Luna mendapati apartemen dalam ke adaan gelap. Bahkan jendela masih dibiarkan terbuka. Bukan tak ada orang di rumah, buktinya sepatu lusuh kesayangan Jim masih tergeletak pasrah berceceran di ambang pintu masuk. Luna menghela nafas, menata sepatu itu ke rak sepatu yang sudah disediakan di dekat pintu masuk. Lalu kakinya yang dibalut celana kulot bewarna coklat itu melangkah menuju kontak lampu yang berada di dinding.
Ruangan apartemen akhirnya terang benderang, namun Luna hanya menghela nafasnya melihat apa yang ada di depan matanya saat ini. Kulit kacang berserakan di atas meja di depan televisi serta botol minuman yang sudah kosong. Padahal apartemen kecil itu ditinggalkan Luna dalam keadaan rapi. Siapa lagi pelakunya kalau bukan manusia aneh alias Jim.
Luna melempar tas kecilnya ke atas sofa lalu mengumpulkan kulit kacang dan botol itu lalu memasukkannya ke dalam tong sampah yang berada tak jauh dari sana. Jim, memang sangat menyulitkannya, laki-laki itu tak pernah memikirkan perasaan orang lain.
Luna bersandar di sofa seiringan dengan Jim yang keluar dari persembunyiannya. Masih sama, memakai baju yang sama, serta wajah bantal sehabis bangun tidur.
Pria itu sempat menatap sekilas padanya lalu berlalu ke arah dapur mengisi air putih dan meminumnya sampai tandas. Laki-laki itu berniat kembali masuk ke dalam kamar yang sudah dia klaim adalah kamar miliknya.
"Jim! Kita perlu bicara."
Langkah Jim terhenti, dia kemudian berjalan mendekati Luna dan duduk di samping wanita itu.
"Kau tau Jim? Aku belum menyetujui untuk tinggal berdua denganmu."
Jim diam, bola mata coklat di balik kaca mata minus itu memandang Luna dengan pandangan tak terbaca.
"Kita akhiri saja Jim, kita bercerai. Tak ada gunanya kita teruskan pernikahan ini."
"Aku takkan mengulang dua kali. Sekali lagi aku tegaskan, tak ada perceraian."
"Ada apa denganmu Jim? Kau membuat semua sulit. Bahkan sedikitpun kau tak memberitahuku apa alasannya. Apa alasannya kau menghilang selama ini, dan apa alasannya kau datang kembali saat aku tak ingin lagi melanjutkan lelucon ini."
Jim tak menjawab. Tanpa permisi dia bangkit meninggalkan Luna yang berteriak frustasi.
"Jika kau ingin menumpang denganku, maka kita harus buat kesepakatan. Aku tidak bisa menolerir rumah yang kotor dan kebiasaan yang tidak pada tempatnya."
Jim berhenti sejenak, lalu meraih gagang pintu kamar, masuk dan menguncinya dari dalam.
Sepeninggal Jim, Luna hanya bisa menghempaskan nafasnya kasar. Rasanya dia menyesal telah menemui pria aneh itu ke apartemennya kalau ini yang didapatkannya. Jim terlalu rumit, terlalu misterius, pantas saja laki-laki itu tak pernah tinggal di rumah orang tuanya.
Luna beranjak menuju dapur kecilnya. Memandang frustasi piring kotor yang teronggok di westafel. Belum lagi bungkusan mie instan yang plastiknya berceceran di lantai. Luna memang tak menyisakan makanan apa pun di apartemennya. Apa kah selama ini laki-laki itu hanya mengonsumsi mie instan? Luna tak mau tau betapa kacaunya hidup laki-laki itu. Setidak Luna hidup dengan baik dan makan dengan teratur.
Luna baru saja selesai mencuci piring ketika langkah tergesa-gesa Jim mengganggunya. Laki-laki itu menerobos kamar mandi dan muntah berkali-kali. Luna penasaran, tapi tak ingin bertanya dan mencampuri urusan laki-laki itu. Dia masih berada di tempatnya saat Jim keluar dari kamar mandi dengan wajah basah dan pucat.
Jim sempat bertemu pandang dengan Luna. Dan pada akhirnya pria itu memutuskan kontak mata dengannya. Lalu berlalu kembali ke kamarnya tanpa berkata apa-apa.
Luna mematikan alarm yang berbunyi nyaring di atas meja yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Pukul lima subuh, suara adzan pun terdengar nyaring dari mesjid besar yang berada tak jauh dari apartemen. Luna menyentuh lengan Jim, walau mereka baru tidur jam dua dini hari, tapi kewajiban sebagai muslim harus ditunaikan tanpa kelalaian."Jim! Hei, bangun! Kita harus mandi.""Engh...." Jim menggeliat, membuka matanya yang sayu kemudian melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamar Luna."Ah! Padahal aku baru tidur beberapa jam.""Bangun!" Luna tak menyerah."Iya, baiklah!" Jim akhirnya memaksakan diri untuk bangun.*****Di tahun ke tujuh pernikahan mereka, atau tahun ke dua setelah tinggal bersama, banyak hal yang berubah, salah satunya Luna bertugas menjadi ibu rumah tangga dan perusahaan diserahkan ke pada Jim untuk mengelola dengan bantuan dari Luna. Mereka sudah memiliki cabang di kota kota lain, salah satu cabang yang tak kalah maju adalah yang berada di kota Surabaya yang
Luna menyesap sedikit teh hangat yang masih mengepul mengeluarkan asap. Sore yang dihiasi gerimis serta udara sejuk cukup membuat ke dua orang yang sedang duduk berhadapan di balkon kamar itu merasa rileks.Iya, beberapa hari sesudahnya, Jim memutuskan kembali ke apartemen Luna karena kondisinya yang mulai membaik. Tubuhnya sudah berfungsi sempurna, hanya saja belum bisa melakukan pekerjaan berat.Jim sampai di apartemen jam satu siang diantar oleh supir pribadi ibunya. Mertua Luna itu sempat mampir sebentar dan berbincang-bincang sejenak dengan Luna.Saat mertuanya datang, Luna menyambut dengan ramah, mempersilakan wanita itu duduk dan menghidangkan cake yang baru saja dibuatnya pagi ini. Berhubung hari libur, Luna hanya menghabiskan waktu di dapur dan mencoba resep baru yang baru didapatkannya di internet."Kau lebih cocok menjadi seorang koki," komentar Marta saat merasakan bagaimana cita rasa cake lembut yang melumer di mulutnya. Wanita itu, memang mewarisi bakat sang maminya yang
Luna menutup pintu ruangannya lalu menguncinya. Pada hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejak hubungan mereka membaik, Jim berubah menjadi laki- laki yang cerewet dan menanyakan pertanyaan setiap saat pada Luna. Tak jauh-jauh dari 'di mana? Lagi apa? Udah makan belum?' atau yang paling menggelitik 'aku kangen', Luna merasa seperti remaja belasan tahun yang kasmaran. Sudah lima hari mereka tak bertemu, karena Luna bekerja ke luar kota selama lima hari itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan berjalan sangat baik, keuntungan bahkan meningkat menjadi tiga ratus persen. Semua tak lepas dari bantuan Jim, yang telah menyuntikkan dana membangun kembali perusahaan Luna yang hampir gulung tikar.Luna berjalan semangat ke parkiran mobil, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya.*****Sepeti biasa, ibu Jim membuka pintu saat Luna mengetuk pintu rumah itu. Walaupun masih kaku, tapi ibu Jim tak pernah mengucapkan kalimat pedas seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan
Luna kembali ke apartemennya setelah shalat subuh di rumah Jim. Minta izin sekilas pada ibu mertua dan bergegas ke apartemen untuk bersiap siap bekerja. Hari ini ada beberapa klien yang sudah memilki janji bertemu langsung dengan Luna.Jim pagi itu berusaha menahan Luna, merana masih merengek dan belum puas bersama istrinya itu, tapi berjanji akan sering berkunjung. Hal itu membuat Jim tak lagi ngotot.Pagi ini, Luna tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya. Entah kenapa, hari ini berasa dipenuhi bunga bunga mekar yang mengeluarkan harum semerbak. Hal itu tak luput dari mata jeli Lia, wanita yang suka ingin tau itu menyipit melihat wajah Luna yang berseri seri."Kau memang lotre?"Luna langsung mengganti senyumnya dengan wajah kaku. Bisakah Lia tak mengganggunya saat ini? Tapi harapan tinggal hayalan. Wanita cantik bak model itu malah menutup pintu supaya pembicaraan semakin aman."Ada apa?pagi-pagi sudah kepo?" Luna pura-pura sibuk mengotak Atik komputernya."Tunggu, tunggu!" Lia
"Kesini lah, Lun! Peluk aku!"Luna merasa hatinya gemetar, matanya menahan kedip dan aliran darah yang berjalan sangat cepat. Tentu saja dia ingin memeluk suaminya itu, sudah lama kesempatan itu dinantikan olehnya, tapi seakan kakinya terpaku di lantai, Luna tak bergerak sedikitpun. Jim menunggu, menunggu reaksi Luna, tapi tampaknya penantian akan sia sia. Jim tak menunggu lama, dia mengayuh kursi rodanya dan menubruk pinggang ramping itu, Luna menyambut tak siap dan terdorong beberapa langkah."Ya Tuhan, kau terlalu lama berfikir." Jim berbisik lirih, laki-laki itu memejamkan matanya menikmati saat jemari Luna yang bergetar singgah di kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Tak ada yang bicara, masing-masing menikmati pelampiasan kerinduan secara sederhana, cukup satu pelukan dan detak jantung yang saling berpacu.Beberapa saat saling diam, Jim mulai buka suara kembali, menengadah menyelam ke mata Luna yang berkaca kaca. Ada kehangatan yang tak diutarakan di bola mata tegas milik wa
Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dua jam yang lalu. Luna masih betah di kantornya padahal jarum jam sudah menunjukkan jam enam lewat dua puluh menit, para karyawan sudah pulang sejak jam empat sore tadi. Entah mengapa, Luna merasa lebih betah di kantor dari pada pulang ke Apartemen dan mendapati apartemen yang kosong. Ini sudah terhitung dua hari Jim tinggal di rumah Marta, dan sampai saat ini Luna belum berkesempatan untuk mengunjungi suaminya itu.Luna mengintip ke jendela kaca yang berembun, di luar sudah tampak gelap karena matahari mulai menyelinap ke peraduan, Luna mendesah tak semangat. Rindu? Tentu saja, setiap detik dia memikirkan Jim, namun bukan Luna namanya jika bisa langsung menampakan ekspresi secara berlebihan. Lia lah yang paling peka, sahabat satu satunya yang memahami Luna itu lebih banyak mengomel hari ini."Jangan kebanyakan gengsi, kalau rindu ya kunjungi, peluk sepuasnya dan bercinta setelahnya."Luna tak menghiraukan ocehan tanpa filter Lia."Kau tampak men
Luna menggenggam tangannya sendiri dengan resah. Jika tadi hatinya merasa tak sabar ingin berjumpa dengan Jim untuk menanyakan tentang Irene, saat ini dia malah ragu dan berniat membatalkan keinginan tahuannya itu. Jim yang dari tadi mengamatinya dalam diam angkat bicara."Ada apa, Lun? Kau terlihat gelisah."Luna tersentak sedikit, kemudian menggeleng lemah."Tidak.""Aku melihat ada sesuatu yang mengganggu pemikiranmu."Luna menghela nafasnya panjang."Ibumu berniat membawamu ke rumahnya setelah kau diperbolehkan pulang." Luna mengutarakan salah satu yang mengganjal di hatinya."Aku tau. Dan keputusan tetap di tanganku.""Bukan, bukan itu maksudku. Aku tak ingin membuatmu menjadi tidak terurus di apartemenku karena aku sibuk. Jadi, demi ketenangan ibumu, mungkin untuk sementara kau tinggal saja di sana, sampai kau sembuh, aku lelah dengan pertengkaran panjang ini, hubungan ku dengan ibumu semakin memburuk. Mungkin dengan kau menurutinya dia akan sedikit berubah padaku."Jim terdiam
Semua yang berada di dalam ruangan itu berkomunikasi dengan canggung. Marta sesekali hanya menimpali pembicaraan mami Luna dengan kaku walaupun mami Luna sudah berusaha mencairkan suasana. Hanya ayah Jim dan papi Luna yang terlihat tak terpengaruh dengan atmosfer kaku di dalam ruangan itu.Luna memang sengaja menelpon mertua dan orang tuanya untuk mengabari kondisi Jim yang sedang di tangani di ruangan operasi. Awalnya Marta mengucapkan banyak kalimat protes dan hanya diabaikan oleh Luna."Jadi, bagaimana langkah selanjutnya," tanya mami Luna yang langsung pada inti permasalahannya setelah ibu Jim tak berhenti mengoceh menyalahkan Luna atas keadaan yang menimpa Jim."Kami akan membawa anak kami pulang ke rumah." Nada ketus begitu kentara pada nada suara Marta, wanita yang masih menyisakan kecantikan masa muda itu sekilas melirik Luna yang tengah bersandar di sofa di ruangan perawatan. Jim masih belum sadar dari efek biusnya."Saya rasa mbak Marta harus berkomunikasi dulu dengan Jim."
Tak butuh lama bagi Luna untuk mendapatkan ambulan. Setelah sempat mengemasi beberapa pakaian Jim, tidak berselang lama ambulan datang. Dua orang petugas medis sudah siap siaga membawa tandu dan membopong Jim.Jim sempat bimbang dan minta pendapat pada Luna lewat sorot matanya, namun Luna menggenggam tangannya erat dan meyakinkan Jim bahwa semua akan berjalan baik-baik saja.Sekitar dua puluh menit, mereka sampai di rumah sakit yang cukup besar dan terkenal di Jakarta ,Jim langsung dibawa ke UGD untuk melakukan serangkaian pemeriksaan darurat. Salah satunya adalah pemeriksaan mata yang berguna untuk menunjukkan adanya pembengkakan pada saraf optik. Dokter laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu memandang Luna."Kita harus lakukan ST Scan dan dilanjutkan dengan MRI scan supaya saraf-saraf yang bermasalah terlihat jelas.""Lakukan yang terbaik, Dok." Luna menjawab dengan mantap, semangat tangan kiri Jim terus saja memegangi jemari Luna.Jim digiring ke ruangan khusus, dan Luna ha