan dan segera menarik Julius ke belakang, lalu membuka amplop yang dipegangnya. Di dalamnya, selain ada surat, terdapat beberapa lembar uang seratus ribu. Dengan tangan gemetar, Sandra menghitung uang tersebut, lalu meletakkannya di dalam kantong plastic di lantai.

"Di sini, ada tambahan dua juta lagi. Jadi, totalnya sekarang 9,7 juta. Hanya kurang 300 ribu. Mohon, jangan pukul anakku!"

"Hehe, nenek tua, bagus sekali, ya. Apa kamu berniat untuk menyimpan sedikit uang untuk dirimu sendiri? Kalau kami tidak main tangan, sepertinya kamu tidak berencana mengeluarkan uang dua juta itu, ‘kan?"

Edi tertawa dingin, kemudian berkata dengan nada tinggi, "Apakah kamu mencoba bermain cerdas di depan kami?"

Julius merasa amarahnya membara dalam hati, tetapi dia menahannya karena tidak ingin membuat Sandra khawatir. Sebaliknya, dia tersenyum kepada pria tersebut dan berkata, "Hehe, Bang, kami masih memiliki utang 520 juta, ‘kan? Jangan khawatir, uang sekecil ini bukanlah masalah. Kami akan melunasi utang ini pada kalian, tidak perlu merusak hubungan kita."

"Uang sekecil ini, ya? Orang miskin ini berani menganggap 520 juta sebagai uang kecil. Kalau kamu menganggap ini uang kecil, mengapa kamu tidak langsung membayarnya sekarang?"

Mata Edi dipenuhi penghinaan saat menatap Julius dan kelima orang lainnya juga bergabung menertawai Julius.

Julius mengambil kantong plastik yang ada di lantai dan memberikannya kepada Sandra yang terlihat ketakutan. "Ibu, tolong masuk dan tunggu aku di dalam. Aku ada uang, aku akan membawa mereka ke bank untuk mengambilnya," ujar Julius.

"Julius, dari mana kamu mendapatkan uang? Jangan berbohong pada ibu, ya?"

Sandra melihat anaknya dengan khawatir.

"Ibu, jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja. Masuklah," kata Julius sambil menopang Sandra dan membawanya masuk ke dalam rumah.

Tidak lama kemudian, Julius kembali keluar dengan selembar kartu bank dan menunjukkannya ke depan orang-orang itu. "Lihat ini. Jangan meremehkan orang. Hanya 520 juta, ‘kan? Ayo ikut aku!" ujar Julius.

"Dasar anak ini, apa dia benar-benar punya uang?"

"Tidak masalah, lebih baik kita terima semua uangnya sekarang, tidak perlu sering-sering datang ke sini. Kenapa harus takut?"

Beberapa preman itu mengikuti Julius dan akhirnya berhenti di bawah sebuah pohon beringin besar di tikungan jauh. Salah satu dari mereka bertanya, "Apa maksudmu, bocah? Bukankah kita harus pergi ke bank?"

Senyum tipis menghiasi sudut bibir Julius saat dia berbalik dan berkata dengan dingin, "Kamu seringkali menyakiti ibuku, memanggilnya nenek tua dan sekarang kamu ingin memeras uangnya? Bermimpi saja kalian!"

"Sialan! Kamu berani mempermainkanku?"

Wajah Edi berubah merah, urat-urat di dahinya tampak membesar.

"Bocah ini memang cari mati!"

Beberapa preman lainnya juga marah dan mengelilingi Julius.

"Buk, buk, buk!"

Namun, dalam hitungan detik berikutnya, ketika tinju mereka hampir saja menghantam tubuh Julius, kening Julius berkerut dan sebuah tekanan yang besar datang dengan cepat. Preman-preman di sekelilingnya mulai beterbangan, seolah-olah suhu di tempat ini turun tajam.

Enam preman itu, termasuk Edi yang kuat, semuanya jatuh berlutut di tanah.

"Ah!"

Mereka berteriak kesakitan, beberapa ubin di tanah bahkan pecah, darah segar mengalir dari lutut mereka.

"Ampuni kami!"

"Kami tidak akan berani melakukannya lagi!"

Preman-preman itu tampak sangat ketakutan saat mereka menatap Julius. Mereka benar-benar terkejut.

Julius memandang kerumunan yang telah berkumpul untuk melihat apa yang terjadi, lalu dia berkata dengan tegas, "Kali ini, aku akan membiarkan kalian hidup. Tapi, jika kalian berani mengganggu orangtuaku lagi, aku akan membunuh kalian!"

"Enyahlah!"

Terakhir, dengan satu kata dingin dari Julius, tekanan mengerikan itu tiba-tiba menghilang, Edi beserta anak buahnya segera pergi meninggalkan tempat itu.

Julius mengepalkan tangannya dengan amarah yang memuncak, "Catherine, kamu benar-benar kejam. Setelah tiga tahun hubungan kita, kamu tidak hanya mengkhianatiku, tapi juga menjual rumah yang dibelikan orangtuaku kepadaku untuk ditempati setelah menikah dan bayar lunas seharga empat milyar kepada William dengan hanya dua milyar! Kalian benar-benar licik!"

Kemudian, senyuman sinis muncul di wajahnya. "Semua yang kamu ambil dariku, akan kucari dan minta kembali! Sebenarnya, aku tidak ingin terlibat dengan manusia sampah seperti kalian, tapi kalian sudah keterlaluan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status