Siapa yang tak sebal dianggap bagaikan sebuah lelucon oleh suami yang bahkan tak layak disebut suami. Dia tak menyangka idenya akan berakhir begini. Dalam hayalannya, Jim akan menandatangani surat perceraian itu dengan senang hati dan berterimakasih kepadanya karena telah berinisiatif membatalkan status pernikahan mereka.
Melihat sikap laki-laki itu, Luna tau persis Jim tak menyukainya. Luna pun tak berharap akan disukai oleh Jim, buktinya walaupun dia ditinggalkan laki-laki itu, dia tak merasa apa-apa, dia malah bersyukur kerena dia juga tak menginginkan pernikahan ini. Dia hidup dengan baik selama lima tahun ini, tak ada yang berubah, masih sama seperti sebelum menikah.
Tapi bagaimana bisa Jim malah menolak untuk bercerai? Bahkan laki- laki itu membawa kopernya dan laptop kesayangannya ke apartemen Luna. Dia bertingkah masa bodoh dan tak peduli.
"Dimana kamarku?" Jim meletakkan kopernya di ruang tamu, sambil melirik dua pintu yang merupakan kamar di apartemen ini.
"Aku belum menyetujuimu untuk tinggal bersamaku di apartemen ini." Luna bersidekap memandang Jim kesal.
Jim tak peduli, dia membuka gagang pintu di depannya dan langsung melihat kamar Luna. Kamar yang di dominasi oleh warna putih yang menggambarkan orangnya yang suka menyendiri.
"Ini kamarmu?" Jim memandang Luna datar.
"Jim!" Luna setengah membentak memberi peringatan.
"Kalau begitu, ini kamarku." Jim membuka pintu kamar yang satunya lagi. Masuk ke dalam tanpa mempedulikan Luna yang menahan marah.
"Jim, kenapa kau selalu seenaknya padaku? Aku ingin kita bercerai, Jim. Bukannya rujuk." Luna berusaha mengontrol emosinya.
"Barang-barangmu akan ku atur sendiri, supaya tidak terlalu sempit." Dia mengoceh tak peduli.
"Hentikan! Aku sudah lelah dengan ke pura-puraanmu, kita bercerai saja."
"Takkan ada perceraian."
Berikutnya, Luna hanya bisa menganga saat pintu kamar yang berfungsi sebagai ruang kerjanya itu tertutup di depan mukanya. Apa yang harus Luna lakukan pada pria itu.
*****
Luna memandang jalanan kota dari kaca kafe, memandang para pejalan kaki yang berjalan santai di trotoar. Mereka rata-rata adalah pekerja kantoran yang lebih memilih berjalan ke beberapa meter menuju halte, sore adalah kondisi yang sangat menyebalkan di ibu kota. Dari pada membawa kendaraan sendiri lebih baik menggunakan ojek online.Luna menopang dagunya. Tak bisa di deskripsikan perjalanan hidupnya. Hidup sebagai anak orang kaya bukan berarti akan bahagia. Contohnya dia dan Jim, mereka tak lepas dari kebiasaan perjodohan dengan alasan menjalin kembali hubungan pertemanan kedua orang tua mereka. Bahkan, mereka tak diberi kesempatan untuk mengatakan tidak.
Masih jelas di mata Luna. Peristiwa Lima tahun yang lalu, ucapan sakral dua orang laki-laki itu terngiang di telinganya. Jim tetap memaksakan ijab Kabul tanpa banyak bicara. Laki-laki itu bahkan tak terlalu menampakkan sikap menolak. Tapi ternyata, sehari setelah pernikahan mereka, Jim pergi tanpa kabar berita dan hanya meninggalkan secarik kertas yang berisi alamat apartemennya.
Apa yang dilakukan Luna? Dibanding bersedih dia lebih banyak merasa sakit hati. Karena bagaimanapun, perlakuan Jim membuat harga dirinya terluka. Dia begitu kesusahan menjelaskan kepada kedua keluarga mereka tentang pernikahan mereka selama lima tahun ini. Pria itu, tak bertanggung jawab sama sekali.
Jim, Luna hanya mengenalnya sekilas. Pria intovert yang tak menyukai dunia luar. Dia terlalu misterius dan penyendiri, tak ada yang diketahui oleh Luna berkaitan dengan pria itu selain namanya Jim dan dia seorang editor.
Luna menyukai Jim? Oh tidak. Walaupun Luna bukan wanita yang populer, malah tergolong kurang gaul, dia takkan mungkin menyangkutkan perasaannya dengan laki-laki seperti Jim. Tak ada sedikitpun daya tarik laki-laki itu di matanya, bahkan Di mata semua orang.
Luna melirik jam dinding yang berada di kafe itu, sebentar lagi waktu Maghrib akan masuk. Dia harus bergegas pulang jika tak ingin kemalaman sampai di apartemen.
Gadis itu akhirnya keluar dari kafe setelah membayar tagihan terlebih dahulu.
Luna, dia hanya wanita sederhana. Berpenampilan biasa bahkan boleh dikatakan tidak menarik. Dia tidak begitu mengerti dengan fashion. Baginya, yang penting bersih dan nyaman itu sudah cukup. Dia tak pernah menaruh perasaan kepada lawan jenis karena dia merasa rendah diri sejak kasus pembuliyan yang dialaminya saat SMA dulu.
Mungkin dia juga termasuk wanita yang aneh, Jim laki-laki yang aneh. Mereka dijodohkan dan menjalani pernikahan yang aneh juga. Luna hanya tersenyum miris dengan nasibnya selama ini.
Luna mendapati apartemen dalam ke adaan gelap. Bahkan jendela masih dibiarkan terbuka. Bukan tak ada orang di rumah, buktinya sepatu lusuh kesayangan Jim masih tergeletak pasrah berceceran di ambang pintu masuk. Luna menghela nafas, menata sepatu itu ke rak sepatu yang sudah disediakan di dekat pintu masuk. Lalu kakinya yang dibalut celana kulot bewarna coklat itu melangkah menuju kontak lampu yang berada di dinding.Ruangan apartemen akhirnya terang benderang, namun Luna hanya menghela nafasnya melihat apa yang ada di depan matanya saat ini. Kulit kacang berserakan di atas meja di depan televisi serta botol minuman yang sudah kosong. Padahal apartemen kecil itu ditinggalkan Luna dalam keadaan rapi. Siapa lagi pelakunya kalau bukan manusia aneh alias Jim.Luna melempar tas kecilnya ke atas sofa lalu mengumpulkan kulit kacang dan botol i
Luna baru saja membuka jilbabnya saat pintu kamarnya digedor tak sabaran. Mau tak mau Luna meraih jilbab itu kembali dan memasang asal di atas kepalanya. Luna membuka pintu sambil berdecak kesal, namun kekesalan tidak berlangsung lama saat Luna mendapati kondisi Jim yang memprihatinkan.Keringat sebesar biji jagung ke keluar dari pori-porinya, nafasnya sesak dan berdiri sempoyongan. Jim berusaha menopang tubuhnya dengan bersandar ke daun pintu kamar milik Luna."Tolong! Tolong antarkan aku ke rumah sakit." Jim kesusahan menata nafas, tangannya masih berada di bagian perutnya."Tunggu sebentar!" Ujar Luna cukup kaget, dia berlari menuju meja kerjanya dan meraih kunci mobil dari sana. Luna membantu Jim untuk berjalan menuju lift, laki-laki itu hanya menurut, sesekali terdengar erangan sa
Luna bergerak gelisah di atas ranjang berseprai putih miliknya. Sungguh, matanya tidak bisa diajak bekerja sama. Dia mencoba merenungkan apa yang telah terjadi pada dirinya selama dua puluh empat jam ini.Mendatangi Jim dengan tujuan mengakhiri pernikahan mereka tapi malah membuat laki-laki itu tinggal bersamanya. Rasanya semua ini tak masuk akal baginya. Selama ini mereka hidup dalam sandiwara, tiba saatnya episodenya dengan Jim harus berakhir, tapi kenapa semua malah dimulai dari awal lagi? Membawa Jim ke apartemen hanya akan membuat semuanya kembali rumit bagi mereka.Luna tau, Jim dan dirinya bernasib sama. Ingin terlepas dari kekangan keluarga yang selalu memiliki aturan yang tidak masuk akal. Luna bahkan jarang pulang ke rumah orang tuanya. Karena jika dia bertemu orang tuanya, temanya tak jauh-jauh dari kata 'mami ingin cucu', me
Luna memijit kepalanya lelah. Matanya memandang Mike dengan putus asa. Mike adalah teman sekaligus bawahannya, laki-laki itu adalah teman berbicara selama ini dalam soal pekerjaan, tapi Luna jarang membicarakan hal pribadi dengan laki-laki itu."Aku harus mencari kemana lagi, bahkan hutang perusahaan belum terbayar sampai saat ini, bunga terus berjalan setiap bulannya." Luna mengusap tepi cangkir tehnya. Saat ini mereka tengah duduk di ruangan Luna.Sebenarnya sudah waktunya pulang, tapi mereka terus berfikir keras untuk melanjutkan perusahaan kecil yang dilanda krisis karena buruknya ekonomi di negara saat ini."Kau adalah orang yang paling tidak bisa dimengerti, kalau aku jadi kau, aku lebih memilih meneruskan perusahaan ayahku yang sudah berkembang sangat pesat."
Malam merangkak larut, waktu malam adalah waktu yang sangat ditunggu semua orang untuk beristirahat, menjemput mimpi dan melepas lelah.Luna sudah terlelap, memeluk guling dan menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Menyisakan gaun tidur yang memamerkan kemolekan tubuhnya. Jim tak ingin matanya menjelajah kurang ajar. Kondisinya saat ini tidak cocok untuk berfikir ke arah sana. Saat ini, dia ibarat tengah menunggu musuh, lalai sedikit saja maka dia akan mati.Keributan beberapa jam lalu berubah senyap. Hanya Jim satu-satunya yang masih memaksa dirinya untuk tak menyerah melawan kantuk. Dan rasanya ... Sangat menyedihkan.Jim bahkan bisa merasakan suara nafasnya sendiri yang bersaing dengan denting kecil suara jarum jam di dinding kamar Luna. Alangkah beruntungnya menjadi mereka, bisa meni
Luna hanya terpekur dengan pemikirannya sendiri. Banyak hal yang tak terduga yang terjadi akhir-akhir ini, dan Luna hanya bisa pasrah menjalaninya walau dengan berat hati.Hal yang paling ingin cepat di selesaikannya adalah perceraian dengan Jim, tapi, belum selesai ke ruwetannya dengan pria itu, ke dua keluarga malah mulai ikut campur menyatukan mereka kembali.Luna bukannya goyah, apa pun yang terjadi, perceraian dengan Jim adalah sebuah keharusan. Tak ada alasan bagi mereka untuk meneruskan pernikahan yang dari awal tidak harus terjadi.Luna mencoba menggeser tubuh Jim dari dirinya, namun cengkaraman kuat menghentikan gerakan Luna. Jim bergayut bagaikan balita yang ketakutan.Akhirnya, Luna hanya bisa pasrah sambil membenarkan posisi tidurnya walaupun harus mendekap laki-laki itu.Rasanya sangat lucu, dan seperti panggung sandiwara. Kehadiran Jim di apartemen memb
Luna memutuskan pulang lebih awal ke apartemennya. Kondisinya tidak sehat, kepalanya berdenyut sakit. Yang Luna butuhkan saat ini adalah berendam air hangat dan merbahkan diri di tempat tidur.Luna mendorong pintu yang tak terkunci, saat bunyi sepatunya menggema, saat itu pula pintu kamar Jim terbuka. Seperti biasa, wajah datar misterius tanpa senyum."Kau sudah makan siang?" Luna meletakkan tasnya di atas sofa sambil memijit kepalanya yang berdenyut sakit."Sudah, delivery," jawabnya datar tapi matanya mengamati Luna."Aku tak sempat memasak." Luna tidak tau kenapa dia harus peduli dengan laki-laki itu."Tidak masalah." Jim duduk di samping Luna. Hatinya bahagia bisa bertemu lebih cepat dari seharusnya dengan Luna. "Kau sakit?""Hanya sakit kepala, mungkin karena banyak yang aku pikirkan akhir-akhir ini."Jim diam, dia tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik."Maaf, semalam merepotkanmu."Luna melirik Jim
Luna melotot ke arah Jim. Laki-laki itu sudah menguasai separoh dari ranjangnya. Luna tak berdaya mengusir suaminya itu saat ini.Jim belum memejamkan matanya, tapi memandang Luna dengan tenang. Dia tau Luna sedang kesal saat ini, tapi Jim memilih tak begitu peduli."Jim." Luna bangkit dan duduk di ranjang sambil memandang Jim lelah. Dia harus membuat kesepakatan dengan laki-laki itu."Kita harus menyepakati beberapa hal. Termasuk dengan keinginanmu untuk tidur di kamarku. Demi tuhan, Jim. Ini tidak seharusnya terjadi, kita akan bercerai, bercerai Jim."Jim tampak santai dan menguasai dirinya dengan baik."Perceraian takkan terjadi tanpa kesepakatan kedua belah pihak. Dan aku memutuskan melanjutkan pernikahan ini.""Jim, jangan aneh-aneh. Aku tak ingin lagi terikat denganmu. Ide untuk tidur bersama demi kau mendapatkan tidur nyenyakmu, sungguh tak masuk akal."Jim diam saja. Dia tak membantah dan tidak menyetujui. Luna hanya membuang nafas menahan emosi dan kekesalannya pada pria itu.