Share

Tiga

Author: Gleoriud
last update Huling Na-update: 2021-10-19 20:54:17

Siapa yang tak sebal dianggap bagaikan sebuah lelucon oleh suami yang bahkan tak layak disebut suami. Dia tak menyangka idenya akan berakhir begini. Dalam hayalannya, Jim akan menandatangani surat perceraian itu dengan senang hati dan berterimakasih kepadanya karena telah berinisiatif membatalkan status pernikahan mereka.

Melihat sikap laki-laki itu, Luna tau persis Jim tak menyukainya. Luna pun tak berharap akan disukai oleh Jim, buktinya walaupun dia ditinggalkan laki-laki itu, dia tak merasa apa-apa, dia malah bersyukur kerena dia juga tak menginginkan pernikahan ini. Dia hidup dengan baik selama lima tahun ini, tak ada yang berubah, masih sama seperti sebelum menikah.

Tapi bagaimana bisa Jim malah menolak untuk bercerai? Bahkan laki- laki itu membawa kopernya dan laptop kesayangannya ke apartemen Luna. Dia bertingkah masa bodoh dan tak peduli.

"Dimana kamarku?" Jim meletakkan kopernya di ruang tamu, sambil melirik dua pintu yang merupakan kamar di apartemen ini.

"Aku belum menyetujuimu untuk tinggal bersamaku di apartemen ini." Luna bersidekap memandang Jim kesal.

Jim tak peduli, dia membuka gagang pintu di depannya dan langsung melihat kamar Luna. Kamar yang di dominasi oleh warna putih yang menggambarkan orangnya yang suka menyendiri.

"Ini kamarmu?" Jim memandang Luna datar.

"Jim!" Luna setengah membentak memberi peringatan.

"Kalau begitu, ini kamarku." Jim membuka pintu kamar yang satunya lagi. Masuk ke dalam tanpa mempedulikan Luna yang menahan marah.

"Jim, kenapa kau selalu seenaknya padaku? Aku ingin kita bercerai, Jim. Bukannya rujuk." Luna berusaha mengontrol emosinya.

"Barang-barangmu akan ku atur sendiri, supaya tidak terlalu sempit." Dia mengoceh tak peduli.

"Hentikan! Aku sudah lelah dengan ke pura-puraanmu, kita bercerai saja."

"Takkan ada perceraian."

Berikutnya, Luna hanya bisa menganga saat pintu kamar yang berfungsi sebagai ruang kerjanya itu tertutup di depan mukanya. Apa yang harus Luna lakukan pada pria itu.

*****

Luna memandang jalanan kota dari kaca kafe, memandang para pejalan kaki yang berjalan santai di trotoar. Mereka rata-rata adalah pekerja kantoran yang lebih memilih berjalan ke beberapa meter menuju halte, sore adalah kondisi yang sangat menyebalkan di ibu kota. Dari pada membawa kendaraan sendiri lebih baik menggunakan ojek online.

Luna menopang dagunya. Tak bisa di deskripsikan perjalanan hidupnya. Hidup sebagai anak orang kaya bukan berarti akan bahagia. Contohnya dia dan Jim, mereka tak lepas dari kebiasaan perjodohan dengan alasan menjalin kembali hubungan pertemanan kedua orang tua mereka. Bahkan, mereka tak diberi kesempatan untuk mengatakan tidak.

Masih jelas di mata Luna. Peristiwa Lima tahun yang lalu, ucapan sakral dua orang laki-laki itu terngiang di telinganya. Jim tetap memaksakan ijab Kabul tanpa banyak bicara. Laki-laki itu bahkan tak terlalu menampakkan sikap menolak. Tapi ternyata, sehari setelah pernikahan mereka, Jim pergi tanpa kabar berita dan hanya meninggalkan secarik kertas yang berisi alamat apartemennya.

Apa yang dilakukan Luna? Dibanding bersedih dia lebih banyak merasa sakit hati. Karena bagaimanapun, perlakuan Jim membuat harga dirinya terluka. Dia begitu kesusahan menjelaskan kepada kedua keluarga mereka tentang pernikahan mereka selama lima tahun ini. Pria itu, tak bertanggung jawab sama sekali.

Jim, Luna hanya mengenalnya sekilas. Pria intovert yang tak menyukai dunia luar. Dia terlalu misterius dan penyendiri, tak ada yang diketahui oleh Luna berkaitan dengan pria itu selain namanya Jim dan dia seorang editor.

Luna menyukai Jim? Oh tidak. Walaupun Luna bukan wanita yang populer, malah tergolong kurang gaul, dia takkan mungkin menyangkutkan perasaannya dengan laki-laki seperti Jim. Tak ada sedikitpun daya tarik laki-laki itu di matanya, bahkan Di mata semua orang.

Luna melirik jam dinding yang berada di kafe itu, sebentar lagi waktu Maghrib akan masuk. Dia harus bergegas pulang jika tak ingin kemalaman sampai di apartemen.

Gadis itu akhirnya keluar dari kafe setelah membayar tagihan terlebih dahulu.

Luna, dia hanya wanita sederhana. Berpenampilan biasa bahkan boleh dikatakan tidak menarik. Dia tidak begitu mengerti dengan fashion. Baginya, yang penting bersih dan nyaman itu sudah cukup. Dia tak pernah menaruh perasaan kepada lawan jenis karena dia merasa rendah diri sejak kasus pembuliyan yang dialaminya saat SMA dulu.

Mungkin dia juga termasuk wanita yang aneh, Jim laki-laki yang aneh. Mereka dijodohkan dan menjalani pernikahan yang aneh juga. Luna hanya tersenyum miris dengan nasibnya selama ini.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Sembilan ( End )

    Luna mematikan alarm yang berbunyi nyaring di atas meja yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Pukul lima subuh, suara adzan pun terdengar nyaring dari mesjid besar yang berada tak jauh dari apartemen. Luna menyentuh lengan Jim, walau mereka baru tidur jam dua dini hari, tapi kewajiban sebagai muslim harus ditunaikan tanpa kelalaian."Jim! Hei, bangun! Kita harus mandi.""Engh...." Jim menggeliat, membuka matanya yang sayu kemudian melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamar Luna."Ah! Padahal aku baru tidur beberapa jam.""Bangun!" Luna tak menyerah."Iya, baiklah!" Jim akhirnya memaksakan diri untuk bangun.*****Di tahun ke tujuh pernikahan mereka, atau tahun ke dua setelah tinggal bersama, banyak hal yang berubah, salah satunya Luna bertugas menjadi ibu rumah tangga dan perusahaan diserahkan ke pada Jim untuk mengelola dengan bantuan dari Luna. Mereka sudah memiliki cabang di kota kota lain, salah satu cabang yang tak kalah maju adalah yang berada di kota Surabaya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Delapan

    Luna menyesap sedikit teh hangat yang masih mengepul mengeluarkan asap. Sore yang dihiasi gerimis serta udara sejuk cukup membuat ke dua orang yang sedang duduk berhadapan di balkon kamar itu merasa rileks.Iya, beberapa hari sesudahnya, Jim memutuskan kembali ke apartemen Luna karena kondisinya yang mulai membaik. Tubuhnya sudah berfungsi sempurna, hanya saja belum bisa melakukan pekerjaan berat.Jim sampai di apartemen jam satu siang diantar oleh supir pribadi ibunya. Mertua Luna itu sempat mampir sebentar dan berbincang-bincang sejenak dengan Luna.Saat mertuanya datang, Luna menyambut dengan ramah, mempersilakan wanita itu duduk dan menghidangkan cake yang baru saja dibuatnya pagi ini. Berhubung hari libur, Luna hanya menghabiskan waktu di dapur dan mencoba resep baru yang baru didapatkannya di internet."Kau lebih cocok menjadi seorang koki," komentar Marta saat merasakan bagaimana cita rasa cake lembut yang melumer di mulutnya. Wanita itu, memang mewarisi bakat sang maminya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Tujuh

    Luna menutup pintu ruangannya lalu menguncinya. Pada hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejak hubungan mereka membaik, Jim berubah menjadi laki- laki yang cerewet dan menanyakan pertanyaan setiap saat pada Luna. Tak jauh-jauh dari 'di mana? Lagi apa? Udah makan belum?' atau yang paling menggelitik 'aku kangen', Luna merasa seperti remaja belasan tahun yang kasmaran. Sudah lima hari mereka tak bertemu, karena Luna bekerja ke luar kota selama lima hari itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan berjalan sangat baik, keuntungan bahkan meningkat menjadi tiga ratus persen. Semua tak lepas dari bantuan Jim, yang telah menyuntikkan dana membangun kembali perusahaan Luna yang hampir gulung tikar.Luna berjalan semangat ke parkiran mobil, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya.*****Sepeti biasa, ibu Jim membuka pintu saat Luna mengetuk pintu rumah itu. Walaupun masih kaku, tapi ibu Jim tak pernah mengucapkan kalimat pedas seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Enam

    Luna kembali ke apartemennya setelah shalat subuh di rumah Jim. Minta izin sekilas pada ibu mertua dan bergegas ke apartemen untuk bersiap siap bekerja. Hari ini ada beberapa klien yang sudah memilki janji bertemu langsung dengan Luna.Jim pagi itu berusaha menahan Luna, merana masih merengek dan belum puas bersama istrinya itu, tapi berjanji akan sering berkunjung. Hal itu membuat Jim tak lagi ngotot.Pagi ini, Luna tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya. Entah kenapa, hari ini berasa dipenuhi bunga bunga mekar yang mengeluarkan harum semerbak. Hal itu tak luput dari mata jeli Lia, wanita yang suka ingin tau itu menyipit melihat wajah Luna yang berseri seri."Kau memang lotre?"Luna langsung mengganti senyumnya dengan wajah kaku. Bisakah Lia tak mengganggunya saat ini? Tapi harapan tinggal hayalan. Wanita cantik bak model itu malah menutup pintu supaya pembicaraan semakin aman."Ada apa?pagi-pagi sudah kepo?" Luna pura-pura sibuk mengotak Atik komputernya."Tunggu, tunggu!" Lia

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Lima

    "Kesini lah, Lun! Peluk aku!"Luna merasa hatinya gemetar, matanya menahan kedip dan aliran darah yang berjalan sangat cepat. Tentu saja dia ingin memeluk suaminya itu, sudah lama kesempatan itu dinantikan olehnya, tapi seakan kakinya terpaku di lantai, Luna tak bergerak sedikitpun. Jim menunggu, menunggu reaksi Luna, tapi tampaknya penantian akan sia sia. Jim tak menunggu lama, dia mengayuh kursi rodanya dan menubruk pinggang ramping itu, Luna menyambut tak siap dan terdorong beberapa langkah."Ya Tuhan, kau terlalu lama berfikir." Jim berbisik lirih, laki-laki itu memejamkan matanya menikmati saat jemari Luna yang bergetar singgah di kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Tak ada yang bicara, masing-masing menikmati pelampiasan kerinduan secara sederhana, cukup satu pelukan dan detak jantung yang saling berpacu.Beberapa saat saling diam, Jim mulai buka suara kembali, menengadah menyelam ke mata Luna yang berkaca kaca. Ada kehangatan yang tak diutarakan di bola mata tegas milik wa

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Empat

    Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dua jam yang lalu. Luna masih betah di kantornya padahal jarum jam sudah menunjukkan jam enam lewat dua puluh menit, para karyawan sudah pulang sejak jam empat sore tadi. Entah mengapa, Luna merasa lebih betah di kantor dari pada pulang ke Apartemen dan mendapati apartemen yang kosong. Ini sudah terhitung dua hari Jim tinggal di rumah Marta, dan sampai saat ini Luna belum berkesempatan untuk mengunjungi suaminya itu.Luna mengintip ke jendela kaca yang berembun, di luar sudah tampak gelap karena matahari mulai menyelinap ke peraduan, Luna mendesah tak semangat. Rindu? Tentu saja, setiap detik dia memikirkan Jim, namun bukan Luna namanya jika bisa langsung menampakan ekspresi secara berlebihan. Lia lah yang paling peka, sahabat satu satunya yang memahami Luna itu lebih banyak mengomel hari ini."Jangan kebanyakan gengsi, kalau rindu ya kunjungi, peluk sepuasnya dan bercinta setelahnya."Luna tak menghiraukan ocehan tanpa filter Lia."Kau tampak men

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status