Share

Salsa Akan Jujur

 

Malam kian larut. Kini Salsa dan suaminya sudah beranjak ke peraduan. Hatinya sangat bahagia. Masih terekam jelas bagaimana romantisnya sang suami tadi.

 

 

"Mas, terima kasih sudah mencintaiku begitu dalam," bisik Salsa. 

 

Jemari lentiknya mengelus lembut pipi Ikbal. Dipandanginya wajah lelaki berkulit putih itu dengan penuh perasaan.

 

Salsa merasa bersyukur karena telah dikarunia laki-laki seromantis Ikbal. Meski desas-desus di kampus dulu tentang keplayboyannya wanita itu tak begitu peduli, toh pada akhirnya Ikbal luluh pada satu hati, yaitu hatinya.

 

Salsa ingat bagaimana dulu Ikbal mengejarnya. Meskipun tak ia pedulikan, tetapi lelaki itu masih terus mengejar hingga dirinya menyerah. 

 

Namun, di tengah keindahan masa-masa itu, seketika saja bayangan wajah Kiki berkelebat di kepala, membuat dada yang sebelumnya tenang menjadi bergemuruh. 

 

'Tuhan, jauhkanlah Kiki dari hidupku,' jerit Salsa dalam hati. 

 

Air mata lolos begitu saja tanpa permisi, wanita cantik itu selalu saja tak mampu menahan butiran bening agar tak jatuh jika mengingat nasibnya.

 

Rasa bersalah terus menghampiri mengingat kecurangannya pada belahan jiwa. Terlebih, kini telah hadir kehidupan baru di rahimnya, seorang mahluk tak berdosa yang entah siapa ayahnya. Ikbal atau bahkan Kiki. Memikirkan hal ini membuat pikiran Salsa kian kalut. 

 

Setelah kenekatan Kiki yang menghampirinya di taman tadi, Salsa semakin gusar. Hidupnya tak tenang sebab cepat atau lambat kebohongan ini pasti terungkap.

 

Serapi-rapinya menyembunyikan bangkai, kelak pasti akan tercium juga. Sepintar apapun tupai melompat, maka di kemudian hari akan jatuh juga.

 

Salsa tak mau aib ini diketahui Ikbal dari mulut Kiki atau orang lain. Ia ngin sebelum orang lain yang mengatakan menurut versinya, ia harus lebih dahulu mengatakan kebenaran pada Ikbal, lagipula dirinya hanya korban, korban dari kejahatan adik iparnya. 

 

"Bismillah, besok aku harus jelaskan semuanya," gumamnya. 

 

Air mata Salsa menetes di pipi Ikbal saat wanita itu mengecup kening suaminya. Membuat Ikbal tak nyaman hingga akhirnya membuka mata.

 

"Sayang ... kamu nangis?" tanya Ikbal sambil berusaha untuk bangkit dari pembaringan. Kantuknya seakan-akan hilang begitu saja kala melihat wajah sembap istrinya. 

 

"Engga kok, sayang," jawab Salsa dengan gelengan kepala.

 

Ikbal memicingkan mata untuk memastikan apakah wanitanya itu benar-benar menangis atau tidak. Jemarinya mendarat di pipi Salsa, kemudian ia mengusap pipi sang istri lembut.

 

"Kamu bohong, aku tahu kamu habis nangis, kenapa?" tanya Ikbal dengan tatapan teduh. 

 

Ditatap seperti itu, jantung Salsa berdegup kian kencang. Keberanian yang sebelumnya memuncak perlahan-lahan hilang ditelan bumi. Kini, ia tak lagi bernyali untuk membahas aibnya dengan sang suami. 

 

Padahal, ingin sekali Salsa mengatakan yang sebenarnya, tetapi ketakutan demi ketakutan membuatnya enggan untuk berkata jujur. Konflik batinnya membuat ia hampir gila, telinganya seperti ada yang membisikkan dua hal berlawanan. Sebelah jujur dan sebelah lagi bohong.

 

Sungguh, Salsa tak pandai menutupi kebohongan, hingga perilaku seperti ini menjadi bumerang untuk dirinya.

 

"Enggak, kok, Mas ... aku nangis bahagia karena Allah sudah izinkan aku menjadi istri kamu," ucap Salsa sambil memeluk suaminya.

 

Salsa kesal, marah dan benci pada diri sendiri yang sulit mengatakan kebenaran. Meskipun menyiksa, tetapi rasa telah berhasil menjadi penghalang di hatinya. 

 

"Yakin?" tanya Ikbal penuh selidik. 

 

"Iya yakin, Mas. Aku cuma kepikiran teman aja. Soalnya, ada temen aku, dia habis diperkosa sama saudara kandung suaminya, terus si suami gak terima dan meceraikannya," unart Salsa, ia memulai obrolannya dengan mengarang cerita.

 

Bukan tanpa alasan, Salsa ingin tahu bagaimana pendapat suaminya tentang kasus seperti ini. 

 

"Ha? Benar-benar ga ada akhlak itu saudaranya, masa istri saudara sendiri diembat juga. Kalau menurutku sih istrinya kan gak salah, dia cuma korban. Jadi, kenapa harus diceraikan? Kecuali, kalau mereka memang sama-sama suka, itu selingkuh namanya, wajar kalau harus berpisah, gak ada ampun buat wanita yang berselingkuh," tegas Ikbal. 

 

Lelaki itu mengecam dengan penuh emosi, seakan-akan ia merasakan sendiri apa yang dialami temannya Salsa. 

 

Mendengar penuturan suaminya, Salsa merasa telah mendapatkan angin segar. Kini, wanita itu mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kebenarannya malam ini juga. Lagi pula, dirinya memang hanya korban, ia dipaksa dan bukan suka sama suka. Jika akhirnya Ikbal marah, biarlah. Yang terpenting bebannya sedikit berkurang.

 

"Mas ... A ... aku ... m ... mmm ...."

 

Salsa gugup. Wanita itu bingung akan memulai pembicaraan dari mana agar suaminya tak salah mengartikan yang mengakibatkan masalah semakin runyam.

 

"Kenapa sayang?" tanya Ikbal, lelaki itu selalu menatap mata sang istri jika tengah berduaan. 

 

"Sebenarnya__"

 

Baru saja Salsa membuka mulut untuk menjelaskan kebenaran, tiba-tiba saja ponsel Ikbal berdering. 

 

"Sebentar sayang, aku angkat telepon dulu, ya."

 

Lelaki itu segera menyambar ponselnya, ternyata dering itu berasal dari alarm yang sengaja Ikbal buat untuk mengirim berkas penting yang di

minta dadakan oleh bos.

 

Meski sedang cuti, Ikbal selalu profesional dalam bekerja. Seharian ini lelaki itu sibuk menyiapkan kejutan untuk istrinya, maka Ikbal berjanji untuk mengirim berkas di lain waktu. Maka dibuatlah alarm agar tak lupa.

 

"Sebentar ya sayang, aku ada pekerjaan dulu, kamu tunggu sebentar, ya," titah Ikbal pada istrinya.

 

Lelaki itu beranjak dari kasur kemudian melangkah ke luar kamar sembari membawa membawa laptopnya. 

 

"Iya mas...."

 

Salsa menghela napas berat. Entah, hari ini dirinya harus senang atau sedih. Yang pasti, hatinya kembali tak tenang.

 

"Kenapa saat aku mau menjelaskan semuanya pada Mas Ikbal, malah selalu saja ada halangan? Apakah ini pesan tersirat agar aib itu jangan sampai terbongkar, atau takdir tengah bekerja lain untuk memberi kejutan dalam hidupku?" bisik Salsa frustrasi. 

 

*******

 

Pagi-pagi sekali Kiki sudah datang bertamu, lelaki bertubuh atletis itu menginap di villa yang tak jauh dari tempat Salsa menginap. Entah apa inginnya, Salsa berpikir ia hanya ingin mengganggunya saja. 

 

"Bedebah!" Salsa menggerutu saat melihat wajah Kiki yang sangat menyebalkan. 

 

"Sudah sarapan belum, Ki?" tanya Ikbal pada adiknya yang tengah duduk di kursi depan luar villa.

 

"Belum Bang, gue pengen ikut makan di sini boleh enggak? Masakan istri lu enak banget," jawab Kiki tabla ragu. 

 

Bukannya merasa curiga, Ikbal justru merasa senang karena sang adik memuji masakan istrinya. Memang, pada kenyataannya masakan Salsa selalu menggugah selera. Sehingga, setelah menikah Ikbal lebih mudah bertambah berat badan. 

 

"Jelas dong, istri gue!" kelakar Ikbal dengan wajah sombong yang diringi tawa.

 

"Songong nya kumat deh," ketus Kiki.

 

"Eh, gimana kerjaan lo, udah beres semua?" tanya Ikbal pada adiknya, ia sengaja mengalihkan pembicaraan agar tak hening.

 

"Udah dapet dong, masa lulusan terbaik kayak gue nganggur," balas Kiki dengan wajah sombong lalu disambut tawa oleh kedua insan bersaudara itu.

 

Di sudut lainnya, Salsa yang membawa nampak berisi teh hangat nampak malas. Hanya saja, ia takut suaminya curiga jika menunjukkan wajah itu di depan mereka. 

 

"Ini tehnya," kata Salsa, wanita itu melirik ke arah adik iparnya dengan lirikan penuh kebencian. Namun, justru semakin membuat Kiki menggila. 

 

"Terima kasih, Kak Salsa," ujar Kimi. 

 

 

Lelaki itu menyeruput teh manis yang baru saja di suguhi kakak iparnya. Sementara Salsa langsung pergi dengan alasan masih ada kerjaan. 

 

"Wah selamat ya, terus sebentar lagi nikah dong, kenalin lah cewe lo sama gue," balas Ikbal. 

 

Mendengar perkataan kakaknya, Kiki hampir saja tersedak. Ia sama sekali tak berpikir untuk menikah, di benaknya ia hanya akan menikah dengan Salsa, bagaimanapun caranya Salsa harus menjadi istrinya. Entah, Kiki pun tak mengerti menngapa kini ia berpikir picik seperti itu. 

 

"Gue belum pengen nikah, Bang. Entar aja dah," jawab Kiki.

 

"Oh, ya. Gue ikut ke toilet ya, kebelet nih," lanjut Kiki sembari memegangi perutnya.

 

"Ya udah, ada istri gue noh di dapur, gue mau keluar sebentar, ya,"  kata Ikbal, lelaki itu beranjak pergi. 

 

Mendengar kakaknya akan keluar dan meninggalkan istrinya sendiri di rumah, membuat lelaki bertubuh atletis itu kegirangan. Setan mulai merasuki pikiran jahatnya. Bibirnya menyeringai menyaksikan langkah Ikbal menuju gerbang utama villa. Ini adalah kesempatan emas untuk ia bisa berdua dengan pujaan hati yang sedang menjalani takdir sebagai kakak iparnya.

 

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status