Tanah di bawah kaki mereka tak lagi berbatu, melainkan seperti lapisan pasir halus yang bergerak pelan. Setiap langkah terasa seperti melangkah di atas napas makhluk yang sedang tertidur lembut, namun mengintai. Kabut telah menghilang sepenuhnya. Sebagai gantinya, aroma besi tua memenuhi udara, bau darah yang sudah lama mengering namun tak pernah benar-benar menghilang. Alura berhenti sejenak, matanya menyipit menatap gerbang tinggi di depan mereka. Gerbang itu lebih rendah dari yang sebelumnya, tak menjulang tinggi seperti mulut monster, tapi sebaliknya: tenang, elegan, hampir seperti pintu rumah tua. Terbuat dari kayu hitam yang hangus, dengan simbol-simbol ukiran yang tidak lagi bisa dibaca. Namun aura yang terpancar darinya tak terbantahkan, ini bukan gerbang biasa. "Apa ini... benar-benar Gerbang Kesebelas?" bisik Alura, suaranya lebih seperti gumaman kepada dirinya sendiri. Rafael berdiri di sampingnya, pandangannya tidak lepas dari pintu kayu itu. "Ya. Ini gerbang yang tida
Suara desir angin terasa lebih tajam di antara reruntuhan Gerbang Kesepuluh. Tidak ada suara lain, kecuali detak langkah kaki mereka yang bergema pelan. Tanah yang mereka pijak seperti menyimpan bisikan, seolah-olah setiap inci menyimpan luka yang belum sembuh. Alura memandangi simbol di tengah gerbang: sepasang mata tertutup yang mengucurkan darah hitam. Di bawahnya, tulisan tua yang hampir hilang berbunyi, “Kau akan melihat dirimu sendiri.” "Gerbang ini... bukan tentang dunia luar." Rafael berhenti, suaranya rendah. "Tapi tentang bayangan kita sendiri." Alura menoleh. "Maksudmu?" "Seseorang pernah berkata padaku, di sinilah kau bertemu dengan bagian dirimu yang paling kau benci." Langkah mereka terhenti di tengah gerbang. Seketika, kabut pekat naik dari tanah dan mengelilingi mereka. Aroma logam, lembap, dan dingin menyeruak ke hidung, membuat Alura menggenggam erat mantel hitamnya. Lalu, dari balik kabut, muncullah sesosok lelaki tinggi, dengan rambut perak yang acak-acakan d
Langkah Rafael bergema di ruangan yang tak memiliki ujung. Lantai yang diinjaknya bukan batu, bukan tanah—melainkan kenangan. Ia melangkah melewati bayangan yang memantulkan dirinya sendiri, namun tidak satu pun dari mereka terlihat sama. Yang satu tersenyum dengan darah menetes dari dagu. Yang lain berlutut sambil mencengkeram dada. Dan yang ketiga... menatapnya penuh benci. “Ini bukan aku...” bisiknya, meski hatinya tahu itu bohong. Satu suara menyeruak dari balik lorong: suara lelaki muda yang sudah lama ia kubur dalam diam. "Rafael." Ia menoleh. Dan untuk pertama kalinya dalam belasan tahun, ia melihat adik kandungnya. “Darian...” bisiknya nyaris tak terdengar. Adik itu lebih muda, lebih kecil, dengan mata kelabu yang dulu selalu menatap Rafael penuh percaya berdiri di tengah lorong. Tapi tubuhnya penuh luka. Lehernya dililit rantai tipis yang menghitam, seperti bekas kutukan yang tak pernah sembuh. “Kenapa waktu itu kau pergi?” tanya Darian. Suaranya tid
Tangga batu itu terasa seperti pusara yang tak berujung. Setiap langkah yang diambil Alura dan Rafael dipenuhi gema, seolah masa lalu menonton mereka dari dinding yang lembab dan berlumut. Udara kian dingin, menusuk kulit seperti kuku hantu yang belum juga ikhlas pergi dari dunia ini. Rafael berjalan di depan, satu tangannya menggenggam erat senjata pusaka yang kini mulai berdenyut hangat. Seolah benda itu tahu sesuatu di bawah sana sedang menunggu, dan bukan untuk menyambut mereka dengan damai. “Aku bisa mencium bau darah,” kata Alura pelan. Rafael tidak menoleh, tapi ia mengangguk. “Dan sesuatu yang lebih tua dari itu.” Tangga berakhir pada sebuah lorong sempit. Di ujungnya ada pintu besi tinggi berukir simbol-simbol purba. Lambang kerajaan lama, lambang pengkhianatan. Lambang keluarga yang telah dibasmi dari sejarah. Alura meletakkan telapak tangannya pada permukaan besi. Ada sesuatu yang bergetar bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya. “Tempat ini... seperti tahu siapa aku.
Suara dari bayangan itu tak juga berhenti. Semakin lama, bisikannya terasa seperti kuku-kuku tajam yang menggores lapisan dalam pikiran. Alura menahan napas, tetapi jantungnya berdetak terlalu keras untuk bisa diabaikan. Rafael berdiri kaku di sampingnya, tangannya sudah menempel pada gagang pedang, tetapi tak ada yang bisa dilawan. Karena musuh mereka sekarang bukan sesuatu yang bisa dilukai melainkan sesuatu yang menyusup diam-diam ke dalam niat dan keyakinan. "Aku akan menjadi segelnya," suara Silvanna akhirnya terdengar jelas. Alura terkejut dan menoleh. "Apa maksudmu?" “Bayangan itu butuh wadah,” kata Silvanna lirih, sorot matanya tenang, seperti seseorang yang sudah berdamai dengan akhir. “Jika tidak disegel ulang, maka ia akan bangkit sebagai entitas penuh. Dan saat itu terjadi, seluruh reruntuhan ini akan menjadi awal kekacauan baru.” “Tapi kenapa kau?” tanya Rafael, nada suaranya nyaris terdengar seperti marah. “Kau bukan satu-satunya jalan.” “Aku… memang bukan satu-sa
Kabut di lorong itu akhirnya mereda. Tapi suasana tidak menjadi lebih ringan. Justru udara menjadi lebih berat, lebih menekan, seolah mereka tengah berjalan ke dalam dada dunia itu sendiri, tempat napas pun terasa mahal. Dinding-dinding batu berubah menjadi formasi hitam berurat merah, memancarkan pancaran samar. Dan di ujung jalan itu, berdiri Gerbang Kesepuluh. Tinggi dan gelap, tak memiliki ukiran apa pun. Hanya permukaan licin yang memantulkan bayangan mereka buram, bergetar, seolah menolak mengakuinya sebagai manusia sepenuhnya. Alura melangkah maju, namun Rafael merentangkan tangan menghentikannya. "Ada sesuatu di balik itu. Sesuatu yang bukan hanya pintu." Alura memandang ke arahnya. “Apa maksudmu?” Rafael diam beberapa detik. “Gerbang ini bukan dibuat oleh tangan manusia… atau makhluk apa pun yang kita kenal. Ini bukan pelindung rahasia. Ini penjara.” Alura menelan ludah. Pandangannya beralih ke permukaan gerbang yang kini perlahan berdenyut. Ada sesuatu… atau se