Luna memijit kepalanya yang terasa berat. Banyak hal yang dilewatinya beberapa hari ini. Sudah dua Minggu Jim dirawat pasca operasi, selama itu juga Luna bolak-balik ke rumah sakit, menyempatkan waktu walau hanya beberapa jam saja. Dia menulikan telinganya dari omelan mertuanya yang selalu mengkambing hitamkan Luna, memperlakukan Luna sebagai tersangka atas yang menimpa Jim selama ini.Lia masuk sambil mengamati wajah Luna. Beberapa hari ini wajah sang bos terlihat kacau, tapi dia tak berniat membagi keluh kesahnya pada Lia."Kau tak makan siang?" Lia menarik satu kursi dan duduk di depan Luna."Aku kehilangan selera makan.""Kau ... Hamil?" Lia bersorak. Luna sampai memukul lengan Lia dengan buku di tangannya."Jangan asal bicara.""Hamil itu biasa terjadi pada orang yang telah menikah. Kau sangat aneh.""Tapi tidak untuk pernikahanku."Lia memutar matanya malas."Ada apa? Wajahmu kusut, lingkaran matamu persis seperti panda. Aku kira kau kebanyakan begadang membuat anak.""Lia, bisa
Luna tergagap, beberapa detik dia lupa akan dirinya, dia larut dan hanyut. Namun saat ringisan Jim terdengar, Luna menjauh dan menutup mulutnya kaget. Tanpa permisi, dia turun dari ranjang dengan tergesa-gesa.Luna memalingkan wajahnya yang merah padam dan penuh penyesalan kesembarang arah. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa mengontrol diri."Aku harus pulang, ini sudah larut. Kau sebaiknya beristirahat." Luna meraih tasnya dengan cepat."Lun, yang tadi...." Jim berusaha menghentikan langkah Luna."Lupakan! Aku hanya terbawa suasana, dan untuk masalah kau akan pulang ke apartemen setelah diperbolehkan pulang, aku belum bisa memberikan keputusan. Aku sarankan, sebaiknya kau mengikuti apa kata ibumu." Luna menggeret langkahnya menuju pintu keluar. Jim hanya terpaku memandang punggung wanita itu.Setiba di mobil, Luna membanting kecil keningnya ke stir mobil. Apa yang terjadi? Kenapa dia malah menikmati dan membalasnya? Bahkan perasaan asing yang belum pernah dirasakannya selama
Luna sengaja tidak mengunjungi Jim hari ini, padahal dia tau, sekarang Jim sudah diperbolehkan pulang ke rumah karena sudah memungkinkan untuk rawat jalan. Luna duduk dengan gelisah, sudah jam delapan malam. Semua karyawan sudah pulang kecuali security yang berjaga-jaga. Luna berfikir, dia harus pulang saat ini juga. Sehari ini dia gelisah, ada rasa bersalah menyusup dalam hatinya karena mengabaikan Jim namun Luna memilih mengabaikannya.Luna meregangkan badannya yang kaku. Kemudian berjalan cepat menuju parkiran dan menyalakan mobilnya. Jalan raya lancar tanpa macet, beberapa menit setelah itu, Luna sampai di apartemennya.Kening Luna mengernyit, rasanya dia mematikan lampu sebelum berangkat ke kantor. Tapi ruangan itu terang dengan pintu tak dikunci. Beberapa pasang sepatu tersusun rapi di rak kecil di dekat pintu masuk.Pertanyaan Luna terjawab sudah, di sana, tiga orang memandangnya dengan ekspresi berbeda. Jim tersenyum sumringah, sedangkan Marta memandang Luna sambil berdecak k
Kondisi Jim sebenarnya semakin membaik, cidera yang dideritanya hanya bagian leher dan kepala, sedangkan pinggang ke bawah saat itu jatuh membentur rumput taman, sedangkan kepala menghantam beton pembatas antara rumput dan kolam buatan.Pagi ini, Jim mulai melupakan kursi rodanya, gips masih setia menyangga lehernya, sedangkan kepala yang botak itu masih nyeri sesekali. Luka operasi sudah mengering dengan sempurna.Luna muncul dari dapur dengan apron bunga-bunga kesayangannya. Sedangkan Jim baru keluar dari kamar dengan wajah bantal khas bangun tidur. Tidurnya sangat nyenyak, bahkan dia baru terjaga saat ponsel Luna meraung tak sabar.Hari ini adalah hari Minggu, mereka pasti akan menghabiskan waktu seharian di rumah. Sebenarnya Luna agak terganggu dengan adanya Jim di apartemennya, dia lebih suka sendiri dan melakukan apa yang dia suka tanpa adanya orang lain disekitarnya. Membersihkan rumah atau merawat tanaman hias yang ditanam dan digantung di balkon kamarnya, atau membuat pernak-
Seharian, Luna menjaga jarak dengan Jim. Dia lebih memilih berkutat dengan laptopnya dan mengurung diri di kamar, apa yang terjadi di luar dugaannya, membuat Luna menyesali dirinya yang hanyut kerena pesona laki-laki itu. Sedangkan Jim sangat resah, wanita itu menyiapkan makan malam tapi tak ikut duduk makan bersama seperti biasanya, saat dia keluar kamar menuju kamar mandi saat berwudhu, Luna menganggap Jim tidak ada. Semua jadi serba salah, setelah kemesraan intim itu, Luna malah semakin menjauh.Jim masih ingat, bagaimana reaksi wajah Luna yang berhasil mengembalikan kesadarannya lebih dulu, gadis itu membelalak dan menutup mulutnya, mengemasi pakaian basahnya yang tercecer. Mereka hampir melakukannya, di tempat yang tidak tepat dan situasi yang tidak tepat juga.Jim melirik pintu kamar Luna, kemudian mematikan televisi yang sedari tadi tampak membosankan baginya. Haruskah Jim memberi penjelasan pada gadis itu? Tapi buat apa? Jim bangkit hati-hati, berjalan perlahan dan mengetuk
Luna berusaha untuk fokus dengan laporan di depannya. Setelah melalui malam pertama secara tak sengaja, pagi-pagi sekali Luna sudah berkemas dan berangkat menuju kantor, meninggalkan Jim yang masih tertidur pulas. Bahkan security-nya saja belum datang, untung saja Luna punya kunci kantor sehingga bisa datang dan pulang kapan saja.Luna mengabaikan kondisinya yang tak nyaman. Rasa sakit dan nyeri itu masih kentara di sana. Luna tak habis pikir, ide isengnya malah menenggelamkan dia sendiri.Sekarang jam tujuh pagi, beberapa karyawannya sudah mulai berdatangan termasuk Lia. Gadis judes itu mengerutkan kening sambil menerobos masuk ke ruangan Luna tanpa permisi."Apa ini? Jam berapa kau datang, wajahmu terlihat kacau." Lia meneliti ingin tahu, wajah gelisah Luna tak bisa diabaikan begitu saja."Bisa kau tutup pintunya dulu? Aku tau betul, suara cemprengmu akan membuat se isi kantor tau apa yang akan aku ceritakan."Lia mendekati Luna. Lalu memicing curiga."Bibirmu bengkak, dan lecet. Ja
Luna menatap Jim nyalang, sinar matanya berapi-api. Tapi ternyata Jim bukanlah orang yang mudah diintimidasi. Tanpa gentar dia maju merengsek sehingga membuat Luna terjebak di antara Jim dan dinding belakangnya.Luna mempertahankan raut wajahnya, menantang mata Jim dengan berani."Menjauhlah!" Luna berdesis. Jim tak menghiraukannya, tangan besarnya mengambil segenggam rambut Luna dan menghirup wangi wanita itu yang membuatnya mabuk kepayang. Jim memejamkan matanya, hal itu tak luput dari pengawasan Luna."Wangi ini, sangat berbekas di fikiranku." Jim membuka matanya, memandang sayu wajah Luna yang memerah."Aku tidak sedang bermain-main, Jim!""Kau pikir aku bermain-main mengurungmu di sini?" Jim meneliti urat nadi Luna yang berkedut di sepanjang lehernya. "Jim!" Luna mendorong tapi sedikitpun Jim tak bergeser. Tanpa Luna Duga, sebuah sentuhan lembut dan basah mendarat di lehernya. Kedua tangannya dicekal dan tak bisa bergerak.Luna ingin menolak, ingin menyumpahi pria itu, ingin men
Luna melirik jam dindingnya, sudah jam 10 malam, belum ada tanda-tanda kepulangan Jim. Seharusnya dia tak perlu segelisah ini, kerena Jim sudah memberitahu bahwa hari ini dia ke rumah sakit melakukan pemeriksaan. Tapi ada yang janggal bagi Luna, dia terbiasa memberikan ocehan setiap malam pada laki-laki itu dan tak pernah dibantah oleh Jim. Rasanya ada yang kurang jika rutinitas itu tak terlaksana malam ini.Menelpon Jim? Rasanya itu terlalu berlebihan, Luna cukup mengunci pintu dan merebahkan dirinya dengan aman di atas ranjang, kalau pun Jim pulang, dia bisa bangun untuk membuka pintu, lagi pula dia bukan tipe wanita yang tidurnya sangat lelap. Suara berisik sedikit saja akan membuat dia terjaga.Satu jam Luna menunggu, setelah jam sebelas lebih, dia memutuskan untuk mengunci pintu dan masuk ke dalam kamar.*****Luna membuka pintu masuk apartemen, matanya langsung berserobok dengan Jim. Laki-laki itu tengah memakai jaket kulit warna coklat dan topi untuk menutupi kepalanya yang mul