LOGIN
-Selalu Salah.
"Kamu tuh jangan penyakitan! Kalau kamu sakit terus yang mengurus rumah ini siapa?" bentak Ibu mertuaku, sakit rasanya setiap aku merasa tak enak badan, selalu saja Ibu mertuaku mencerca dengan kata makian yang memekakkan telinga.Aku hanya diam tak menanggapi, tak hanya satu atau dua kali. Mungkin sudah ribuan kali aku dicerca seperti ini. Siapa yang mau sakit? Siapa yang mau badan lemah tak berdaya? Aku memang dilahirkan dengan fisik lemah seperti ini, dan Aku tak meminta Mas Azka menikahiku, dia sendiri sudah diberi tahu oleh Orang Tuaku tentang semua kondisiku sebelum menikah. "Ngomong sama kamu tuh, kaya ngomong sama tembok tahu nggak," lanjut Ibu yang kemudian berlalu meninggalkanku sendirian di dapur, tentunya dengan cucian pakaian dan piring yang bertumpuk. Tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Waktu aku belum menikah, tak pernah sedikitpun orang tuaku menyuruhku layaknya babu seperti yang dilakukan mertuaku kini. "Assalamualaikum." Terdengar suara Mas Azka yang baru saja pulang dari kantornya. "Waalaikumussalam," jawabku lembut, bergegas aku melap tangan dan menghampirinya. Ku cium punggung tangannya, dan seperti biasa dia mencium keningku dengan lembut. "Kenapa sayang? Nangis lagi ya?" tanyanya pelan, aku hanya tersenyum, tanpa harus mengatakan apapun suamiku sudah mengerti apa yang terjadi. Mas Azka sudah pasti sangat mengerti dengan tabiat Ibunya. Tak henti pula, Mas Azka selalu berusaha menyabariku."Mas mandi aja dulu, entar Ayra siapin makan ya," ucapku lembut. Mas Azka mengangguk dan langsung ke kamar untuk membersihkan badannya. Aku menyiapkan makanan untuk Mas Azka, mengambil beberapa iris ikan yang telah aku sembunyikan sewaktu sebelum memasak. Mertuaku sangat irit bin pelit, Ikan pun dijatah untuk di goreng perharinya. Tak jarang aku harus menyimpan beberapa potong ikan untuk suamiku, tak tega rasanya melihat ia makan sesuai jatah yang diberikan mertuaku saat ia sudah lelah kerja seharian di kantor. "Pantesan aja ikan cepat habis, disimpan toh sama si penyakitan," ucap Kakak iparku sinis, ia baru saja pulang dari berbelanja dan kini sudah mulai mengoceh seperti biasanya. Suamiku baru selesai mandi, ia duduk dan akan makan bersamaku. Kami memilih untuk diam dan tak menggubris apa yang dikatakan oleh Kakak iparku. Suamiku adalah anak angkat di rumah ini, dia diambil semenjak kecil oleh ayah mertuaku. Entah dimana orang tua kandungnya sekarang, itulah yang membuatku sampai saat ini tetap bertahan dengannya. Dia sangat penyabar, dan sangat berbakti pada keluarganya, walaupun sebenarnya hanya ayah mertuaku saja yang menganggap kami keluarga di rumah ini. Aku melanjutkan pekerjaan seperti biasanya, menyelesaikan cucian piring dan pakaian yang menumpuk setiap harinya. Aku mencuci pakaianku dan mertuaku, tak jarang pula kakak ipar dan adik ipar menitipkan cuciannya padaku, lelah rasanya jika tiap hari harus seperti ini, tapi lelahku tak sebanding dengan sakit hati yang mereka torehkan."Woy, kerja tu jangan ngelamun, kalau gitu nggak bakal selesai," ucap Ayu adik iparku yang seketika membuyarkan lamunan. Jengah sudah rasanya jika terlalu lama tinggal di lingkungan yang penuh dengan kebencian ini. Sebelum melahirkan, aku harus memaksa Mas Azka untuk pindah dari rumah ini. Aku terus mengabaikan Ayu, dan memasukkan kembali cucianku ke dalam mesin pengering. "Capek dek?" tanya Mas Azka lembut, ia duduk dan memijit kakiku, aku hanya tersenyum padanya. "Sabar ya, sebentar lagi rumah kita selesai, jadi kita bisa pindah kesana," lanjutnya lagi, aku hanya mengangguk, kami memang sedang membangun rumah sederhana untuk kami tinggali. Mas Azka mungkin merasa sedih ketika harus melihatku selalu di omelin oleh keluarganya. tok tok tok….Ketukan pintu di luar kamar membuat kami berhenti mengobrol, aku bangun dan membukakan pintu kamar. "Enak ya udah mau tidur! tuh cucian kering belum pada di setrika, besok mau dipakai kerja sama Ayu," ucap Ibu sinis, ia kembali menyuruhku dengan nada yang sangat tak enak didengar, ingin sekali rasanya aku menyahut, tapi mengingat ketika nanti keberadaan Mas Azka di rumah ini akan diungkit lagi seperti dulu, aku lebih memilih diam. "Ayu kan udah besar Bu, dia bisa lah nyetrika sendiri. Kasian Ayra belum istirahat, dia juga lagi hamil muda," bela Mas Azka mewakili perasaanku."Nggak usah banyak omong kalau disini masih numpang, kamu dari kecil emang nyusahin aja tau gak, sekarang malah bawa istri lagi kesini," sahut Ibu dengan kasar, hancur sudah tembok pertahananku, aku yang berusaha sabar kini sudah tak sanggup untuk tidak menjawab, terlebih karena Mas Azka yang berkorban banyak di keluarga ini selalu dianggap tak memiliki peran apa-apa. "Bukannya yang di omongin Mas Azka bener ya Bu? Ayu sudah besar, dia bisa nyetrika sendiri, toh aku sudah cukup membantu dengan nyuciin bajunya dia selama ini," jawabku dengan halus, aku tak ingin semakin memperkeruh masalah walaupun nyatanya emosi di dada sudah menggebu."Suami Istri bisanya nyaut saja kalau dikasih tahu, ini nih yang namanya pagar makan tanaman, GAK TAHU DIRI! Sudah diasuh dari kecil, udah besar malah berani ngelawan," ucap Ibu yang mulai mengeraskan suaranya, ingin rasanya aku menjawab tapi ku lihat Mas Azka tertunduk lemah, pasti sakit hatinya dengan kata-kata ibu tadi, Ibu selalu mengungkit masa kecil Mas Azka ketika ia teramat marah. Aku memilih untuk mengunci pintu kamar, tak ku kerjakan apa yang ibu perintahkan. Badanku sudah terasa sangat lelah, belum lagi kondisi hatiku yang sedang sangat tak karuan melihat suamiku yang selalu dihina oleh keluarganya. Seandainya saja orang tuaku dekat, aku lebih memilih tinggal bersama mereka dibandingkan tinggal bersama dengan keluarga yang selalu menganggap kami tak memiliki arti apa-apa. Padahal selama ini biaya renovasi rumah, air, listrik, bahkan bayar WIFI selalu memakai gaji dari suamiku. Tapi tak sedikitpun apa yang kami lakukan dan berikan dianggap oleh mereka. "Sabar ya Mas, Insyaa Allah sabarnya kita dibalas pahala oleh Allah," ucapku penuh sayang, aku mengusap pelan punggung Mas Azka, dia hanya tersenyum dan memelukku. Sungguh sakit rasanya, apa yang harus aku lakukan? Apa aku ngontrak aja ya sementara menunggu rumah selesai? Udah gak betah rasanya tinggal disini, Aku ini menantu bukan babu. Aku menangis dalam pelukan Mas Azka, biarlah malam ini kami memecahkan keheningan dengan tangisan. Agar ketika malam ini berlalu, kami bisa lebih kuat di hari esok.Keisha terbangun dari tidur panjangnya, ia melihat dengan samar ke sekeliling ruangan yang terasa asing untuknya. 'Di mana aku?' batinnya. Pandangannya tertuju pada dua orang yang sedang terlelap di sofa yang terletak di ujung ruangan. "Mi, Pi," panggilnya lemah. Rita membuka matanya dengan cepat, suara yang sangat ia rindukan selama dua bulan terakhir ini sangat jelas terdengar di telinganya. "Keisha," ucapnya dengan sangat gembira, ia bahkan langsung berlari menghampiri putri kesayangannya itu. "Pi, Anak kita sudah sadar," ucap Rita dengan nyaring, Anton yang mendengar itu segera mengambil kacamatanya dan menghampiri istri dan putrinya. "Keisha. Syukurlah," ucapnya dengan lega. "Akhirnya kamu bangun juga, Nak," ucap Rita dengan haru, ia menciumi putrinya dengan sayang. "Apa yang terjadi Mi? kenapa Kei ada di sini?" tanyanya lemah. "Bukankah pertanyaan itu harusnya Mami dan Papi yang menanyakan?" tanya Rita dengan lembut. Anton keluar ruangan untuk memanggil Dokter, sedang
Ayra terbangun ia merasakan pusing dan mencoba bangun namun ia merasa tubuhnya sangat lemah. “Infus?” ucapnya bingung sembari melihat tangannya. “Umi sudah bangun?” tanya Reyhan dengan imut, ia mendekati Ayra dan menempelkan punggung tangannya pada dahi wanita yang sangat ia sayangi di dunia ini. “Sayang,” ucap Ayra lemah. “Umi nggak apa-apa kan, apa ada yang sakit?” tanyanya dengan khawatir, membuat Ayra menahan air mata haru. “Umi nggak apa-apa sayang, maafin Umi ya. Rey pasti takut banget ya tadi?” ucap Ayra sedih, ia merasa bersalah pada putra kesayangannya itu. “Nggak kok Umi, Rey kan sudah janji bakalan terus jagain Umi,” jawabnya dengan tulus, kini Ayra sudah tak mampu menahan air matanya. “Umi kenapa nangis? Ada yang sakit ya? Rey panggilin Papa ya,” ucapnya cemas, ia akan berlari keluar namun Ayra menahannya. “Papa sama siapa di sini?” tanya Ayra, ada perasaan tak nyaman mulai menyelimutinya. “Abang,” ucap Aldi, ia baru kembali dari toilet. “Umi,” panggil Aldi, ia m
Rian melajukan mobil dengan sangat cepat, tak lupa ia menelepon Ayu untuk memintanya datang agar ada yang menemani mereka di rumah nanti karena biar bagaimanapun Rian sangat menjaga kehormatan calon istrinya, ia tak ingin Ayra dipandang rendah atau tak baik oleh orang lain. “Assalamualaikum, Yu,” ucap Rian saat telpon sudah tersambung. “Wa'alaikumussalam, kenapa Mas?” tanya Ayu sembari terus melanjutkan kegiatan memasaknya. “Kamu bisa nggak ke rumah Ayra?” tanya Rian dengan tenang agar tak menimbulkan kepanikan. “Kenapa Mas, Kak Ayra nggak apa-apa kan?” tanya Ayu, hatinya mulai berdesir cemas. “Nggak ada apa-apa sih, Yu, cuma aku mau kesana saja nggak enak kalau nggak ada orang yang nemenin,” jawab Rian. “Oh, kirain kenapa? Entar aku menyusul Mas, duluan saja. Soalnya aku mau ke minimarket dulu beliin jajan buat Aldi sama Reyhan,” ucap Ayu, ia tak menyadari ada seorang lelaki yang mendengarkan obrolannya dengan Rian dan ia tersenyum sangat licik karena otaknya sedang merencanaka
“Mau sampai kapan kamu gini terus Ka? Sudah dua minggu dan kamu belum sama sekali menjenguk istrimu yang saat ini terbaring lemah di ICU,” ucap Ajeng dengan marah pada anak angkatnya yang semakin terlihat tak terurus lagi. Azka hanya diam tak menanggapi, ia merasa dunianya sudah berakhir. Bahkan sering kali keinginan buruk muncul di benaknya. ‘Apa aku culik saja Ayra dan aku akan menikahinya dengan paksa’ ucapnya dalam hati. ‘Ah bodoh sekali aku, mana bisa aku melakukan itu dan menyakitinya lagi dan lagi’ ‘Tapi aku gak bisa mundur begitu saja, aku ingin kembali mendapatkannya’ ‘Tapi aku tak pantas untuk kembali bersamanya’ Azka berdebat dengan hati dan pikirannya yang selalu bertolak belakang, sesekali ia menghisap rokok yang membuatnya mulai nyaman padahal selama ini ia tak pernah menyentuhnya sama sekali. ***“Alhamdulillah persiapan pernikahan kita sudah hampir selesai delapan puluh lima persen, aku sedikit gugup, Ra,” ucap Rian, kini mereka berada di perjalanan menuju Masji
Ayra berada di kamar Keisha yang terlihat berantakan, Lastri sedang merapikan beberapa barang yang berserakan. “Ada masalah apa sih Kei? Kok jadi gini banget hidupmu?” ucap Lastri dengan santai, Ayra menoleh ke arahnya namun Lastri berpura-pura tak melihatnya. “Kei, coba cerita sama aku. Sebenarnya kamu dan Mas Azka kenapa?” tanya Ayra dengan lembut, ia menggenggam jari Keisha berusaha menenangkan wanita yang pernah menjadi madunya itu. “Rumah tanggaku dan Mas Azka sepertinya sudah selesai, Ra,” jawab Keisha dengan sesenggukan. Ayra dan Lastri menoleh bersamaan, Lastri bahkan berhenti melakukan kegiatan beres-beresnya dan duduk di samping Keisha karena sangat penasaran dengan apa yang dikatakan oleh wanita yang sempat sangat ia benci dulunya. “Kenapa? Ada apa?” tanya Lastri sangat penasaran. “Aku sudah mengakui segalanya, Ra,” ucap Keisha dengan lemah. “Mengakui semuanya? Mengakui apa Kei?” tanya Ayra bingung. “Aku mengakui semua kejahatan yang pernah aku lakukan padamu, Mas A
Ah, aku sudah hampir gila, pipiku terasa panas, aku bahkan menepuknya beberapa kali karena entah kenapa aku selalu merasakan hal lain ketika mengingat Mas Rian. “Umi,” Reyhan menghampiri dan memelukku. “Iya, kenapa sayang?” tanyaku sambil mencium pipinya yang menggemaskan. “Kalau nanti Umi sama Papa Rian sudah nikah, Rey masih boleh kan jalan-jalan sama Abi?” tanyanya dengan sedih. “Kok Rey nanya begitu?” tanyaku bingung. “Rey cuma takut kalau Rey sudah nggak bisa ketemu atau jalan-jalan sama Abi lagi. karena Syifa teman Rey bilang Mama dan Papanya sudah nggak pernah ketemu lagi,” jawabnya dengan polos membuatku terharu. “Rey, Umi sama Abi tetap orang tua Reyhan. Papa Rian dan juga Mama Keisha juga sama orang tua Rey juga. Kami semua sayang Rey dan nggak ada yang akan ngelarang Rey untuk ketemu atau jalan-jalan sama Abi karena kita semua satu keluarga, hmm?” tanyaku sambil membawanya kembali ke dalam pelukanku. “Janji ya Mi,” ucapnya sembari mengacungkan kelingkingnya. “Insyaa







