Share

BAB 3

-Kedatangan A Rafi. 

Hari ini aku berniat untuk melihat sampai mana perkembangan pembangunan rumah kami, aku bersiap dengan memakai setelan gamis dan hijab berwana Army. Setelah siap, aku mengambil tas selempang dan berjalan menuju pintu keluar rumah. 

"Mau kemana? Kerjaan kok keluyuran aja! Udah tahu kerjaan rumah banyak," ucap Ibu, membuat langkahku harus terhenti dengan ocehannya yang membuat kupingku kembali panas. 

"Mau keluar bentar Bu, Ayra ada urusan," sahutku, sambil mengenakan kaus kaki.

"Emangnya saya kasih kamu izin buat keluar?" Ibu kembali mengeluarkan nada sinisnya. 

"Ayra sudah izin sama Mas Azka bu," jawabku halus, kemudian mengambil sepatu dari rak di belakang pintu, dan bersiap akan keluar.

"Kan saya sudah bilang saya nggak izinin kamu keluar, ini rumah saya! Bukan rumah Azka! Kalau kamu mau keluar kamu izin sama saya bukan sama Azka." Kali ini suara Ibu mulai melengking, sampai membuat beberapa tetangga yang sedang belanja sayur pada Mang Usuf menoleh. 

Malu rasanya ketika melihat tatapan sedih mereka padaku, untungnya para tetangga tak pernah membicarakan tentangku, walaupun ketika mereka berkumpul bersama Ibu, Ibu selalu menjelek-jelekkanku, tapi mereka seperti hanya mendengar angin lalu, karena sepertinya mereka pun sudah tau bagaimana sikap Ibu dan saudara Mas Azka pada kami selama ini. 

"Iya Bu, Ayra gak jadi pergi," jawabku lemah, aku memilih mengalah, dan kembali masuk ke dalam kamar dan mengganti pakaian dengan daster rumahan. Aku membaringkan tubuhku sebentar, hari ini memang terasa lemas. 

"Dede yang sabar ya sayang, yang kuat," ucapku penuh sayang, sembari mengusap perut yang kini mulai terlihat membesar. 

Hp ku berbunyi tanda ada panggilan masuk. 

"Assalamualaikum Ra," ucap suara di seberang sana, rupanya telepon dari Kakakku yang akhirnya membuat sedihku berkurang.

"W*'alaikumussalam, A Rafi, Apa kabar?" Aku menjawab salamnya dengan sangat semangat, kangen rasanya dengan Kakakku ini.

"Alhamdulillah Aa baik, Aa di Samarinda sekarang sama Kak Tari juga, kami mau ke rumah kamu tapi Aa lupa alamatnya, kirimin ya," jawab A Rafi tak kalah semangat, senyumku memudar, aku memang sangat merindukan mereka, tapi jika mereka datang kesini sekarang, pasti Mertuaku akan semakin menunjukkan sikap tak sukanya padaku dan mereka. 

"Emh, iya A, bentar Ayra W* ya alamatnya," jawabku pelan, setelah mematikan telepon segera ku kirimkan Alamat rumah kepada A Rafi, lalu tak lupa juga mengirim W* pada Mas Azka untuk mengabarinya.

[Mas, A Rafi sama A tari lagi BMW ke rumah. Tapi Ayra takut kalau Ibu marah-marah gimana]

Segera setelah mengirimkan pesan, aku keluar dan mencari Ibu Mertuaku, aku harus mengatakan ini padanya. 

"Bu," panggilku ragu, Ibu yang sedang fokus menonton TV menoleh sebentar padaku, lalu kembali fokus pada layar TV. 

"Apa? mau izin keluar? Nggak boleh! Cucian banyak kalau hujan siapa yang angkat." Ibu menjawab dengan nada yang sangat tak enak didengar. 

"Bukan Bu, hari ini ada A Rafi sama Istrinya mau mampir kesini," jawabku lemah, Ibu tampak acuh sambil mengambil makanan ringan yang berada di meja di hadapannya. 

"Ya, terus kalau datang kenapa? Namanya tamu jauh layani aja dengan baik," jawabnya, aku merasa sedikit tenang dan tersenyum.

"Oh ya, minumnya nanti panasin aja Teh kemarin yang saya simpan dalam kulkas, terus ada pisang goreng dalam lemari, itu aja angetin pakai minyak bekas kemaren," lanjutnya datar. 

Jleb, langsung ingin tumpah air mataku, ketika keluargaku yang datang dari jauh harus disuguhkan Teh dan Pisang goreng sisa kemarin, padahal jika pun harus memberikan yang baru tak mungkin juga merugikan Ibu, karena semua yang dibeli di rumah ini dari gaji suamiku.

Aku berlalu menuju kamar dan mengambil HP ku, ternyata ada balasan dari Mas Azka.

[Alhamdulillah, Insyaa Allah mas pulang cepat hari ini. Nanti Mas belikan cemilan ya Dek, kalau ibu nyuruh angetin makanan dan minuman kemaren jangan dituruti, bikin aja yang baru]

Aku tersenyum membaca pesannya, Mas Azka memang selalu tau apa yang aku risaukan. Sebelum aku mengatakan semuanya, ia selalu sudah memberikan jawaban. 

-Ting

Bunyi notif pesan masuk lagi, ternyata dari A Rafi. 

[Dek, mungkin Aa entar sore baru mampir sebelum pulang ya. Soalnya sekarang Aa mau temenin Kak Tari dulu ke kondangan temennya dan ada sedikit urusan juga. Oh ya, kamu ada yang mau di titip gak?]

Sudah menikah pun kakak dan kakak iparku masih sangat memperhatikanku. Entah kenapa keluarga suamiku tak memperlakukanku dengan hal yang sama.

[Emh, gak usah A, Ayra lagi nggak pengen apa-apa. Fii amanillah ya A, Ayra tunggu di rumah]

Aku kembali mencharge Hp Ku dan keluar kamar untuk mengambil cucian yang sepertinya sudah mulai kering, aku harus bisa membuat Ibu Mertuaku senang agar Ia tak memperlihatkan ketidak sukaannya padaku saat ada keluargaku nanti. 

***

Mas Azka menepati janjinya, hari ini dia pulang cepat, ia membawa Martabak asin dan manis untuk keluargaku yang datang, dia membawa 2 bungkus. Sengaja di pisahnya bungkusan agar tak membuat keluarganya banyak omong.

Tak lama berselang, A Rafi dan Kak Tari datang. Ku cium tangan mereka satu persatu dan memeluk mereka bergantian, kupersilahkan mereka masuk dan ku suguhkan teh manis serta martabak yang dibeli oleh suamiku tadi, kami mengobrol banyak hal. 

"Ibumu mana Ka, kok gak keliatan? Sehatkan?" tanya A Rafi, sembari sesekali melirik ke arah pintu tengah. Aku mulai merasa tak enak, karena memang Ibu tak ada keluar kamar semenjak kedatangan A Rafi dan Istrinya. 

**

Teringat saat kepulangan Mas Azka tadi, Ibu melihat Mas Azka membawa dua bungkusan Martabak. 

"Kalau ada tamu dari keluarga Istrinya baru beli makanan enak. Kalau nggak ada, biar kering dapur gak akan belanja." Ibu nyeletuk dengan kasarnya, padahal selama ini apapun makanan yang ada di dapur semua dari uang Mas Azka. 

"Tapi kan semua kebutuhan di rumah sudah terpenuhi Bu, keluarga Ayra juga nggak tiap hari datang ke rumah kita," jawab Mas Azka halus, ia memberikan bungkusan martabak padaku, dan langsung menuju kamar kami. 

"Rumah kita? Ini rumah saya! Kalian cuma numpang disini, jadi nggak usah sok-sokan menganggap ini rumah kalian," jawab Ibu yang sengaja menyaringkan suaranya karena Mas Azka sudah tak menanggapinya. 

"Rabb, entah terbuat dari apa hati suamiku yang begitu sabar menghadapi kebencian dari Ibu angkatnya ini." aku membatin dengan lirih. 

Ku pisahkan dua piring martabak untuk tamu dan untuk orang rumah lalu memasukkannya ke dalam tudung saji. 

**

"Dek?" Panggilan A Rafi membuyarkan lamunanku, aku hanya tersenyum. 

"Ibu lagi kurang enak badan A, lagi istirahat di kamarnya," jawabku lembut, aku terpaksa berbohong, namun ternyata Ibu keluar dengan setelan kondangannya. Aku hanya mampu beristighfar dalam hati. 

"Saya ada urusan, permisi ya!" ucap Ibu kemudian berlalu pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun pada kami. 

Terlihat wajah tak enak dari Mas Azka. Aku menatap sedih pada A Rafi dan Kak Tari, sepertinya mereka mengerti kegelisahanku. 

"Kamu udah berapa bulan Dek?" Kak Tari mengalihkan pembicaraan menghilangkan kecanggungan di antara kami. 

"Jalan empat bulan A,"jawabku sembari tersenyum padanya. 

"Alhamdulillah, nggak mabok Dek?" tanya A Rafi menimpali. 

"Alhamdulillah nggak ada mabok sama sekali A, malah Ayra ngerasa kuat banget," jawabku bersemangat, kami lalu melanjutkan obrolan. Tanpa terasa hari semakin sore, A Rafi dan Kak Tari berpamitan pulang, saat memelukku Kak Tari berbisik. 

"Kalau ada masalah telepon Kakak, cerita sama Kakak ya! Jangan dipendam sendiri, oke?" Aku mengangguk dan merasakan air mataku akan tumpah, tapi berusaha sekuat mungkin untuk menahannya. 

Aku melambai pada mereka berdua setelah menitip salam untuk orang tuaku. Tak terasa mereka sudah menghilang bersama dengan taksi yang mereka tumpangi. 

"Jangan sedih dong Sayang, mau jalan gak? Kita liat rumah kita yuk?" Mas Azka membuatku kembali tersenyum, aku mengangguk dan segera berganti pakaian. Kami pun pergi dengan mengendarai motor Mas Azka.

"Sejuknya udara sore ini, terlebih lagi jalannya dengan lelaki yang amat sangat kucintai, sesulit apa pun Ayra janji akan selalu ada di samping Mas Azka, Ayra nggak akan biarin Mas Azka ngejalanin semua rasa sakit dan sulit hidup ini sendiri," janjiku dalam hati sembari tersenyum ke arah spion motor yang selalu mengarah langsung ke wajahku. 

"Begitulah romantisnya Suamiku, Mas Azka Rayhan Afif" ucapku bangga dalam hati. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status