“Suami baru pulang kerja bukannya disambut, ini justru asyik sendiri dengan ponsel. Anak dibiarkan begitu saja,” protes Karan kepada istrinya saat tiba di rumah.
Reina terpaku seraya mematikan ponselnya, dia baru saja akan menyelesaikan paparan terakhir usai mengisi materi kepenulisan lewat w******p group. Hati Reina semakin hancur saat dia mendapatkan bentakan dari suaminya. Sudah beberapa hari terakhir, sejak Reina kembali dari rumah orang tuanya sikap Karan berubah. Bahkan, dia tidak lagi berpamitan untuk berangkat kerja, apalagi mencium keningnya seperti biasa.
Sudah lewat satu bulan pernikahan Reina dengan duda dua orang anak. Karan menikahinya, membawa Reina ke rumah yang dia beli sebelum mereka menikah. Merasa sangat bahagia ketika saat itu Karan selalu melibatkan dirinya dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, setelah pernikahan mereka berjalan semua berubah seketika.
“Aku ada pekerjaan sebentar, kenapa harus marah? Kamu ‘kan bisa bicara baik-baik,” ujar Reina setengah menahan amarahnya.
“Ya, pekerjaan kamu memang sangat penting daripada keluarga. Sampai kapan pun, kamu tetap tidak akan bisa menganggap anak-anakku sebagai anakmu. Apalagi menganggapnya seperti anak kandung sendiri.”
“Apa yang kamu katakan? Bukan aku yang tidak menganggap anak-anakmu sebagai anak kandungku, tapi kamu saja yang menganggap bahwa aku ibu tirinya.”
“Memang kenyataannya begitu, kenyataan bahwa sebernarnya ibunya anak-anak sudah tiada.”
Hati Reina semakin hancur, ketika dia mendapati suami masih terus mengingat dan menyebutkan mendiang ibu dari kedua anaknya. Tidak salah memang, tapi hidup bersama lelaki yang belum usai dengan masa lalunya membuat Reina banyak menyimpan luka. Dia juga ingin mendapatkan tempat dalam hati Karan sebagai istri, wanita yang dipilih menjadi istri dan ibu dari kedua anaknya.
Seluruh upaya Reina lakukan untuk mendapatkan hati Karan termasuk mengurus kedua anaknya yang masih terlalu kecil ditinggal ibunya. Reina terus berusaha bertahan dengan Karan demi kedua anak yang sudah dicintainya dan dianggap Reina seperti anaknya sendiri. Akan tetapi, semua itu masih belum cukup dan terasa kurang dalam pandangan Karan.
“Anak baru pulang sekolah, bukannya disiapkan makan. Mana buktinya kalau kamu menyayangi anak-anak?”
“Kenapa harus marah-marah? Kalau hanya meminta tolong, kamu bisa bicara baik-baik denganku. Sudah kukatakan jangan memarahiku, kamu sudah tahu bahwa istrimu tidak bisa dimarahi.”
“Percuma saja, sampai kapanpun kamu tidak akan menganggap anakku sebagai anakmu.”
Amarah Reina sudah berada dititik klimaks ketika Karan mengulang kalimat yang sama. Tentu saja, Reina belum lupa dengan apa yang diperlihatkan Karan lewat postingan media sosialnya. Kalimat yang dengan tegas bahwa anak-anak sudah tidak memiliki ibu dan tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu.
Reina merasa tidak berguna dan tidak dihargai keberadaannya oleh Karan. Jelas, bahwa saat ini anak-anak diberikan kasih sayang oleh Reina. Meskipun tidak terlahir dari rahimnya, tetapi cinta Reina untuk kedua anaknya begitu besar. Ini dibuktikan ketika Fakhri begitu akrab dan dekat dengannya.
“Aku yang seharusnya bicara begitu kepadamu, kenapa kamu membuat sebuah postingan di media sosial seolah aku ini tidak pernah ada diantara anak-anak dan juga kamu. Mereka mendapatkan kasih sayang ibunya, meski aku bukan wanita yang melahirkannya.”
“Apa yang salah? Benar bukan, bahwa anak-anak memang sudah tidak memiliki ibu? Apakah aku ini salah?”
“Lalu, aku di sini sebagai apa? Aku ini ibunya, kenapa kamu berkata seolah aku tidak ada di rumah ini?”
Reina tidak kuasa menahan sesak di hatinya, air mata mengalir seiring dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada Karan. Tidak pernah dia bayangkan, bahwa lelaki yang pernah dia percaya akan menyakiti hatinya cukup dalam. Lelaki yang telah berjuang diawal untuknya, melewati badai dan juga gelapnya malam hanya untuk memenuhi janji untuk melamarnya.
Kini, semua itu hanyalah sebuah ingatan yang sia-sia untuk dikenang. Seolah, Karan lupa bahwa dia pernah berjuang untuk Reina, gadis yang dinikahi Januari lalu. Reina masih sanggup beradu mulut dengan Karan hanya demi sebuah harapan agar Karan berubah dan memperbaiki segalanya.
“Aku tidak menganggapmu begitu, aku hanya kecewa kepadamu. Kenapa kamu meminta berpisah kepada adikku?”
“Apa yang bisa kulakukan? Tak ada seorang pun yang mau menghancurkan pernikahannya sendiri. Aku hanya ingin kita perbaiki semua sama-sama. Apa kamu tidak lelah kita bertikai setiap hari? Selama ini aku selalu melakukan apa yang kamu minta, kupenuhi semuanya. Aku hanya ingin mendapatkan hatimu seperti kamu menempatkan istrimu sebelumnya di hidupmu.”
“Sudahlah! Aku capek dengan semua ini, lagi pula kita tidak bertikai setiap hari. Kamu saja yang terlalu memaksa untuk sesuatu hal yang tak bisa aku lakukan. Kalau kamu mau, aku akan penuhi permintaanmu itu.”
Reina menengadahkan Karan, dia mencoba memberanikan diri menatap suaminya. Wajah yang pernah tersenyum setiap hari dan bibir yang selalu bertutur kata dengan lembut. Kini tampak begitu menyeramkan, penuh emosi dan amarah.
Pernikahan macam apa ini? Bukankan bulan pertama pernikahan seharusnya masih menikmati madunya pengantin baru? Ya, seharusnya. Namun tidak dengan kenyataan dalam pernikahan Reina. Madu itu hanya bertahan satu pekan, pekan kedua hingga selanjutnya hanya menguras emosi.
“Sekarang terserah kamu, aku akan ikuti semua yang kamu inginkan. Sudah sejak awal kukatakan bahwa aku ini memiliki dua orang anak, lalu kenapa kamu mau menikah dengan seorang duda sepertiku?”
“Kenapa kamu berkata begitu? Aku hanya tidak mengerti dengan sikapmu. Seolah kamu tidak berniat menikah denganku.”
“Jika aku tidak berniat, untuk apa aku datang ke rumah saat hujan deras dan mati lampu? Semua kulakukan untuk apa kalau bukan untuk menikah denganmu?”
Karan tampak emosi, mengingat awal mula sebuah hubungan serta pertemuan mereka tidak lagi terdengar manis apalagi romantis. Baik Karan maupun Reina tidak pernah lupa, bagaimana siang itu tiba-tiba hujan saat Karan memulai perjalanan ke tempat Reina. Hingga sebuah kejutan yang diberikan Karan malam itu.
Keduanya tidak akan pernah melupakan hal besar dalam hubungan mereka, bagaimana malam itu hujan cukup deras dan bahkan terjadi pemadaman listrik. Akan tetapi, semua itu tidak mengurungkan niat Karan untuk tetap datang memenuhi janjinya kepada Reina.
“Tapi sikapmu berubah, jangankan untuk menyentuh istrimu. Bahkan untuk menatap istrimu saja kamu sudah tidak mau lagi.”
“Suamimu tidak akan berubah kalau sikapmu juga tidak merubahnya.”
Reina kembali terdiam, dia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi sikap suaminya. Untuk kali ini, Karan sepertinya benar-benar sangat marah dan sulit dikendalikan. Sejak awal menikah hubungan mereka diwarnai dengan pertikaiannya, ini merupakan pertikaian paling buruk dalam perjalanan pernikahan mereka.
Karan membawa anak bungsunya yang sejak tadi menangis ke kamar. Reina hanya menahan sesak seraya menyekai air matanya. Tak ada yang bisa dia lakukan selain melanjutkan menyuapi makan anak sulungnya. Hatinya sakit, tapi dia tidak bisa mengobatinya.
Setelah anak gadisnya tertidur, Karan kembali duduk di ruang tengah tidak jauh dari Reina. Sementara Reina masih tertunduk rapuh, tak mampu melihat tatapan sang suami yang terlihat begitu murka padanya.
“Jadi, mau kamu apa sekarang? Kenapa kamu harus bicara perihal itu kepada adikku? Kamu mau kita berpisah?”
BERSAMBUNG…
Hari-hari dilewati Reina menjalani aktivitas sebagai seorang baby sitter sekaligus asisten rumah tangga. Hidup di tengah ibu kota tak seindah dalam bayangannya, semua pekerjaan dia lakukan agar bisa bertahan hidup. Meskipun orang lain akan menertawakan dirinya, lulusan sarjana tapi kerja seperti ini. Sebab mereka tidak pernah tahu, betapa sulitnya mencari pekerjaan di Jakarta.Setelah hampir 6 bulan, di bulan ke-6 Reina memutuskan resign dari kerjaan saat ini. Dia ingin mencoba peruntungan baru dari ijazah yang dimilikinya. Namun takdir baik belum berpihak padanya, dua bulan mencari pekerjaan ternyata tidak mudah bertahan. Hingga dia memutuskan pindah ke kosan yang lebih murah dan mendapat pekerjaan membantu jualan di Kedai Coto Makkasar. Satu bulan dia jalani pekerjaan di sana dengan gaji 1,7 juta dipertahankan. Beruntung tempat kerja dekat kosan, jadi tidak membutuhkan ongkos. Namun, di bulan kedua kejutan baru datang. Reina mendapatkan pesan dari adik iparnya.“Teh, minta doanya.
Sekali lagi, air itu kembali tumpah mengingat semuanya. Kegagalan pernikahan, masalah dan kepelikan dalam hidup, orang tua dan segala hal yang menjadi beban pikiran Reina selama ini. Tidak peduli seberapa hancur dirinya, bagi keluarga Reina sangat egois dan keras kepala.“Sudah sangat jauh perjalananmu, Re. Kapan akan menemui orang tuamu?”“When? Entahlah, aku masih belum siap menemui mereka. Aku hanya takut, jika menemui mereka dalam keadaan hati yang tidak stabil dapat memperkeruh keadaan. Kawatir emosiku tidak bisa dikendalikan seperti saat itu.”“Itu pilihanmu, tapi kamu harus ingat akan sejauh apapun langkahmu tentu saja keluarga tempat pulang sesungguhnya.”Reina hanya mengangguk ringan, dia membenarkan perkataan sahabatnya. Hanya saja, dia tidak bisa memilih untuk pulang dalam waktu dekat. Akan ada waktu yang tepat untuk pulang, meski itu tidak saat ini.Satu bulan sudah Reina bekerja dengan Winda dan Enggal, rasanya sangat baik dan nyaman. Mereka juga tidak pernah memaki Reina
Reina menjalani rutinitas dan aktivitasnya dalam keluarga Winda dan Enggal, ayah dari Tacha. Keduanya sangat baik, memberikan tempat yang nyaman untuk Reina. Rasa syukur yang tidak hentinya Reina panjatkan kepada Tuhan. Keluar dari rumah Danny ternyata sebuah pilihan terbaik, bahkan sekalipun dia memintanya untuk kembali tentu saja Reina memilih tetap berada di sini.Hari pertama, Reina diminta untuk masak oleh Winda karena hari itu suaminya, Enggal pulang dari Solo. Dia seorang engginer di sebuah perusahaan pemberdayaan satwa yang cukup terkenal di Indonesia. Sedangkan Winda sendiri bekerja sebagai supervisor di salah perusahaan telekomunikasi.“Mbak, ada ayam dan bayam di dalam kulkas. Terserah Mbak mau masak apa, yang penting ada sambalnya. Nanti minta tolong ayamnya dibuat kaldu dulu ya, Mbak untuk masak makanan Tacha.”“Baik, Bu.” Reina kembali melanjutkan masak, entah mengapa rasanya menyenangkan melakukan pekerjaan ini. Dia membuktikan kepada dirin
Dalam lapis-lapis keberkahan, ranumnya bermandikan bunga dan baunya beraroma surga. Cahayanya ibarat cakrawala, pancarannnya bak mentari di pagi hari. Manusia, selalu tidak merasa cukup atas sesuatu yang didapatkan dan dimiliki. Tidak merasa puas atas pencapaian yang diperoleh. Padahal, kita tahu bahwa tidak semua orang mendapatkan yang diinginkan dan didapatkan.Perlu sesekali, kita menoleh pada sebuah negeri. Di mana mereka tidak mendapatkan hak dan kehidupan layak. Mereka seringkali ditindas dan diperbudak. Setiap hari hanya bergelimang air mata dan rasa takut. Meskipun tidak ada yang mampu memadamkan kobaran api semangat untuk mempertaruhkan harta bahkan nyawa hanya demi tegaknya agama. Menjadikan syahid sebagai tujuan akhir dari hidupnya.Negeri Syam, Gaza, Palestina, Suriyah, dan mungkin masih banyak lagi yang tidak kita ketahui kisruhnya. Mereka yang ditindas dan diperbudak di negeri sendiri. Tidak diberikan tempat layak, kehidupan yang nyaman. Tetapi, betapa malunya kita hidup
“Bismillah…” Kalimat itu yang terucap pertama kali saat Reina melangkah meninggalkan kota Sukabumi menuju Tangerang. Memang tidak mudah mengambil keputusan, akan tetapi semua itu sudah menjadi pertimbangan serta pergulatan cukup panjang dalam munajah Reina selama dua pekan terakhir. Setelah drama semalaman di perjalanan dengan sopir travel, hari minggu pagi Reina tiba di yayasan. Langsung saja Reina diminta untuk membersihkan diri, kemudian diminta untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Usai mengerjakan rangkain test, tiba saatnya Reina mengisi data diri serta surat perjanjian dengan pihak yayasan untuk di proses mencari calon majikan. Awalnya Reina merasa minder, sebab tidak memiliki pengalaman bekerja seperti ini sebelumnya. Sementara rekan lainnya memiliki jam terbang lebih banyak, terutama beberapa diantara mereka sudah ada yang bekerja di luar negeri. Sebuah keajaiban tiba, Reina mendapatkan panggilan untuk wawancara dengan calon majikan. “Kamu bagaimana sih, masa wawancarany
Karan yang sedang berjuang untuk kedua anaknya, sedangkan Reina juga harus berjuang untuk menyembuhkan luka dan patah hatinya usai berpisah dari Karan. Entah mengapa, bahkan hingga saat ini pun luka itu masih terasa perih untuk dikenangkan. Reina menangis setiap kali melihat akta cerainya. Sore itu, Reina mengetuk pintu rumah salah seorang temannya. Wina, membukakan pintu dan meminta Reina masuk sebelum akhirnya dia bercerita apa yang terjadi. Tidak menyangka, bahwa sosok Reina bisa melakukan hal tak terduga seperti ini. “Ada apa, Re?” “Aku kabur dari rumah.” “Astaghfirullah, kamu kenapa?” “Aku habis bertengkar dengan keluargaku, aku capek Kak Win. Selama ini aku berjuang untuk keluarga, mencoba membantu mereka, tapi apa yang mereka katakan bahwa aku tidak pernah memberikan apapun untuk keluarga. Selama ini aku mencoba tertawa, bahagia di hadapan keluarga padahal aku diam-diam menangis di dalam kamar mengingat gagalnya pernikahanku. Aku harus pergi dari sini agar hidupku lebih bai