Share

Bab 2. Sebuah Permainan  

Nicole merasakan pusing luar biasa kala membuka mata. Tubuh gadis itu terasa remuk seperti tengah melakukan aktivitas berat. Sesekali, Nicole meringis merasakan titik sensitive-nya begitu perih dan sangat sakit. Gadis itu seakan mendapatkan pukulan keras hingga menimbulkan rasa sakit luar biasa.

Perlahan ketika mata Nicole mulai terbuka, tatapan gadis itu terkejut melihat dirinya berada di sebuah kamar asing yang tak pernah dikenalinya. Raut wajah Nicole menegang penuh ketakutan. Detik selanjutnya, Nicole memberanikan diri melihat tubuhnya sendiri.

Bagai tersambar petir, betapa terkejutnya Nicole mendapati tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Nicole melihat ke samping—menatap di sampingnya sudah kosong. Tak ada siapa pun di sana. Napasnya memberat. Debar jantungnya semakin berpacu kencang.

Raut wajah Nicole pucat pasi. Ingatan gadis itu tergali mengingat dirinya mendatangi pesta, dan Oliver menghampirinya. Nicole meremas-remas rambutnya. Ingatan lainnya muncul di mana dirinya meminum minuman alkohol milik Oliver.

“Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?” Nicole panik. Rasanya dia ingin menangis sekeras mungkin, tapi tak mungkin dia menangis dan tetap berada di sini. Dia meneguhkan hatinya untuk berusaha tenang.

Nicole menyibak selimut, turun dari ranjang dan langsung memakai dress-nya yang tergeletak sembarangan di lantai. Dengan menahan rasa perih dan sakit di titik sensitive-nya, Nicole berjalan meninggalkan kamar itu.

Di depan kamar, tepatnya di ujung sana, tatapan Nicole teralih pada tiga laki-laki yang nampak tengah membicarakan sesuatu hal yang sangat penting. Mata Nicole menyipit tajam, seperti mengenali punggung salah satu laki-laki itu.

Nicole hendak mengabaikan, tapi entah kenapa hati Nicole mendorongnya untuk melangkah menuju ke arah sana. Akhirnya, dia memutuskan untuk melangkah mendekat pada kumpulan tiga pria yang tengah berbicara penting.

Well, Oliver Maxton jadi kau berhasil meniduri Nicole Tristan?” ujar Matthew seraya menatap Oliver.

Oliver tersenyum sinis. “Aku yakin kau melihatku membawa Nicole meninggalkan pesta, kan?”

“Tapi kami tetap butuh bukti, Oliver. Permainan akan dikatakan kau pemenangnya, jika kau menunjukan bukti video kau meniduri Nicole,” sambung Carlos menantang Oliver untuk menyerahkan bukti padanya.

Oliver dengan santai memberikan video yang ada di ponselnya pada kedua temannya itu. “Kalian bisa melihat sendiri. Aku bukanlah pembual. Jika aku berhasil, maka aku akan mengatakan yang sebenarnya.”

Carlos dan Matthew mengambil ponsel Oliver itu, dan segera memutar video yang ada di sana. Terlihat seringai di wajah Carlos dan Matthew terlukis melihat video di mana Oliver meniduri Nicole. Tubuh keduanya terbalut oleh selimut, hanya bagian atas terlihat sedikit mereka tak memakai apa pun.

Suara desahan Nicole terdengar merdu. Carlos dan Matthew nampak puas kala Oliver berhasil memenangkan permainan. Ya, mereka tak menyangka Oliver akan mampu memenangkan permainan ini.

“Luar biasa, Oliver. Kau berhasil meniduri Nicole Tristan.” Carlos dan Matthew tertawa puas kala sudah melihat video itu.

“Jadi kalian menjadikanku barang taruhan?” Tubuh Nicole membeku di tempatnya. Air mata gadis itu berlinang deras menyentuh pipinya. Semua percakapan Oliver dengan kedua temannya telah Nicole dengar. Hati Nicole bagaikan tercabik-cabik mendengar dirinya dijadikan taruhan oleh tiga laki-laki yang merupakan kakak kelasnya tu.

“Nicole?” Carlos dan Matthew terkejut melihat Nicole. Dua laki-laki itu sedikit kikuk, karena terpergok oleh Nicole. Sedangkan Oliver hanya diam di tempatnya, menatap wajah Nicole hancur penuh dengan air mata.

“Kenapa kalian jahat padaku?! Kenapa?” teriak Nicole begitu keras.

Oh, come on, Nicole. Ini hanya permainan. Nanti kau juga pasti akan melakukannya dengan kekasihmu. Jangan terlalu dianggap serius.” Matthew berkata dengan tanpa dosa, seakan bahwa tindakan yang dilakukan sama sekali tak bersalah.

Mata Nicole menatap Carlos dan Matthew dengan tatapan memerah penuh amarah kebencian. “Di mana hati kalian, menjadikan kehormatan seorang gadis untuk sebuah bahan permainan?”

Carlos mendekat, dan menarik dagu Nicole. Pemuda itu mendekatkan bibirnya ke bibir Nicole sambil berbisik, “Relaks, Nicole. Tidak perlu berlebihan. Permainanmu dengan Oliver cukup memuaskan. Suara desahanmu merdu. Andai saja aku yang ada dalam permainan itu, maka aku tidak akan membiarkanmu tidur sepanjang malam.”

“Berengsek!” Nicole memukul lengan kekar Carlos.

Carlos dan Matthew tertawa melihat kemarahan Nicole.

“Pergilah. Aku akan mengurusnya,” ucap Oliver dingin pada kedua temannya.

Carlos dan Matthew mengangkat bahu mereka. Kemudian, mereka menatap Oliver dan berkata bersamaan. “Baiklah, kami pergi dulu. Besok hadiahmu akan kami kirimkan.” Lalu, Carlos dan Matthew melangkah pergi meninggalkan tempat itu. 

Nicole menatap Oliver dengan tatapan memerah, akibat tangis yang tak kunjung reda. Dia mendekat, dan menatap Oliver penuh kebencian. “Kau puas? Semoga kau bisa tidur nyenyak bersama hadiah yang kau dapatkan.”

“Tentu saja aku puas, aku mendapatkan dua kesenangan malam ini.” Oliver mendekat membelai pipi Nicole dengan dua jarinya.

Plakkk

Nicole menampar Oliver keras. Bahu gadis itu bergetar. Air matanya semakin mendera mendengar apa yang Oliver katakan padanya. Kilat matanya memancarkan jelas sebuah dendam dan kebencian mendalam.

Oliver menyentuh pipi kanannya, menatap dingin Nicole. “Berani sekali kau menamparku,” geramnya, menahan amarah dalam dirinya.

“Tamparan itu tidak sebanding dengan apa yang kau lakukan, Oliver! Di mana hati nuranimu?! Kau tega menjadikan kehormatan seorang gadis, demi sebuah permainan!” teriak Nicole keras.

“Perempuan sepertimu itu dari luarnya saja naif, aku tahu kamu menikmati sentuhanku, jadi jangan munafik!”  seru Oliver dingin.

Nicole menyeka air matanya dengan wajah penuh kemarahan. “Laki-laki sepertimu tidak akan pernah tahu, bagaimana hancurnya ketika dijadikan sebuah permainan Oliver Maxton, aku bukan barang yang bisa dijadikan barang taruhan!”

Nicole melangkah mundur menjauh dari Oliver. Matanya nampak nanar dan rapuh. Rasa sakit sangat jelas terpancar dari mata gadis itu. Tatapan Nicole sukses membuat Oliver bergeming di tempatnya tak berkutik sedikit pun.

“Selamat, Oliver Maxton. Kau telah menghancurkan hidupku. Mulai detik ini, aku tidak akan pernah mau lagi melihatmu apalagi menyebut namamu. Demi Tuhan, aku membencimu. Aku sangat membencimu!”

Nicole berlari pergi meninggalkan Oliver yang masih bergeming di tempatnya. Suara tangis gadis itu terdengar begitu menderita. Sorot mata Oliver terus menatap dalam dan dingin Nicole yang telah pergi. Entah kenapa hati Oliver terusik mendengar apa yang Nicole katakan padanya.

Beberapa tahun berlalu …

Nicole menatap jalanan perkotaan London. Mata Nicole begitu lemah di balik sikapnya yang tegar. Kepingan memori buruk akan masa lalu, muncul di pikirannya di kala wanita itu melihat hamparan kota London. Memori yang telah dia buang jauh-jauh, dan berharap tidak lagi bertemu dengan sosok pria yang menghancurkanya.

Mobil berhenti tepat di lampu merah. Banyak orang menyeberang lewat zebra cross. Namun, tiba-tiba di saat lampu hijau, sosok pria tak asing berada di dalam mobil, melewati Nicole. Sosok yang sangat tak asing di matanya.

“Tidak! Dia bukan pria berengsek itu!” Nicole terkejut dan buru-buru menepis pikirannya. Wanita cantik itu yakin bahwa apa yang dia lihat adalah salah. Dia menarik kembali pandangannya, dengan jantung yang kini berdebar tak karuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status