“Sadie, katakan pada ayahku, aku sedang sibuk. Aku tidak bisa hadir makan malam nanti.” Nicole berujar seraya berkutat pada MacBook di hadapannya. Tampak wanita itu begitu sibuk memeriksa email masuk. Jika sudah bekerja, dia memang kerap melupakan segalanya. Bahkan jam makan pun kerap dilewati, demi pekerjaannya.Sadie menatap Nicole dengan tatapan bingung serta cemas. “Nona, tadi Tuan Mayir bilang pada saya, bahwa malam ini Anda wajib datang. Anda tidak boleh tidak datang.”Nicole menutup Macbook-nya, menatap jengkel asistennya itu. Saat ini, Nicole berada di restoran, baru saja selesai meeting dengan client-nya. Dia masih belum keluar meninggalkan restoran, karena dia tengah memeriksa pekerjaannya. Namun, alih-alih mendapatkan ketenangan, malah dihampiri sang asisten yang membawakan berita menyebalkan.“Sadie, kau bisa mencari alasan tepat menghindari ayahku,” seru Nicole jengkel. Sadie menggaruk-garuk tengkuk lehernya tak gatal. “Bagaimana cara saya mencari alasan, Nona? Tuan Mayi
Nicole turun dari mobil seraya memberikan kunci mobil pada petugas valet untuk memarkirkan mobilnya. Wanita itu segera melangkah masuk ke dalam lobby hotel dengan raut wajah yang nampak menahan rasa marah dan benci dalam dirinya.Inilah yang selalu Nicole hindari. Dia enggan untuk mendatangi rumah keluarganya, karena dia akan selalu merasakan hal yang sama. Hal di mana hatinya hancur berkeping-keping. Pengkhianatan yang pernah dialami ibunya tak pernah Nicole lupakan.Bertahun-tahun, Nicole sudah berdamai dengan kenyataan, namun tentu semua itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Rasa sakit dan penderitaan yang bertubi-tubi membuat Nicole memutuskan untuk meninggalkan London.Nicole ingin sekali segera kembali ke Swiss, namun semua terhalang karena dirinya memiliki tanggung jawab sebagai wedding organizer dipernikahan Shania dan Oliver. Andai saja dia bisa mundur, maka Nicole detik ini juga akan terbang ke Swiss.Nicole mengembuskan napas panjang. Mengatur segala emosi yang terbe
Nicole mengembuskan napas panjang kala membaca pesan singkat dari Shania. Pesan yang tertuliskan alamat wedding venue yang harus dirinya datangi. Hari ini memang Nicoel wajib menemani Shania serta Oliver melihat wedding venue lagi. Sungguh, ingin sekali Sadie yang mewakilkannya, namun tadi malam Shania menolak ditemani Sadie. Terpaksa sekarang ini Nicole harus menemani Shania dan Oliver untuk kesekian kali.Nicole berharap wedding venue kali ini sudah menjadi pilihan terakhir untuk Shania dan Oliver. Dia sudah tak sabar Shania dan Oliver segera menikah. Tentu alasannya karena Nicole ingin bisa kembali ke Swiss. Dia tidak mau berlama-lama ada di London. Kota yang menyimpaan jutaan kesesakan di hatinya. Cukup kepedihan yang dia alami. Wanita itu tak mau lagi mengingat lukanya.Suara dering ponsel berbunyi. Refleks, Nicole melihat ke layar menatap nomor Sadie yang terpampang di layar ponselnya. Detik itu juga, Nicole segera menjawab panggilan telepon dari sang asisten.“Selamat pagi, Non
Oliver memejamkan mata singkat, di kala emosi dan marah telah menyelimutinya. Pria itu tengah berada di depan ruang pemeriksaan. Dokter masih memeriksa keadaan Nicole. Sejak tadi, raut wajahnya menunjukkan kecemasan dan amarah tertahan. Pria itu tak mengira hotel mewah bisa sampai kecolongan dalam pemeliharaan gedung.Selama di perjalanan menuju rumah sakit, Oliver sudah memeriksa detak jantung Nicole. Meski lambat, tapi masih terbilang masih baik. Nicole pasti pingsan karena kekurangan oksigen di dalam lift.“Tuan Oliver.” Vincent berjalan cepat menghampiri Oliver. Oliver mengalihkan pandangannya, menatap Vincent yang ada di hadapannya. “Ada apa?” tanyanya dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Tuan, pihak hotel tadi menghubungi saya. Mereka meminta maaf atas apa yang telah terjadi,” jawab Vincent sopan, menyampaikan pesan pada Oliver.Oliver memberikan tatapan dingin dan tajam pada asistennya itu. “Hotel bintang lima, bisa melakukan kesalahan seperti tadi. Apa menurutmu aku bisa
Nicole mengerjap beberapa kali, membuka kedua matanya. Perlahan di kala dua mata indah wanita itu sudah terbuka—cahaya putih menjadi object utamanya. Aroma khas rumah sakit membuat Nicole langsung menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit. Nicole sedikit mengendarkan pandangannya. Benar saja, dirinya berada di rumah sakit. Tapi tunggu! Sosok pria yang duduk di sofa dan mendekat pada Nicole, membuat wanita itu terkejut melihat sosok pria itu.“Kau sudah sadar?” Oliver menatap Nicole dengan tatapan dalam. Ada rasa lega dalam dirinya, melihat Nicole sudah siuman. Meski dia tahu wanita itu selalu marah-marah ketika membuka mata, tapi itu jauh lebih baik, daripada Nicole tak sadarkan diri.Nicole bingung dan tak mengerti. “Oliver? Kenapa kau di sini? Lalu, kenapa aku juga di rumah sakit? Ada apa denganku?”Nicole melihat tangannya sudah terpasang selang infus. Dirinya berada di ruang rawat VIP. Ada apa dengannya? Kenapa dia berada di rumah sakit? Begitu bertanyaan muncul di dalam ben
“Kau belum tidur?” Oliver melangkah masuk ke dalam ruang rawat Nicole. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Pria itu pikir Nicole sudah terlelap, namun ternyata apa yang Oliver pikirkan salah besar. Mata wanita itu masih terbuka lebar seolah sama sekali tak mengantuk.Nicole menatap dingin Oliver yang mendekat ke arahnya. “Aku belum mengantuk. Kenapa kau ke sini?” tanyanya ketus. Dia sudah meminta Oliver pergi, tapi nyatanya pria menyebalkan itu tetap masih ada di depannya.“Bukankah tadi aku sudah bilang padamu, aku akan kembali ke sini lagi?” Oliver duduk di tepi ranjang, menatap Nicole dengan tatapan penuh arti. Nicole mendesah pelan. “Calon istrimu tadi datang ke sini.”“Maksudmu Shania?” Sebelah alis Oliver terangkat.“Memangnya calon istrimu siapa lagi selain Shania, Oliver? Oh, atau jangan-jangan kau memiliki banyak calon istri?” Nicole menyunggingkan senyuman sinis. “Tidak heran kalau kau memiliki banyak calon istri, aku sangat mengenal betapa berengseknya dirimu.” Lanjut
Oliver dan Shawn melemparkan tatapan tajam satu sama lain. Tatapan yang tersirat bengis dan begitu arogan. Dua pria tampan itu memiliki tinggi tubuh yang sama. Bahkan sama-sama memiliki iris mata cokelat gelap yang begitu tegas. Oliver dikejutkan dengan Shawn yang ada di hotel di mana Nicole menginap. Sebuah kebetulan yang tak mungkin tak disengaja. Detik itu juga, hati Oliver memanas dan merasa terusik melihat sepupunya.“Kau sendiri kenapa ada di sini?!” Oliver tak langsung menjawab pertanyaan Shawn. Pria itu malah balik bertanya. Nada bicaranya tegas, dan tersirat menahan amarah.Shawn bergeming di tempatnya. Sepasang iris mata cokelat gelap Shawn kian menajam. Terlebih Oliver balik bertanya padanya, tanpa dulu menjawab pertanyaannya. “Aku ke sini ingin bertemu dengan Nicole. Kau kenapa ada di sini?”“Untuk apa kau bertemu dengan Nicole?” Oliver seperti tak suka mendengar Shawn ingin bertemu dengan Nicole. Seperti bara api yang ada di atas kepalanya, begitu panas membakarnya.Sh
Nicole meminum jus buah yang baru saja diantar oleh staff hotel. Kondisi Nicole sudah sangat membaik. Terakhir wanita cantik itu minum obat tadi siang saja. Sekarang di kala malam hari, Nicole malas untuk minum obat. Lagi pula, Nicole merasa dirinya sudah sangat sehat. Jadi tak masalah, kalau tidak minum obat.Nicole meletakan gelas di tangannya ke atas meja. Menyandarkan punggungnya di kepala ranjang seraya memejamkan mata perlahan. Pikiran wanita itu benar-benar sangat lelah. Nicole ingin segera kembali ke Swiss, tapi semua itu tak mungkin.Wanita itu selalu saja memiliki hambatan di kala dirinya menemani Shania melihat Wedding Venue. Sungguh, Nicole merasakan dirinya ini seperti terkena kutukan. Semakin Nicole menjauh dari Oliver, malah semesta seolah membuat Nicole semakin dibuat dekat dengan pria berengsek itu.Suara dering ponsel berbunyi. Refleks, Nicole mengambil ponselnya yang ada di atas meja dan menatap ke layar tertera nomor asing muncul di sana. Tampak kening Nicole menge