Salsa tertunduk lesu. Entah, apa yang harus ia jawab pada suaminya. Tetapi, Salsa kembali tenang setelah berpikir ia dan Ikbal sudah sering melakukannya. Lalu, apa yang harus ditakutkan? Lagi pula pembuahan bisa terjadi dalam hitungan hari.
Tertunduk lesu seperti ini hanya akan membuat sang suami curiga bahwa ada sesuatu yang tengah disembunyikan.
"Iya sayang, aku beli tespek. Setelah aku ingat-ingat ternyata belum datang bulan," ujar Salsa penuh percaya diri. Ia berusaha keras menghilangkan gelisah yang mendera.
"Wah ... kamu hamil sayang? Aaah ...."
Ikbal bersorak kegirangan. Lelaki itu tak peduli meski semua orang yang berada di sekitarnya menoleh.
Ikbal hanya tersenyum menyadari kekonyolannya. Saking bahagianya, ia sampai lupa sedang berada di tempat umum.
Melihat reaksi suaminya, Salsa merasa salah tingkah, terlebih orang-orang yang lewat memandangnya sambil tertawa. Sungguh, ia merasa malu sangat malu lantaran menjadi pusat perhatian.
"Mas... sudah ih, belum tentu juga aku hamil. Kan aku malu," tegur Salsa, ia menarik lengan suaminya dengan wajah tersipu.
Tanpa ragu Ikbal merangkul pundak istrinya, kemudian lelaki itu mencubit gemas pipi wanita tercintanya.
"Ciye, mau jadi ibu ... aku hebat dong, tokcer."
Ikbal tertawa, suasana hatinya sedang baik. Namun, hal itu justru membuat Salsa sedikit geli.
"Semoga ya, sayang."
Salsa dan Ikbal mengayunkan langkah memasuki mobil mereka, tak lama kemudian mobil yang ditumpangi sepasang suami istri itu melaju membelah jalanan.
Sesampainya di sebuah villa di puncak, Salsa dan suaminya memutuskan untuk beristirahat sebentar, keadaan Salsa kali ini tidak memungkinkan untuk diajak jalan-jalan. Mual muntahnya semakin menjadi. Sehingga, Ikbal merasa sangat kasihan dengan istrinya.
"Mas, aku ke toilet sebentar, ya," kata Salsa setelah keduanya bersantai di kamar.
"Iya," jawab Ikbal dengan anggukan kepala.
Wanita itu begegas ke kamar mandi, niatnya hendak melakukan tes kehamilan. Meski lebih akurat dilakukan pada pagi hari, tetapi rasa penasarannya tak lagi bisa di bendung.
Salsa berharap hasilnya negatif, setelah itu dirinyaa haid, lalu tak apa jika bulan berikutnya hamil, karena anak itu akan jelas nasabnya kelak.
Dengan rasa was-was Salsa menunggu hasil. Wanita itu tersenyum saat melihat garis satu. Namun, tiba-tiba ia melihat ada garis lagi di sebelahnya dengan warna merah sedikit samar.
Perasaan yang sebelumnya lega, kini Salsa kembali dilanda gundah. Hatinya terus meminta, semoga Tuhan mengabulkan doanya.
Dengan perasaan cemas Salsa merogoh ponsel di sakunya. Wanita itu mencari informasi di mesin pencarian internet. Namun, hasilnya menunjukkan bahwa garis samarinda tetap berarti positif.
"Positif?" bisik Salsa, air matanya mengalir seketika. Dadanya bergemuruh hebat karena ketakutan yang menghantuinya.
Malang, nasib baik sedang tak berpihak padanya. Garis samar itu sudah hampir cukup menjadi bukti bahwa telah ada kehidupan dalam rahimnya.
Andai Kiki juga tak melakukannya, Salsa pasti akan menjadi wanita paling bahagia melihat hasil positif seperti ini. Namun, faktanya Kiki lah yang pertama kali menanam benih di rahimnya. Situasi seperti ini membuat Salsa semakin gamang. Ia pun menyesal karena tak berani jujur pada Ikbal. Sehingga, Ia harus melewati masa-masa penuh tekanan ini sendirian.
Air matanya luruh membanjiri pipi. Kini, perasaan Salsa campur aduk. Tak dipungkiri ia bahagia karena akan menjadi seorang ibu, masih ada setitik harapan di hatinya bahwa yang dikandung adalah anaknya dengan Ikbal. Namun, entah bagaimana jika ternyata anak dalam rahimnya adalah anak Kiki? Terlebih Kiki pernah berkata ingin merebutnya dari Ikbal.
"Sayang...."
Ketukan pintu dari luar kamar mandi yang dilakukan Ikbal membuat Salsa kian gusar. Namun, ia tak cukup bernyali untuk jujur. Sehingga, Salsa kembali menyeka air mata dan bersikap santai untuk menutupi kegundahannya.
"Iya, Mas," teriak Salsa sembari membasuh wajah agar suaminya tak curiga.
Setelah dipastikan matanya tak sembap, wanita itu segera keluar lalu menghambur ke pelukan suaminya.
"Sayang, aku hamil," ucap Salsa sembari menggenggam tespek di jemarinya.
Mendengar pengakuan istrinya, Ikbal merasa sangat bahagia. Lelaki itu lantas menggendong sang ke ranjang, kemudian ia mengecup keningnya dan berterimakasih.
"Terima kasih, sayang. Aku janji akan menjadi suami dan ayah yang siaga," ucap Ikbal penuh haru.
******
Suasana malam di villa begitu indah, hawa dingin menyeruak di seluruh tubuh meski Salsa sudah mengenakan jaket. Wanita itu berdiri menyaksikan cahaya lampu di bawah perbukitan yang terlihat indah. Tiba-tiba saja matanya di tutup oleh seseorang.
Salsa terkesiap, tetapi ia tak berpikir macam-macam. Wanita itu yakin pasti yang menutup matanya adalah sang suami. Bagi Salsa, Ikbal memang seorang suami yang romantis, lelaki itu sering memberikan kejutan yang membuat hati Salsa meleleh.
"Sayang, mau ngasih kejutan apa sih pake nutupin mata segala?" tanya Salsa dengan suara manja.
Wanita itu mengelus tangan yang menutup matanya lembut. Tetapi tak ada jawaban barang sekatapun. Perlahan-lahan tangan itu terbuka, Salsa berbalik lalu memeluknya. Namun, wanita itu terkejut, ternyata lelaki yang menutup matanya bukanlah Ikbal.
"Kiki, ngapain kamu disini?"
Dengan penuh emosi Salsa mengibaskan tangan di seluruh tubuhnya. Ia merutuki kebodohannya karena langsung memeluk seseorang hanya karena perkiraan bahwa orang itu adalah suaminya. Bukan tanpa alasan, seingatnya di sana memang hanya ada dirinya dan Ikbal saja.
"Sayang, aku kasih kamu kejutan, kan?" ucap Kiki dengan senyuman menyeringai.
"Bisa enggak sih jangan ganggu saya lagi, hmm?" tanya Salsa dengan tatapan penuh kebencian.
"Saya tidak mungkin pergi dari hidup kamu, Sa. Apalagi saya tahu di rahimmu telah hadir anakku, buah cinta kita," kata Kiki tanpa tahu malu.
Mendengar pernyataan adik iparnya, hati Salsa bergemuruh. Namun, sejujurnya ia pun memang ragu, entah anak siapa yang tengah bersemayam dalam rahimnya itu.
"Dari mana kamu yakin kalau anak ini adalah kamu? Asal kamu tahu aja, anak yang aku kandung ini anaknya Mas Ikbal, anak suamiku."
Salsa menatap mata Kiki dengan penuh keyakinan. Meskipun ragu, tetapi ia ingin memberi adik iparnya penegasan agar tak lagi menganggu.
"Lihat saja nanti, Sa," timpal Kiki, kemudian lelaki itu pergi meninggalkan Salsa sendirian.
Salsa masih teegugu di tempatnya beridi. Hatinya semakin tak karuan setelah bertemu Kiki. Entah, bagaimana jika memang benar anak ini adalah anak Kiki?
'Ah sial, mengapa ini semua harus terjadi.' Salsa mengumpat sembari menangis.
"Sayang ...."
Menyadari kehadiran sang suami, Salsa tegas berbalik badan untuk menyeka butiran bening yang mengalir di sudut netra.
"Emm--eh, iya...," sahut Salsa, ia kikuk karena gugup.
"Aku punya kejutan nih buat kamu. Ayo ikut, tapi merem yaa," pinta Ikbal, lelaki itu menutup mata Salsa dengan tangan, kemudian menuntun istrinya pelan.
"Kejutan apa sih sayang?"
Salsa memejamkan mata. Namun, ia tetap mengikuti instruksi dari suaminya. Mereka berjalan perlahan menuju tempat yang telah Ikbal sediakan.
"Nah, sampai," ujar Ikbal sambil membuka tangannya yang menutup mata Salsa.
Salsa mengerjap saat membuka kedua mata. Di depannya sudah tertata rapi dua buah kursi serta meja bulat yang didekorasi indah.
Di atasnya sudah lengkap dengan makanan juga minuman. Cahaya lilin di tengah meja dan api unggun yang menyala tak jauh dari tempat mereka menambah kesan romantis.
Ikbal lantas mengambil buket bunga yang telah tersedia, lalu lelaki itu menekuk setengah kakinya sehingga sedikit bersimpuh pada Salsa.
"Istriku, terima kasih sudah menjadi istri terbaik, sudah menjadi istri yang begitu perhatian. Banyak sekali kebaikan demi kebaikan yang tak bisa aku sebutkan, terima kasih karena telah bersedia untuk menghadirkan buah hati di tengah-tengah kita, aku berdoa semoga keluarga kita terus bahagia."
Ikbal tersenyum sembari memberikan buket bunga pada wanita yang telah ia pilih untuk menjadi pendamping hidupnya.
Sementara, Salsa diam tanpa kata lantaran hatinya terlalu bahagia. Wanita mana yang tak meleleh diperlakukan bak seorang ratu oleh suaminya. Tanpa terasa air mata lolos begitu saja dari kedua netranya. Melihat kebaikan Ikbal, hati Salsa justru semakin sakit mengingat ia telah mencuranginya.
"Bangun, Mas. Terima kasih ya ... aku bahagia banget bisa jadi istri kamu, suami yang super duper baik, saking baiknya, aku ga bisa berkata-kata lagi. hu ... hu...."
Salsa menangis sembari memeluk Ikbal. Sungguh, andai tak ada kebohongan, pastilah ia sudah menjadi manusia yang sempurna.
"Oh ya, aku punya kejutan lagi buat kamu," kata Ikbal sembari merogoh saku kemejanya.
"Apa itu, Mas?" tanya Salsa penasaran.
"Coba mas pinjam jarinya," pinta Ikbal sembari mengangkat jari tangan Salsa. Kemudian ia memasukan sebuah cincin permata tepat di jari manis sang istri. Setelah tersemat, Ikbal pun mencium lembut jari Salsa.
Sementara itu, di balik pohon, sepasang mata memanas melihat adegan demi adegan suami istri yang sedang berbulan madu itu. Tangan tegapnya mengepal erat, kemudian ia memukul keras pohon besar yang berada tepat dihadapannya.
'Nikmati saja, ini adalah akhir kebahagiaan kalian!' gumam pemilik sepasang mata itu dengan nada mengancam.
Bersambung.
"Tiara, makan dulu, yuk!" ajak Rosa.Wanita dengan dandanan menor itu membuka pintu seraya membawakan sepiring nasi dan air di atas nampan. Namun, betapa terkejutnya ia karena tak menemukan Salsa di dalam kamarnya.'Ke mana anak itu?" bisiknya. Rosa mencari Salsa ke setiap ruangan, berharap wanita yang ditabraknya dulu hanya sekadar bosan atau ingin ke toilet. Namun, kepanikannya semakin menjadi setelah menyadari Salsa tak ada di rumahnya. "Tiara ...Tiara ...."Mami Rosa berteriak, mencari Salsa ke seluruh penjuru kamar, wanita itu kembali mengecek ruangan yang sudah dilalui, tetapi nihil, tak ditemukan Salsa di dalam sana."Sial!" umpatnya. Kini rasa takut mulai menghantui, dia ingat tingkah Tiara yang mulai berbeda, akan tetapi Rosa abai dan seakan-akan lupa kalau Salsa adalah korban tabrak lari yang dia manfaatkan. Jika wanita itu mulai ingat dan mengadu pada polisi, maka hancurlah riwayatnya. Dengan penuh amarah Rosa menelpon seseorang untuk mencari Tiara, dia juga mengabari s
Hari terus berlalu, sepulang kerja Ikbal kembali ke tempat pertemuannya dengan wanita mirip Salsa, dengan harapan mereka bisa kembali berjumpa. Benar saja, tak lama kemudian sosok itu kembali melintas dengan wanita lebih tua, tetapi berpenampilan modis dan high class. "Bal, lo pesan apa?" tanya temannya yang baru saja duduk. Namun, Ikbal tak menghiraukan, pria yang bahkan belum sempat menempelkan bokongnya di kursi itu lantas berlari, menyambar tas dan kunci mobil yang teronggok di meja tempat ia dan temannya berkumpul. Tak lupa Ikbal jiga menaruh uang dua lembar pecahan lima puluh ribu di meja. "Sorry, gue buru-buru," ucapnya dengan tatapan tak beralih dari gadis incarannya, Ikbal tergesa-gesa menuju pintu keluar, ia berharap masih bisa mengejar wanita yang mirip dengan Salsa tadi.Sesampainya di parkiran Ikbal segera menyalakan mesin mobilnya lalu melaju dengan kecepatan tinggi, harap-harap cemas agar tak kehilangan jejak.Jalan yang dilalui merupakan jalan satu arah, kemungkina
"Ahh ... aduh, ssstt ...."Tiara mengaduh dan mendesis seraya mencengkram kepalanya yang tiba-tiba terasa begitu menyakitkan. Sontak hal itu membuat Pak Dirga dan Rosa terkejut. "Tiara, kenapa?" Rosa bertanya dengan paniknya."Sakit Tante, kepala aku sakit lagi, lebih sakit dari sebelumnya," keluh Salsa yang hampir kehilangan keseimbangan."Duh, gimana ini? Kamu kuat, kan?" tanya Rosa.Di saat Salsa sedang kesakitan pun, wanita itu masih menanyakan kesiapan untuk melayani pelanggannya."Memang Tiara kenapa?" tanya pak Dirga yang mulai tak bergairah melihat Tiara kesakitan."Dia pernah kecelakaan dan kepalanya cedera, jadi masih kadang sakit," jawab Rosa jujur.Pak Dirga bergeming, ia semakin yakin dengan firasatnya tentang sang gadis, itupun yang membuatnya sangat penasaran sehingga rela membayar mahal. Kini, dia semakin yakin bahwa Salsa dan Tiara adalah orang yang sama."Oh, pernah kecelakaan?" ulang Pak Dirga, seketika saja pria itu tersenyum sinis. Sudah lama ia memiliki hasrat
Di rumah mewahnya, seorang wanita masih sangat gusar, sambil sesekali menatap wanita terluka di hadapannya. Meski dokter mengatakan dia baik-baik saja, tetapi wanita bernama Rosa itu merasa khawatir. Drrt.... drtttt.... Ponsel Rosa berdering, dengan sangat antusias wanita itu menerimanya. "Hallo, bagaimana?" tanyanya setengah panik. "Anda tenang saja, CCTV dan berbagai bukti sudah diamankan."Wajah gundah wanita berpakaian seksi itu seketika semringah, seakan-akan kegundahannya hilang begitu saja. "Baik, kerja bagus," jawabnya lalu mematikan panggilan. Di waktu bersamaan Rosa mondar mandir seakan tengah berpikir, sesekali ditatapnya wajah Salsa yang menurutnya sangat cantik dan komersial. Sementara itu, setelah lama pingsan kedua mata terbuka, dia menyapu seluruh ruangan berdinding putih dengan raut bingung."Awwww, sssssst." Salsa meringis, membuat Rosa langsung panik dan duduk di sampingnya. Kepala Salsa terasa kian. Dengan susah payah dia berusaha untuk bangkit, tetapi luka
Malam semakin larut, tetapi Salsa tak bisa memejamkan mata, padahal kantuk menyerang raganya."Kenapa perasaan aku tiba-tiba nggak enak begini, ya?" bisik Salsa.Hatinya tiba-tiba dilanda gundah, ada rasa takut dan khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Terlebih malam ini suasana sekitar rumahnya terasa begitu sepi.Salsa melirik jam dinding sekilas, hari sudah pukul dua pagi, tetapi ia masih belum bisa terlelap meski berkali-kali berusaha memejamkan mata."Duh, perutku nggak enak lagi."Salsa berbisik sambil berjalan ke toilet karena merasa ingin buang air kecil.Brakk.... Salsa yang baru saja membuang hajatnya tiba-tiba saja terkejut mendengar suara benda jatuh. Seketika saja wanita itu tersentak dan ketakutan. Dengan langkah ragu ia berjalan perlahan. "Siapa?" Salsa sangat panik, tetapi ia harus memastikan siapa yang masuk ke rumahnya tengah malam begini.Baru saja Salsa keluar dari toilet, ia melihat seorang laki-laki dengan kupluk hitam keluar dari kamarnya, me
Sore hari Kevin dan Hasna pergi ke sungai. Berbagai tempat di kampung halaman Hasna masih begitu asri hingga membuat pria itu terhipnotis dengan pesona alamnya. Nampak beberapa anak kecil sedang mandi dan bermain di pinggir sungai."Adem banget disini," ucap Kevin sambil meregangkan tangan lalu menghirup udara dan mengembuskannya perlahan.Selama di sana, dia merasakan kehangatan keluarga meskipun tersiksa lantaran harus berpura-pura. Di tempat ini, Kevin seakan-akan tengah berlibur sejenak dari penatnya kebohongan. "Ya, waktu kecil aku sama temen-temen suka banget main di sini. Tetap, setelah menginjak remaja ibu ajak aku ke kota tinggal di rumah Salsa, semenjak itu aku jarang banget main di sungai ini."Pandangan Hasna menerawang, mengingat keseruan masa kecilnya sebelum ia pindah ke Jakarta.Mendengar nama Salsa, tiba-tiba saja ada gelenyar aneh di hati Kevin. Ada sedikit nyeri mengingat wanita yang ia cintai. Namun kini, hatinya telah berusaha untuk ikhlas menerima sebuah ketetap