Siang itu Aliya hendak ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli sebuah rak gantung. Hari ini sebenarnya jadwal bagi Iyad dan Agung untuk mengawal Aliya.Namun Agni, yang beralasan ‘tengah menganggur’, ikut serta dalam pengawalan hari itu.Agung dan Iyad yang sudah sangat paham tingkah Agni ini, hanya mengulum senyum dan memajang muka pasrah.Mereka berdua sangat tahu, mereka tidak bisa melarang Agni dalam hal ini. Kecuali jika otoritas yang lebih tinggi dari mereka bertiga yang berbicara, maka Agni akan tidak punya pilihan, selain mematuhi.Jadwal patroli sudah jelas. Setiap dari mereka memiliki jadwal masing-masing.Namun Agni memang selalu tidak mau ketinggalan jika hari itu adalah pengawalan keluar rumah.Dengan alasan bosan, atau tidak ada kegiatan lain, Agni selalu ikut bergabung meskipun itu bukan jadwal dirinya.Seperti hari ini. Agni tiba-tiba telah berada di luar pagar rumah Aliya, saat Iyad dan Ag
Aliya menunduk, melihat ke dirinya sendiri, ke arah pandangan mata wanita itu tertuju.Ia memang terbilang santai dalam hal berpakaian. Seperti saat ini, ia hanya mengenakan kaos polos berlengan panjang dan celana jeans baggyserta sandal gunung.Di punggungnya, tas ransel berukuran kecil yang hanya cukup menampung ponsel, dompet serta beberapa benda kecil lainnya.“Jangan-jangan kamu copet yang berkedok pengunjung, ya?!”Mata Aliya kini membulat.Aliya memang tidak suka mempermasalahkan hal kecil. Namun, bukan Aliya namanya, jika sudah direndahkan, ia hanya diam saja.“Maaf, anda bilang apa tadi?” Aliya bertanya dengan nada tenang.Namun kedua matanya menatap tajam pada wanita di hadapannya.“Saya? Saya bilang apa? Kamu tuli?” Jari wanita muda itu lalu terangkat dan menunjuk wajah Aliya.“Orang-orang kaya kamu ini nih, yang bikin malu negara! Udah miskin, belagak j
“Ma-mak Grandong…” Mulut wanita itu mengerucut dengan ekspresi kaget yang tak bisa disembunyikan. “Sedetik liat dempulan muka lu aja gue dah mual-mual. Apalagi kudu tiap hari. Dih, dosa apa leluhur gue, sampe sial kek gitu.”Wanita itu melongo tanpa bisa berkata-kata.“Tante, apa kau yakin mampu bayar kami?” ujar Agung sambil tersenyum manis.“Satu orang dari kami, bayarannya sejam teh, segini….” Agung lalu menyodorkan kelima jarinya ke depan wajah si wanita itu.“Li…ma juta?” Wanita itu bertanya pelan.Agung menggeleng sambil memasukkan lolipop ke mulutnya. “Dikalikan sepuluh, tante.”Wanita itu terlongo lagi. Bulu mata badainya bergoyang-goyang seiring ia mengerjap.“Ka-kamu… pasti bercanda…”Agung kembali menggeleng. “Nona yang tadi, bayar kami lebih mahal dari itu…”I
‘Ada apalagi ini…..?’Ia cukup terkejut jika di hari ini akan mendapatkan pencegatan atau hal lain yang bersifat penyerangan. Karena sejak dua tahun lalu, situasi terbilang cukup kondusif bagi Aliya.Meskipun Elang beberapa kali begitu intens melakukan perjalanan ke luar kota, Aliya hanya berpikir itu hanyalah masalah pekerjaan. Bukan dan tidak ada kaitan dengan masalah keamanan yang berhubungan dengan dunia elemen.“Kalem aja, Al. Kita akan baik-baik aja. Ini hal biasa kan?” Iyad pun mengeluarkan kalimat menenangkan Aliya.Aliya mengangguk, lalu mencoba tersenyum.Ia tahu.Sekalipun benar-benar terjadi penyerangan, yang bisa ia lakukan hanyalah menjaga dirinya sendiri tetap tenang. Dan mungkin, menghubungi Elang, jika teman-teman kewalahan menghadapi penyerang mereka.Terdengar embusan napas berat di telinga Iyad. Membuat pria elemen angin itu menoleh ke kiri.Terlihat olehnya waja
Malam ini Elang akan pulang. Itulah mengapa Aliya tadi siang menyempatkan diri memilih-pilih parfum. Meskipun ia sangat tahu, Elang lebih menyukai aroma diri Aliya, namun Aliya berpikir untuk memberikan suasana baru bagi Elang. Telah cukup lama Elang berada di luar kota. Mungkin suasana baru nanti akan bisa menyenangkan hati Elang, demikian yang ada dalam pikiran Aliya. “Kau pakai parfum?” Elang memandang Aliya sambil sedikit mengerutkan kening. Aliya baru saja membukakan pintu untuk Elang malam itu. Tangannya lalu meraih tangan kanan Elang dan menciumnya takzim. “He-em,” jawab Aliya sambil tersenyum. “Kau tanpa parfum sudah lebih wangi…” kata Elang lagi. Kali ini tangannya meraih pinggang Aliya dan menariknya mendekat. “Jauh… lebih wangi, Liebling…” hidung Elang mengendus pipi kanan Aliya. Liebling adalah panggilan sayang Elang kepada Aliya. Berasal dari bahasa Jerman, yang artinya ‘Sayang’. Ya, Jerman. Elang adalah keturunan ayah yang berasal dari Jerman, sementara ibu kand
“Al…” Seseorang mengguncang tubuh Aliya. “Liebling.. Kau Kenapa?”Aliya membuka matanya yang terasa berat.“E-Elang..?”“Kau kenapa, Liebling?” tanya Elang lembut, namun sorot matanya terlihat sedikit cemas.“A-aku..” Aliya mencoba bangkit dari posisi tidur. Kepalanya menoleh ke sekitar dan mendapati dirinya berada di dalam kamar.Kamar miliknya dan Elang.“Apa kau mimpi sesuatu?” tanya Elang hati-hati.“Iya.. kurasa..” Aliya menarik napas dalam-dalam. “Aku mimpi aneh.”“Kau mimpi apa?” Elang menggeser tubuhnya lebih dekat pada Aliya. Wajah tampan yang selalu terlihat tenang itu menatap lekat pada sang istri.“Hm? Kau mimpi apa, Sunshine?” Jemari Elang mengelus pipi Aliya saat kembali bertanya.Aliya menengadahkan kepala dan menatap rumit Elang.Selintas tadi, ia seakan menangkap na
Aliya menatap sang suami tanpa berkedip. Sorot mata kompleks itu terpancar baik dari dirinya sendiri, maupun dari Elang. “Apa? Kenapa? Urusan kerjaan kah?” Tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah Aliya, Elang menjawab. “Ja, Liebling.” Pria berwajah tampan itu menarik napas. “Aku mengurus pengembangan perusahaan. Dan melihat peluang yang sangat baik di luar negeri.” “Kemana?” “Hm?” “Ke luar negerinya kemana?” Tangan Elang terulur ke atas dan membelai rambut Aliya dengan lembut. “Aku akan mencoba peruntungan di daratan Eropa.” Kemudian Aliya pun terdiam. Ia ingin sekali bertanya-tanya, namun ia menyadari, beban yang ada di pundak sang suami. Terutama paska penyerangan di mansion Gauthier dua tahun lebih lalu. Elang mungkin hingga kini merasa bersalah dan ingin mengembalikan kejayaan Gauthier yang dibangun susah payah oleh buyut hingga ayahnya. Jadi, yang bisa Aliya lakukan saat ini hanya diam dan memberikan senyuman itu pada sang suami. Lagi. * * * Aliya menatap kolam ren
Dari arah belakang pula, suara rendah dan memiliki aura mengesankan itu terdengar kemudian.“Badai yang kau buat berhasil mengarahkan mereka ke sini. Tapi jika menghadang mereka di sini, sama saja mencelakakan banyak orang di bawah sana.”Elang menurunkan wajah dan tersenyum. “Lama tidak bertemu..”Ia membalikkan tubuhnya. “…Dean.”Kini di hadapannya telah berdiri pria jangkung bermata hazel yang menatap Elang dengan senyuman kecil di wajah tampannya.Kemeja flanelnya yang tidak dikancingkan, berkibar tertiup angin. Begitu pula dengan celana kargo longgar yang dipakai pria itu. Bergerak seiring embusan angin yang menerpa di area sana.“Einhard,” sapa pria pemilik mata hazel itu.Mereka lalu mengulurkan tangan dan saling beradu tinju dengan pelan, namun mantap.Tidak berpelukan, meskipun dua tahun mereka baru bersua kembali. Karena saat ini, mereka bukan dalam keadaan bersan