-Gaji diambil Ibu
Hari ini Mas Azka gajian, tadi malam aku sudah menghitung pengeluaran kami selama sebulan. Lumayan ada sisa untuk tambahan pembangunan rumah yang hampir selesai. -Ting Bunyi notifikasi W* masuk, aku membacanya dengan segera.♡suamiku [Uangnya sudah masuk ke rekening Mas, mau Mas ambil langsung atau nanti aja sayang?]Aku tersenyum membaca pesan dari suamiku."Alhamdulillah," batinku. [Bayar air, listrik, sma Wifi aja sekalian Mas, terus sisanya diambil aja ya buat pegangan]Aku membalas pesan Mas Azka dengan penuh semangat. "AYRA!!! Angkat jemuran, kamu nggak lihat apa kalau ini mau hujan," teriak Ibu, aku segera menyimpan Hp dan berlari ke halaman belakang untuk mengangkat cucian yang sudah kujemur tadi pagi. "Kamu tuh ya nggak pernah becus, setiap hari harus di omelin terus! Punya mata kan ya? Hari mendung cucian langsung diangkat, jangan nunggu disuruh dulu," lanjut Ibu, ia kembali mengomel seperti biasanya. Aku memang harus serba bisa di matanya, namun sesempurna apa pun yang aku lakukan, tetap saja selalu salah di matanya. Aku tak menjawab apa yang dikatakan oleh ibu, dan lebih memilih untuk terus melanjutkan pekerjaanku. Kalau saja aku menjawab apa yang dikatakan Ibu, walaupun itu hanya satu kata saja, pasti urusannya akan panjang sejagat raya. "Assalamualaikum," ucap Mas Azka lembut, ia selalu pulang dengan wajah teduhnya. Wajah yang membuatku semakin hari semakin mencintainya. "Waalaikumussalam," jawabku seperti biasa, aku mencium punggung tangannya,dan dia mencium keningku lembut. Aku mengikuti Mas Azka masuk ke dalam kamar, Mas Azka menyerahkan dompetnya yang berisi sisa uang gaji kemudian ia langsung berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. "Alhamdulillah," ucapku penuh syukur. Masih ada tersisa lebih dari tiga juta dan ini bisa digunakan untuk tambahan pembangunan rumah, aku tersenyum dan berniat untuk menyimpan uang ke dalam lemari. Tapi langkahku terhenti saat Ibu nyelonong masuk ke kamar dan menarik dompet Mas Azka yang berada di tanganku. "Berapa sisa gaji Azka bulan ini?" tanya Ibu datar, ia mulai mengeluarkan uang dan menghitungnya. Aku terdiam, ingin rasanya aku merebut uang yang sekarang ada di tangan Ibu, tapi mana mungkin aku berani. "Ini uang kamu pegang buat belanja sayur ikan dan belanja bulanan, sisanya ibu yang pegang buat keperluan mendadak. Siapa tau di antara kita ada yang sakit atau ada genteng bocor dan lain-lain," ucap ibu yang terdengar mengada-ada, dia menyerahkan uang sebanyak satu juta dan aku disuruh berbelanja bulanan untuk kami satu rumah. "Cukup kemana uang ini" ucapku dalam hati, aku terduduk di tepi ranjang, benar-benar bingung dan tak tahu harus melakukan apa. "Kamu kenapa Dek?" tanya Mas Azka yang kini duduk tepat di sampingku. Ia melihatku yang sudah akan mulai menangis. "Uang gaji Mas diambil ibu," ucapku tercekat menahan tangis, aku mengatakannya dengan lirih, terlihat Mas Azka menghela nafasnya pelan namun kemudian senyumnya kembali menenangkan."Mas sudah mengira, kamu tenang aja ya! uangnya nggak Mas ambil semua, masih ada sisa uang bonus di ATM, jadi untuk tambahan pembangunan rumah Insyaa Allah cukup. Mas juga sudah kirim uang buat Mama sama papa di kampung, jadi nanti Ayra hubungi mereka ya," ucap Mas Azka dengan penuh sayang, membuatku terdiam takjub."Masyaa Allah, kurang beruntung apa aku memiliki lelaki seperti ini." Tangisku pecah dibuatnya. Mas Azka tersenyum karena aku yakin dia tahu dan sangat mengerti bagaimana perasaanku saat ini. "Mas sayang kamu Ra," ucapnya tulus. Mas Azka mencium puncak kepalaku dengan penuh sayang, aku mengeratkan pelukanku padanya. "Ayra juga sayang banget sama Mas Azka," balasku sembari membenamkan wajah di dada bidangnya. "AYRA!!! Makan malam sudah disiapkan belum?" Kembali teriakan Ibu membuatku kesal, tak bisakah ibu tidak menggangguku sebentar saja. Aku melangkah menuju dapur untuk menyiapkan makan malam dengan setengah hati, selalu saja aku yang dibuat repot setiap saat. Ibu, Kak Lastri dan Ayu tak pernah membantuku sama sekali, mereka hanya selalu menambah pekerjaanku. "Manyun aja Lu, nggak ikhlas ya nyiapin kita makan," tanya Ayu dengan sinis, tentu saja ia mencoba memanas-manasi Ibu dan kak Lastri. "Ikhlas nggak Ikhlas toh tetep harus aku kerjain juga," jawabku dengan nada bercanda, padahal hatiku terasa sangat marah. "Berani menjawab ya sekarang! Numpang aja belagu," sahut Kak Lastri yang semakin membuat panas suasana. "Numpang juga bayar kan, kalau nggak ada kami yang numpang ini mungkin uang gaji kalian gak bisa loh buat shopping," ucapku santai, aku sengaja menyindir mereka karena masih kesal saat Ibu mengambil uang gaji suamiku seenaknya. "Maksud kamu apa Ra? Kamu nggak suka hati bayar keperluan rumah ini," tanya Ibu yang mulai meninggikan suaranya saat mendengar Aku, Kak Lastri dan Ayu saling bersahutan."Ya nggak maksud apa-apa sih Bu, Ayra cuma bercanda aja kok. Mereka aja yang terlalu sensitif," jawabku asal, aku sudah selesai menata makanan di atas meja, bertepatan dengan itu Mas Azka datang. Ia tersenyum padaku, aku duduk tepat di sampingnya. "Istri kamu coba dinasehati Ka. Masa itung-itungan masalah uang pembayaran keperluan rumah," ucap Ibu mulai mengadu, aku hampir saja menjawabnya tapi genggaman tangan dari Mas Azka menghentikanku. "Ayo makan Bu," potong Mas Azka, ia berusaha mengalihkan pembicaraan, dan dibalas dengan tatapan tak suka dari Ibu, Kak Lastri dan Ayu. Kami pun makan dalam keheningan. Selesai makan seperti biasanya aku akan kembali sibuk membereskan segalanya sendirian, Mas Azka ingin membantu tapi ku tolak karena aku melihat ia membawa beberapa pekerjaan kantornya ke rumah. "Pasti dia juga sibuk dan capek," batinku. Aku tertidur setelah mengerjakan semua pekerjaan rumah, semua selesai tepat pukul sepuluh malam. Aku merasa ada pergerakan di samping, Mas Azka menyelimutiku. "Yang sabar ya sayang, bentar lagi. Kita cuma perlu waktu sebentar lagi," ucap Mas Azka lembut, ia mencium keningku, lalu tertidur sambil memelukku.“Apa aku nggak salah liat?” tanya Lastri, saat melihat Keisha menyiapkan sarapan untuk mereka semua di hari yang masih sangat pagi. “Sudah bangun Kak?” tanya Keisha, ia benar-benar berusaha memperbaiki diri. Lastri mematung mendengar kata yang baik dan lembut yang diucapkan oleh adik iparnya. “Kenapa kamu Las? Kok kaya patung begitu?” tanya Ajeng yang baru saja memasuki dapur. “Keisha?” ucap Ajeng, sama kagetnya dengan Lastri. “Sudah bangun ya Bu?” ucap Keisha, ia bahkan tersenyum pada Ibu mertuanya itu. “Mulai dari sekarang, aku akan belajar untuk menjadi istri, menantu, dan ipar yang baik untuk kalian semua. Semoga Ibu dan Kak Lastri bisa bantu aku ya,” ucap Keisha dengan penuh harap. “Kamu nggak kesambet kan Kei?” tanya Lastri tak percaya. “Aku mau bangunin Mas Azka dulu ya Bu, kalau Ibu dan Kak Lastri mau makan duluan nggak apa-apa,” sambung Keisha, ia meninggalkan Ajeng dan Lastri yang masih kebingungan. “Kenapa dia Bu?” tanya Lastri. “Kayaknya memang kesambet Las, perl
Azka sampai ke rumah dengan tubuh yang menggigil, ia masuk ke dalam kamar dan melihat Keisha terbaring di lantai sambil memegangi ponselnya. Benar saja begitu banyak panggilan dan pesan yang masuk setelah ia melihat ponsel miliknya.Azka masuk ke dalam kamar mandi dan mengganti pakaiannya lalu ia menggendong Keisha dan membaringkannya di ranjang mereka. ‘Maafin aku karena menjadi suami yang tak pernah mengerti perasaanmu,’ ucap Azka dalam hati saat melihat wajah Keisha yang masih dibalut dengan perban. ‘Aku akan mencoba membuka hati untuk mencintaimu Kei, semoga kamu bisa berubah dan menjadi wanita yang baik. Baik pada dirimu sendiri, pada keluargamu dan juga keluargaku. Karena bagaimana pun rumah tangga tak hanya kita jalani sendiri, kita juga harus mempersatukan kedua keluarga kita’ batin Azka, ia melihat Keisha yang tiba-tiba bangun dan menatapnya. “Kamu sudah pulang Mas, kapan? Kamu kehujanan? Aku telpon kamu berkali-kali tapi kamu...”Azka memeluk Keisha dan mengusap rambutny
“Astaghfirullah,” ucap Ayra, ia tersentak saat mobil Rian menabrak sebuah lubang kecil. “Kamu kebangun ya Ra? Maaf, aku nggak bisa ngindarin lubang karena ada motor yang tiba-tiba nyalip dari belakang,” ucap Rian, ia merasa tak enak karena membangunkan Ayra yang terlihat sangat kelelahan.Ayra sempat bingung karena saat ini ia berada di dalam mobil dengan posisi tidur memeluk Reyhan yang juga sedang terlelap. Bergegas ia mengambil Ponselnya dan melihat isi chatnya bersama Rian, ia sampai membuka JG untuk memastikan bahwa dia tak melakukan sesuatu yang memalukan. “Alhamdulillah,” ucapnya lega. “Alhamdulillah kenapa Ra?” tanya Rian bingung. “Nggak apa-apa Mas,” jawab Ayra dengan tersenyum, kini kesadarannya mulai pulih. Ia ingat mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah orang tuanya dan ia tertidur tanpa sadar karena tubuhnya memang terasa sangat lelah. Rasa lelah itu membuat Ayra menjadi bermimpi sedikit buruk, bukan mimpi yang aneh, hanya saja ia menjadi Ayra yang tak seper
Sudah dua hari berlalu dan Azka belum juga kembali untuk menjemput Keisha, ia merasa sangat marah. “Mas Azka apa-apaan sih? Aku nggak terima diginiin!” ucapnya sambil membanting ponsel karena teleponnya tak kunjung diangkat. Keisha mengemasi pakaiannya lalu mencari kunci mobilnya. “Mi, kunci mobil Keisha mana?” teriaknya sambil terus mencari. Rita menuju ke arah Keisha dengan wajah tertunduk. “Kenapa Mi?” tanya Keisha heran. “Mobilnya sudah dijual Papi Kei,” jawab Rita dengan pelan. “Apa? kenapa? Itu kan mobil Keisha kenapa dijual?” tanya Keisha dengan sangat marah. “Siapa bilang itu mobil kamu? Itu atas nama Papi kok. Papi juga cuma kasih pinjem, nggak ngasih kamu,” jawab Papinya dengan santai. “Papi kok jahat begitu sih sama Kei,” rengeknya dengan mata yang berkaca-kaca. “Kamu sudah punya suami Kei, merengek sama dia sana kenapa apa-apa harus Mami dan Papi yang turun tangan?” tanya Papinya sambil menyalakan TV.Keisha menatap ke arah Rita dengan kesal, lalu beranjak pergi
“Ini semua gara-gara Mami, bagaimana ini?” teriak Keisha dengan tangis yang tak berhenti mengalir. “Kenapa kamu nyalahin Mami? Mami habisin sisa tabungan Mami cuma buat kamu tahu nggak?” jawab Maminya dengan kesal. “Sekarang aku harus bagaimana Mi? Pokoknya aku mau operasi lagi kalau perlu ke luar negeri,” ucap Keisha, ia tak berani berkaca bahkan cermin di kamarnya sudah ia pecahkan sejak hari pertama ia tahu kalau klinik tempatnya melaksanakan operasi adalah klinik abal-abal. “Ya kamu ngomong saja sama suamimu, Kei,” sahut Maminya dengan santai. “Mas Azka? Ya mana mungkin dia mau Mi. Mas Azka sudah ngelarang aku buat operasi,” jawab Keisha dengan putus asa. “Mau Mami yang ngomongin?” tanyanya sambil terus mengoleskan pewarna pada kukunya. “Jangan suka ikut campur urusan anakmu, Mi,” sahur Papi Keisha yang mendengar percakapan antara istri dan anaknya. “Papi….” rengek Keisha. “Kamu tahu kan keuangan keluarga kita sedang sulit sekarang?” tanya Papi Keisha dengan dingin. “Tapi
Ayu, Sandi, Ajeng, dan Lastri sedang menyiapkan acara syukuran kecil untuk Reyhan. “Yank, ambil kue di rumah Bu Pandi” teriak Ayu pada Sandi yang sedang asyik menonton televisi. “Sudah siap emangnya?” tanya Sandi, ia mengalihkan pandangannya ke arah Ayu yang sedang sibuk menata makanan di atas meja. “Kalau belum siap, ya aku nggak akan suruh kamu, Yank,” jawab Ayu kesal. “Jangan marah-marah dong, Bu negara,” bujuk Sandi, ia mencubit gemas pipi istrinya. “Makanya buru jalan, ntar keburu Kak Ayra sampai sini!” perintah Ayu, Sandi mengangkat tangannya membentuk tanda hormat dan dihadiahi cubitan pedas dari Ayu. “Aku lagi nggak bercanda ya, Yank, buru atau...” ucap Ayu sambil mengayunkan sendok yang ada di tangannya. “Siap Bos, langsung Otw!” jawab Sandi setelah mencomot satu potong ayam goreng di meja makan. “Papa katanya mau diet kok makan mulu,” sindir Aldi yang membawa gelas berisi es krim stroberi kesukaannya. “Hahahaha, Papamu mau diet?” ucap Lastri, ia tertawa dengan nyari