Share

Ralp
Ralp
Penulis: ratna antar

Jebakan Nafsu

Susah sekali konsentrasi saat ritme stabil di antara kedua pahaku jadi semakin intens. Pria itu buas dan baru saja bersamaku sejak seminggu, dan kali ini dia mau lebih dari satu ronde.

“Seben …, tar.” Aku tersenggal dan berbalik hingga tubuhku berada di atasnya. Semua yang ada di antara kami harus semakin cepat dipompa karena kepalaku juga mulai linglung.

“Yes, Jenny. Kau seksi sekali.” Dia memejamkan mata dan pinggulku ditekan keras hingga apa yang ada di antara kami jadi semakin ketat.

“Siapa namamu?”

Dia membuka mata dan tampak terkejut. Tak lama sampai dia tersenyum dan menaik turunkan pinggulnya. “Aku Ralp. Kau sepertinya tak bisa berpikir. Mau aku yang ada di atas?”

“Seb,” Aku melenguh. Rasanya nikmat sekali dan aku sudah berada di puncak, dan setelah itu tubuhku jatuh dan berbalik dengan dia di atasku lagi. “Tunggu! Aku baru keluar,” ujarku dan pria bernama Ralp itu tak mau tahu.

Entah harus senang atau marah. Masalahnya ceritaku belum selesai untuk diketik dan pria itu mau terus lekat denganku walau aku sudah membanjiri ranjang. Besok seprai dan penutup springbed ini harus kucuci sebelum teman sekamarku datang, dan …. “Ah! Emh!” Aku keluar lagi bersama Ralp yang mulai menggigiti dadaku.

Kisah liarku bersama Ralp hanya satu dari ratusan kisah lain yang berjalan sebelumnya. Aku merasa rileks dengan aktifitas ini setelah banyak beban kehidupan yang banyak wanita lain rasakan termasuk ketika mereka dalam masa datang bulannya.

“Kau suka?” tanya Ralp. Dia sepertinya berbisik dan aku tahu nafas mentol itu akan menagih lagi setelah dia siap.

Ralp dan aku baru berkenalan sejak seminggu lalu. Dia teman tongkrongan yang sepertinya tertarik padaku bukan hanya dari wajah tapi dari pilihan kausku yang selalu memperlihatkan belahan menggantung di baliknya.

Aku bukan berniat menggoda. Aku hanya suka terlihat tak biasa dan menarik. Belahan ini juga kubeli murah dengan harga 35.000, tidak termasuk jaket seharga dua ratus ribu yang terkesan crop top dan tangan yang kepanjangan.

Menurut mereka aku sangat menarik. Penilaian itu bukan penilaian sembarangan karena penampilanku hasil dari membaca beberapa situs fasion dan juga perbandingan gaya anak muda yang sesuai untuk paruh baya sepertiku.

Saat ini aku baru saja meneruskan dua paragraf, nyaris tiga paragraf saat Ralp kembali memelukku dan memijat apa yang menonjol di dada.

“Kau harus bekerja besok. Sisakan tenagamu, sayang. Matahari sudah akan muncul sejam lagi, dan kau belum tidur.” Aku menciumnya sekali. Menyenangkan bisa berada di antara otot-ototnya, namuan jika aku melakukan hal ini tiap hari, aku bisa kehilangan ratusan liter cairan tubuh karenanya.

“Siapa yang peduli?” Dia masih memelintir dan memijat, kali ini dengan mulutnya.

“Aku peduli. Kau harus bekerja keras untuk patungan uang listrik di kontrakanku.” Aku sedikit bercanda. Bukan tipeku untuk meminta-minta pada pria, apa lagi jika dia tak kukenal.

Setelah banyak pertentangan dan asupan jilatan yang membuatku migrain, Ralp akhirnya menyerah dan memutuskan mandi. Dia tak bisa tidur dan lebih memilih untuk menyegarkan diri dan membuka sosial media sebagai hiburannya, atau mandi seperti sekarang.

“Ralp? Kau mau kopi?” Aku mengetuk pintu kamar mandi, dan Ralp menjerit menjawab di baliknya. “Kau mau makanan juga?”

Kepala Ralp keluar dari balik pintu dan ia tersenyum manis, “Aku mau memakanmu,” ujarnya dengan kerlingan nakal yang membuatku gila.

“Omong kosong! Cepat mandi! Nanti kopimu dingin.”

Aku tersenyum dengan semua madu dari pria gagah itu. Rasanya terlalu omong kosong jika aku mengeluh soal stamina padanya.

Namun satu hal membuat semuanya berbeda. Saat itu aku tengah menggoreng telur mata sapi dan membaginya jadi dua setelah dimasukkan dalam dua rapis roti. Gawai Ralp berdering sangat kencang hingga membuatku terganggu dan ingin mematikannya lekas-lekas.

Tapi bukan itu masalahnya.

Ada sebuah kantung plastik berisi cairan aneh dan keterangan yang aku tahu tak lazim ada di tas seorang pria biasa. Kantung itu berisi darah, dan bahkan petugas palang merah tak akan meletakkan kantung darah sembarang dalam tasnya. Dan Ralp bukan petugas palang merah.

Rasanya ingin bertanya, tapi aku ragu dan lekas memasukkan kembali kantung darah itu ke dalam tas setelah sebuah suara siulan mendekatiku.

“Lapar?” Ralp menggeleng. “Aku cukup berenergi dengan bibirmu. Mau mengulang apa yang terjadi seperti sebelum aku mandi?”

Seharusnya aku tergoda. Bahkan bibir Ralp sama panasnya dengan suara erangan yang ia keluarkan. Tapi tidak. Aku merinding dan ketakutan. Cepat-cepat kulepaskan pelukan pria perkasa itu dan mencari obrolan lain yang bisa menetralkan rasa takutku.

“Kau mau mandi?” tanyanya setelah menyuap sandwich yang kubuat. Dan dia benar. Berada satu ruang dengan pria aneh tak baik untukku, dan beralasan untuk mandi sepertinya bagus.

Aku melirik pada pisau yang ada di depanku dan mengantunginya. Sekedar berjaga jika ada hal yang lebih aneh dari seseorang yang membawa sekantung darah.

Lalu sebuah tangan menahan pisau yang sudah setengahnya masuk ke saku.

“Untuk apa membawa pisau?” tanya Ralp dengan mata dingin. Tangan yang menggenggamku juga dingin yang membuatku berpikir jika pria itu bukanlah manusia.

“Aku hanya ….”

“Kau melihatnya?” Ralp tak membiarkan aku menjawab.

“Melihat apa?”

“Darah di tasku.”

Ludah kuteguk. Mataku berpaling dan tanganku yang menggenggam pisau tak bisa bergerak dari genggaman tangan Ralp.

“Tidak,” jawabku.

Ralp mencari arah mataku dan dia melihat ketakutan di situ. “Kau gemetar.” Dia benar, dan aku merasa nyawaku sebentar lagi melayang. Lalu sebuah seringai, nafas bau mentol, dan kecupan yang liar menyerangku. Aku masih menggigil, tapi lidah Ralp sudah berada di telingaku dan membuat diri ini merasa sangat bodoh dan bergairah. “Tak apa kalau kau takut. Aku tak akan melakukan apapun untukmu. Yah, mungkin satu ronde bersama di ranjang bisa jadi pilihan bagus untukmu.”

Ralp berusaha bermain, dan aku berusaha tak gila karena kali ini rasanya aku dipaksa.

Tangan Ralp mengambil pisau yang semula kugengam. Dia menarik tangan itu ke pundaknya dan menyerangku dengan lumatan kasar dan berbahaya.

“Aw!” Bibirku terluka, dan Ralp menghisapnya dengan bringas. Sejenak aku ketakutan, karena saat kecupan itu usai, warna matanya berubah merah dan taringnya meruncing.

“Ups,” matanya memendangku dengan gairah tak biasa. “Aku terlanjur menghisap darahmu.”

Aku tak tahu apa maksudnya. Yang kutahu pinggulnya sudah naik turun, bergoyang, dan menggodaku untuk melenguh dan jadi tak berdaya.

Persetan jika dia orang aneh. Bahkan jika dia pembunuh, aku masih merasa sangat beruntung karena ronde yang kami lakukan di ranjang basah ini berlangsung berkali-kali sampai aku kehabisan nafas dan pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status