"Nih, uang belanja hari ini. Jangan boros-boros, harus pintar mengatur keuangan kau, Janah! " ucap suamiku, sambil melempar satu lembar uang berwarna hijau.
Apa tidak salah dengar, aku? suamiku memintaku harus pandai mengatur uang, yang jumlahnya saja tidak seberapa. Mana beras habis, nasi tidak ada, apanya yang boros? dasar lelaki, seenaknya saja jika bicara."Bu Ida, beli berasnya satu kilo, telur 2 butir, sama minyak goreng kemasan gelasnya satu, ya!"Aku mengambil uang 20ribu, yang tadi Bang Herman lemparkan, padaku. Lalu dengan segera aku belanjakan, karena takut jika uangnya kembali diminta oleh Suamiku yang gila judi itu."Gak ngutangkan, Janah?"Bukannya mengambilkan pesananku, Bu Ida malah bertanya padaku untuk memastikan kalau aku tidak berhutang kali ini."Tenang saja, Bu Ida! saya bayar kontan. Nih uangnya, pas 20 ribu kan, semua belanjaannya?" sahutku, sambil menyodorkan uang lusuh yang tadi diberikan, Bang Herman."Nah, gitu dong. Kalau belanja tuh sekalian bawa duitnya, jangan bisanya ngutang mulu, bisa bangkrut aku nanti, kalau kau hutangi terus, Janah!" gerutu Bu Ida, tambah membuatku kesal saja."Iya, Bu Ida. Kalau ada uang mah mana mungkinlah saya ngutang. Kecuali kalau lagi bokek, ya apa mau dikata, biar ngutang juga yang pentingkan dibayar," sungutku.Lalu segera aku pergi dari warung itu, dari pada bikin hati tambah gondok, yang akhirnya membuatku bertengkar seperti biasa dengannya.Ku masak beras yang tadi ku beli, lalu kugoreng dua buah telur itu menjadi telur mata sapi, satu untukku dan satu untuk Bang Herman, suamiku.Kusimpan lauk itu di atas meja, lalu kututup pakai kain serbet lusuh, agar tidak dihinggapi lalat saat kutinggal pergi nanti.Karena hari sudah siang, aku bergegas berangkat untuk bekerja tanpa sempat sarapan sama sekali.Aku, bekerja di desa tetangga sebagai tukang cuci gosok. Lumayan hasilnya bisa untuk menyambung hidup, walau hanya cukup untuk sekedar membeli lauk makan sehari-hari.Menjelang Sore, aku pulang. Membayangkan makan dengan lauk telur mata sapi yang tadi kugoreng, ah rasanya enak sekali, sudah terbayang di pikiranku nikmatnya makanan itu."Bang, mana telurnya, kok habis? " tanyaku, sesaat setelah sampai di rumah dan melihat tutup serbet sudah tersingkir dari tempatnya."Sudah habis, ku makanlah. Kau pikir, aku kenyang hanya dengan satu telur mata sapi itu! Lagian, kenapa kamu hanya beli telur, Janah, tak adakah daging atau ikan, yang bisa kau masak! Bosan kali rasanya aku, kau kasih makan-makanan tak bermutu setiap hari, manalah ada tenaga untukku bekerja kalau begitu!"Tanpa berpikir, dengan seenaknya, Bang Herman berkata seperti itu padaku. Seolah uang belanja yang diberikannya, sangat banyak saja."Bagaimana aku mau membeli daging atau ikan, Bang? sedangkan uang yang kau berikan padaku tadi pagi saja hanya 20 ribu, itu pun kubelikan beras, minyak goreng, sama telur yang Kamu makan saja sudah pas-pasan.Masih untung aku tidak kembali berhutang di warung, Bu Ida. Sekarang, dengan seenaknya kamu bilang seperti itu, padaku? aku juga lelah, Bang! Aku juga kerja keras, bukan hanya tidur-tiduran atau main hp saja di rumah!Aku, kerja dari pagi tanpa sempat mengisi perutku sama sekali, aku cape kerja, pulang ke rumah dalam keadaan lapar, Bang! Lalu apa ini? Kau bahkan tidak ingat sama sekali, padaku. Keterlaluan Kamu, Bang!" cecarku kepada, Bang Herman. Aku keluarkan semua unek-unek yang sudah menggunung dalam dada."Cerewet sekali kau, Janah! Makan sajalah itu nasi kan ada, bisa kau bikin nasi goreng putih saja, kenyang Lah perut kau!"Enteng sekali, Bang Herman bicara. Kalau aku balikan padanya, pasti ngamuklah Dia macam singa lapar, tak habis pikir aku, kenapa aku dulu mau menikah dengannya?Akhirnya, dengan terpaksa karena rasa lapar yang begitu menyiksa, aku menggoreng nasi putih yang ada dengan hanya memakai bumbu seadanya, mau marah pun percuma rasanya, lelah hati ini sudah terlalu sering dibuatnya."Janah, aku ada proyek 2 hari di desa sebelah, jadi tak usah kau tunggu aku pulang, ya," ucap Bang Herman, setelah selesai makan lalu menghabiskan sebatang rokoknya."Proyek apa, Bang? lalu, bagaimana dengan uang untuk kebutuhanku?" sahutku, sambil menengadahkan tanganku padanya."Kau kan kerja, Janah. Pakailah uangmu dulu untuk membeli kebutuhan sehari-hari, jangan kau pelit dan perhitungan! Toh sama saja bukan." Dengan entengnya, Bang Herman berbicara seperti itu padaku."Tapi, Bang, gajiku minggu ini sudah habis, untuk membayar kasbon kepada majikanku, ""Ya sudah, Kamu tinggal kasbon saja lagi nanti, ya! Aku berangkat dulu, jangan lupa nanti, seperti biasa Kamu ke rumah Ibuku, Janah. Bantu Dia, di rumahnya!" Bukannya memberikan uang belanja, Bang Herman malah menyuruhku untuk membantu Ibunya di rumah, dasar menyebalkan."Assalamualaikum, "ku ucap salam begitu sampai di rumah mertua. Walaupun sebetulnya malas jika harus ke rumah mertua, tapi apa boleh buat karena itu adalah perintah suamiku yang harus ku turuti."Waalaikumsalam. Eh kamu, Janah ayok masuk!" Ayah mertua memintaku untuk masuk, setelah tadi Ia menjawab salam dan membukakan pintu."Ibu mana, Pak?" tanyaku, sambil celingukan kedalam rumah, mencari Ibu mertua."Tuh di kamar lagi sakit, Dia," jawab ayah mertua. Kulihat Dia terus memandangku sampai tidak berkedip. Risih rasanya diperhatikan seperti itu, apalagi oleh Ayah mertua sendiri.'Apa tidak ada pekerjaan lain, selain menatapku dengan tatapan yang sungguh menjijikkan seperti itu?' batinku, sesaat setelah beradu pandang dengan ayah mertuaku.Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m
Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada
Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke
Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya
"Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami
Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah