Luna baru saja membuka jilbabnya saat pintu kamarnya digedor tak sabaran. Mau tak mau Luna meraih jilbab itu kembali dan memasang asal di atas kepalanya. Luna membuka pintu sambil berdecak kesal, namun kekesalan tidak berlangsung lama saat Luna mendapati kondisi Jim yang memprihatinkan.
Keringat sebesar biji jagung ke keluar dari pori-porinya, nafasnya sesak dan berdiri sempoyongan. Jim berusaha menopang tubuhnya dengan bersandar ke daun pintu kamar milik Luna.
"Tolong! Tolong antarkan aku ke rumah sakit." Jim kesusahan menata nafas, tangannya masih berada di bagian perutnya.
"Tunggu sebentar!" Ujar Luna cukup kaget, dia berlari menuju meja kerjanya dan meraih kunci mobil dari sana. Luna membantu Jim untuk berjalan menuju lift, laki-laki itu hanya menurut, sesekali terdengar erangan sakit yang dirasakan olehnya.
*****
Jim baru saja mendapat penanganan dokter ketika Luna melarikannya ke UGD. Jim tak lagi mengerang sakit, setelah mendapatkan suntikan dari dokter melalui infus yang dipasang kepadanya.Laki-laki itu masih tergolek lemah, namun dia menyimak semua keterangan dokter dengan baik.
"Suami anda menderita mag kronis dilihat dari gejala yang sudah di paparkan. Tekanan darahnya pun rendah dan dapat saya pastikan pak Jim kebanyakan begadang."
Luna hanya mengangguk, dia melirik Jim yang tampak biasa saja dengan keterangan dokter itu.
"Untuk beberapa hari ini jangan makan makanan keras, nasi diganti dengan bubur dan jangan membiarkan perut dalam keadaan kosong. Hindari stress dan banyak istirahat." Sang dokter menuliskan resep obat dan menyerahkannya pada Luna.
"Baik, dok."
"Sudah bolehkah saya pulang, dok?"
"Boleh setelah cairan infusnya habis." Dokter wanita itu kemudian beranjak meninggalkan mereka.
Luna melirik jam dinding. Sudah pukul 8 malam. Bahkan dia belum sempat mandi sore ini. Luna menarik kursi yang berada tak jauh dari bangkar yang di huni Jim. Luna menghela nafas kembali, menatap Jim dengan pandangan lelah.
"Kita akan berada di sini sampai tengah malam."
"Maaf merepotkanmu." Jim mengalihkan perhatiannya menghindari kontak mata dengan Luna.
"Sebenarnya aku tak ingin ikut campur dengan hidupmu. Seperti kau tak mempedulikanku selama ini. Tapi ini sifatnya kemanusiaan, jangan anggap ada maksud atas apa yang terjadi."
"Aku tau, jangan kawatir!"
"Jim," sapa Luna. Wajah dipenuhi brewok itu memandangnya datar, kaca mata minus telah terlepas dari matanya, atau mungkin tak sempat di pasang laki-laki itu sebelum ke rumah sakit.
"Seharusnya kau lebih memperhatikan dirimu. Maksudku, kau terlalu berantakan." Luna geli dengan bulu-bulu liar yang memenuhi sisi wajah laki-laki itu. Kemudian Luna bangkit meninggalkan Jim sendiri. Jim hanya termangu, memandang punggung Luna yang menjauh darinya.
Bahkan, dia lupa, kapan terakhir dia mandi dan membersihkan diri.
*****
Mereka sampai di apartemen jam satu dini hari. Luna sempat memasak bubur untuk laki-laki itu sebelum dia tidur. Jim tak mengucapkan apa-apa selain melahap habis bubur di depannya seperti orang yang tak pernah makan.Sepeninggal Luna, Jim berjalan gontai ke arah kamarnya. Melirik tempat tidur dan menahan kantuknya.
Jim ingin tidur dengan lelap, sangat ingin. Tapi dia tak pernah mendapatkannya, tidur adalah sesuatu yang ditakutinya. Malam hari bagaikan teror yang tak kunjung selesai, membuatnya nyaris gila dan ingin bunuh diri.
Jim lelah, mata beratnya tak bisa berkompromi. Tanpa disadarinya dia sudah merebahkan diri di tempat tidur. Lama, cukup lama. Satu jam, dua jam, tiga jam. Dan seperti biasa, suara ledakan kembali membangunkannya, Jim terjaga sambil menutup telinganya, menetralkan nafasnya yang berubah sesak. Ledakan itu sangat kuat, menyebabkan telinganya berdenging sakit.
Tak ada apa-apa, tak ada bom, tak ada tembakan. Tapi ledakan itu terdengar nyata dan menghantuinya. Exploding head sindrom, sebuah penyakit langka yang dideritanya selama ini, penyakit yang tak bisa diobati dan tak ada obatnya. Penyakit yang membuat Jim menutup diri dan menjauh dari orang lain. Penyakit yang membuatnya rendah diri. Serta Penyakit yang membuatnya bertekad meninggalkan Luna, wanita yang mengenalkan arti cinta pertama kepadanya.
Jim merangkak turun dari tempat tidur lalu membuka laptopnya, dia perlu game online untuk mengalihkan rasa kantuk. Sampai kapan dia harus begini, andaikan boleh memilih hidup atau mati, dia lebih memilih mati.
Luna mematikan alarm yang berbunyi nyaring di atas meja yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Pukul lima subuh, suara adzan pun terdengar nyaring dari mesjid besar yang berada tak jauh dari apartemen. Luna menyentuh lengan Jim, walau mereka baru tidur jam dua dini hari, tapi kewajiban sebagai muslim harus ditunaikan tanpa kelalaian."Jim! Hei, bangun! Kita harus mandi.""Engh...." Jim menggeliat, membuka matanya yang sayu kemudian melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamar Luna."Ah! Padahal aku baru tidur beberapa jam.""Bangun!" Luna tak menyerah."Iya, baiklah!" Jim akhirnya memaksakan diri untuk bangun.*****Di tahun ke tujuh pernikahan mereka, atau tahun ke dua setelah tinggal bersama, banyak hal yang berubah, salah satunya Luna bertugas menjadi ibu rumah tangga dan perusahaan diserahkan ke pada Jim untuk mengelola dengan bantuan dari Luna. Mereka sudah memiliki cabang di kota kota lain, salah satu cabang yang tak kalah maju adalah yang berada di kota Surabaya yang
Luna menyesap sedikit teh hangat yang masih mengepul mengeluarkan asap. Sore yang dihiasi gerimis serta udara sejuk cukup membuat ke dua orang yang sedang duduk berhadapan di balkon kamar itu merasa rileks.Iya, beberapa hari sesudahnya, Jim memutuskan kembali ke apartemen Luna karena kondisinya yang mulai membaik. Tubuhnya sudah berfungsi sempurna, hanya saja belum bisa melakukan pekerjaan berat.Jim sampai di apartemen jam satu siang diantar oleh supir pribadi ibunya. Mertua Luna itu sempat mampir sebentar dan berbincang-bincang sejenak dengan Luna.Saat mertuanya datang, Luna menyambut dengan ramah, mempersilakan wanita itu duduk dan menghidangkan cake yang baru saja dibuatnya pagi ini. Berhubung hari libur, Luna hanya menghabiskan waktu di dapur dan mencoba resep baru yang baru didapatkannya di internet."Kau lebih cocok menjadi seorang koki," komentar Marta saat merasakan bagaimana cita rasa cake lembut yang melumer di mulutnya. Wanita itu, memang mewarisi bakat sang maminya yang
Luna menutup pintu ruangannya lalu menguncinya. Pada hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejak hubungan mereka membaik, Jim berubah menjadi laki- laki yang cerewet dan menanyakan pertanyaan setiap saat pada Luna. Tak jauh-jauh dari 'di mana? Lagi apa? Udah makan belum?' atau yang paling menggelitik 'aku kangen', Luna merasa seperti remaja belasan tahun yang kasmaran. Sudah lima hari mereka tak bertemu, karena Luna bekerja ke luar kota selama lima hari itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan berjalan sangat baik, keuntungan bahkan meningkat menjadi tiga ratus persen. Semua tak lepas dari bantuan Jim, yang telah menyuntikkan dana membangun kembali perusahaan Luna yang hampir gulung tikar.Luna berjalan semangat ke parkiran mobil, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya.*****Sepeti biasa, ibu Jim membuka pintu saat Luna mengetuk pintu rumah itu. Walaupun masih kaku, tapi ibu Jim tak pernah mengucapkan kalimat pedas seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan
Luna kembali ke apartemennya setelah shalat subuh di rumah Jim. Minta izin sekilas pada ibu mertua dan bergegas ke apartemen untuk bersiap siap bekerja. Hari ini ada beberapa klien yang sudah memilki janji bertemu langsung dengan Luna.Jim pagi itu berusaha menahan Luna, merana masih merengek dan belum puas bersama istrinya itu, tapi berjanji akan sering berkunjung. Hal itu membuat Jim tak lagi ngotot.Pagi ini, Luna tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya. Entah kenapa, hari ini berasa dipenuhi bunga bunga mekar yang mengeluarkan harum semerbak. Hal itu tak luput dari mata jeli Lia, wanita yang suka ingin tau itu menyipit melihat wajah Luna yang berseri seri."Kau memang lotre?"Luna langsung mengganti senyumnya dengan wajah kaku. Bisakah Lia tak mengganggunya saat ini? Tapi harapan tinggal hayalan. Wanita cantik bak model itu malah menutup pintu supaya pembicaraan semakin aman."Ada apa?pagi-pagi sudah kepo?" Luna pura-pura sibuk mengotak Atik komputernya."Tunggu, tunggu!" Lia
"Kesini lah, Lun! Peluk aku!"Luna merasa hatinya gemetar, matanya menahan kedip dan aliran darah yang berjalan sangat cepat. Tentu saja dia ingin memeluk suaminya itu, sudah lama kesempatan itu dinantikan olehnya, tapi seakan kakinya terpaku di lantai, Luna tak bergerak sedikitpun. Jim menunggu, menunggu reaksi Luna, tapi tampaknya penantian akan sia sia. Jim tak menunggu lama, dia mengayuh kursi rodanya dan menubruk pinggang ramping itu, Luna menyambut tak siap dan terdorong beberapa langkah."Ya Tuhan, kau terlalu lama berfikir." Jim berbisik lirih, laki-laki itu memejamkan matanya menikmati saat jemari Luna yang bergetar singgah di kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Tak ada yang bicara, masing-masing menikmati pelampiasan kerinduan secara sederhana, cukup satu pelukan dan detak jantung yang saling berpacu.Beberapa saat saling diam, Jim mulai buka suara kembali, menengadah menyelam ke mata Luna yang berkaca kaca. Ada kehangatan yang tak diutarakan di bola mata tegas milik wa
Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dua jam yang lalu. Luna masih betah di kantornya padahal jarum jam sudah menunjukkan jam enam lewat dua puluh menit, para karyawan sudah pulang sejak jam empat sore tadi. Entah mengapa, Luna merasa lebih betah di kantor dari pada pulang ke Apartemen dan mendapati apartemen yang kosong. Ini sudah terhitung dua hari Jim tinggal di rumah Marta, dan sampai saat ini Luna belum berkesempatan untuk mengunjungi suaminya itu.Luna mengintip ke jendela kaca yang berembun, di luar sudah tampak gelap karena matahari mulai menyelinap ke peraduan, Luna mendesah tak semangat. Rindu? Tentu saja, setiap detik dia memikirkan Jim, namun bukan Luna namanya jika bisa langsung menampakan ekspresi secara berlebihan. Lia lah yang paling peka, sahabat satu satunya yang memahami Luna itu lebih banyak mengomel hari ini."Jangan kebanyakan gengsi, kalau rindu ya kunjungi, peluk sepuasnya dan bercinta setelahnya."Luna tak menghiraukan ocehan tanpa filter Lia."Kau tampak men