Suara dari bayangan itu tak juga berhenti. Semakin lama, bisikannya terasa seperti kuku-kuku tajam yang menggores lapisan dalam pikiran. Alura menahan napas, tetapi jantungnya berdetak terlalu keras untuk bisa diabaikan. Rafael berdiri kaku di sampingnya, tangannya sudah menempel pada gagang pedang, tetapi tak ada yang bisa dilawan. Karena musuh mereka sekarang bukan sesuatu yang bisa dilukai melainkan sesuatu yang menyusup diam-diam ke dalam niat dan keyakinan. "Aku akan menjadi segelnya," suara Silvanna akhirnya terdengar jelas. Alura terkejut dan menoleh. "Apa maksudmu?" “Bayangan itu butuh wadah,” kata Silvanna lirih, sorot matanya tenang, seperti seseorang yang sudah berdamai dengan akhir. “Jika tidak disegel ulang, maka ia akan bangkit sebagai entitas penuh. Dan saat itu terjadi, seluruh reruntuhan ini akan menjadi awal kekacauan baru.” “Tapi kenapa kau?” tanya Rafael, nada suaranya nyaris terdengar seperti marah. “Kau bukan satu-satunya jalan.” “Aku… memang bukan satu-sa
Kabut di lorong itu akhirnya mereda. Tapi suasana tidak menjadi lebih ringan. Justru udara menjadi lebih berat, lebih menekan, seolah mereka tengah berjalan ke dalam dada dunia itu sendiri, tempat napas pun terasa mahal. Dinding-dinding batu berubah menjadi formasi hitam berurat merah, memancarkan pancaran samar. Dan di ujung jalan itu, berdiri Gerbang Kesepuluh. Tinggi dan gelap, tak memiliki ukiran apa pun. Hanya permukaan licin yang memantulkan bayangan mereka buram, bergetar, seolah menolak mengakuinya sebagai manusia sepenuhnya. Alura melangkah maju, namun Rafael merentangkan tangan menghentikannya. "Ada sesuatu di balik itu. Sesuatu yang bukan hanya pintu." Alura memandang ke arahnya. “Apa maksudmu?” Rafael diam beberapa detik. “Gerbang ini bukan dibuat oleh tangan manusia… atau makhluk apa pun yang kita kenal. Ini bukan pelindung rahasia. Ini penjara.” Alura menelan ludah. Pandangannya beralih ke permukaan gerbang yang kini perlahan berdenyut. Ada sesuatu… atau se
Langkah Alura menggema pelan di lorong batu yang sepi, hanya disertai desir angin yang mengusik rambutnya. Suara derap kaki Rafael tak jauh di belakang, tapi rasanya sepi itu tetap tak bisa diusir. Gerbang Kesembilan telah tertutup. Arga telah menghilang bersamanya. Sampai detik ini, ia belum bisa berkata-kata. Rafael diam saja sejak mereka menuruni undakan terakhir. Tapi diamnya bukan dingin seperti biasanya. Ada sesuatu yang retak di balik sorot matanya retakan yang tak sepenuhnya ia tunjukkan. Dan Alura tahu, luka itu bukan hanya miliknya. "Aku tak bisa dengar suaranya lagi." Alura akhirnya berkata, pelan. "Suara Arga... seperti menguap bersama cahaya gerbang itu." Rafael menatapnya sebentar. Lalu menunduk, seolah membenarkan kata-kata itu dalam hati. "Aku tidak tahu apakah ia akan kembali," lanjut Alura, kali ini suara gemetar. "Tapi kurasa… dia memang tak pernah berniat kembali sepenuhnya." Rafael mengangguk sekali. "Dia memilih. Dan kadang… pilihan itu bukan soal hidup at
Langkah Alura tertahan di ambang Gerbang Kesembilan. Angin dari dalam celah itu tidak dingin, tapi hangat seolah mengundang, memanggil... atau menjebak. Namun bukan itu yang membuatnya sulit bernapas. Bukan gemuruh suara ribuan roh yang bergema dalam kepala. Bukan cahaya ungu yang menyala dari celah-celah batu yang terbuka di sekelilingnya. Tapi... Bayangan Arga. Sosoknya tak lagi berdarah atau terluka. Tak juga terbakar oleh kekuatan kegelapan yang meledak di tubuhnya. Ia berdiri di dalam gerbang, menatap Alura dengan mata yang tak sepenuhnya manusia lagi. “Aku tidak bisa pergi,” ucapnya, suaranya nyaris hanya bisikan. “Karena sebagian dirimu masih bersamaku.” “Arga...” Napas Alura tercekat. Luka di hatinya belum mengering, tapi kini dibuka kembali oleh kehadiran sosok itu. “Aku sudah mati, Alura.” “Tapi bayanganku masih hidup… di dalammu.” Alura menggigit bibir. “Kau tidak bisa melakukan ini. Kau sudah memilih untuk pergi, untuk mengorbankan dirimu.” “Bukan untuk dunia. U
Hening setelah kehilangan itu berbeda dengan hening biasa. Ia bukan sekadar diam tapi kehampaan yang mencekam. Alura berdiri di tepi tanah yang masih basah oleh jejak darah, bekas pengorbanan Arga. Namun yang mengganggunya bukan hanya kehilangan itu, melainkan cara Arga pergi. "Aku tidak mau menjadi hantu dalam hidupmu." Suara itu terus menggema di pikirannya. Setiap detiknya menyayat, seolah kata-kata itu adalah kutukan paling manis dan paling kejam yang pernah dia terima. "Arga..." Suara Alura pecah di tengah reruntuhan Vellen Thar. Tapi tidak ada gema, tidak ada jawaban. Hanya angin dingin yang membawa bau besi dan abu. Rafael berdiri di belakangnya, diam. Tidak menyentuh, tidak memaksa. Ia tahu ini bukan waktunya menjadi pelindung atau suami. Ini adalah waktunya untuk membiarkan Alura menelan sakitnya sendiri dalam sunyi yang suci. Namun tanah mulai bergetar. "Bumi ini… bernapas," gumam Rafael, matanya menelusuri retakan tanah yang merambat seperti akar tapi hidup. Retak
Langkah mereka melewati ambang Gerbang Kedelapan bukan seperti melangkah dari satu ruang ke ruang lain. Itu seperti keluar dari tubuh sendiri dan masuk ke versi dunia yang terlalu diam, terlalu gelap, terlalu... kosong. Alura tidak bisa mendengar detak jantungnya. Bahkan napas Rafael yang biasanya bisa ia rasakan di belakang tengkuknya hilang. Yang ada hanya kesunyian dan suara... itu lagi. Detak. Detak. Detak. Tapi detak itu bukan dari dunia luar. Itu datang dari dalam dirinya. Dari sesuatu yang tertinggal setelah Silvanna mencengkram jiwanya. Sesuatu yang tidak pergi meski Gerbang telah tertutup di belakang mereka. “Jangan mundur,” suara Rafael lirih, hampir tak terdengar. Alura mengangguk tanpa suara. Tapi dalam pikirannya, suara lain yang muncul. Kau tidak boleh lemah, Ratu. Kalau kau jatuh, siapa yang akan menegakkan darah ini? Suara itu tidak asing. Dan yang paling menyesakkan, suaranya terdengar seperti... Arga. ... Mereka tiba di pelataran batu yang terbelah dua.