“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas.
Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja? Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak." Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu." Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?" Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.” "Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif saja. Kalau aku jelas mengantar Karin ke dokter, lalu kamu kenapa di rumah sakit?" Rania menatap lekat manik mata suaminya. Haruskah dia mengatakan kalau baru saja kehilangan calon bayi karena tadi jatuh? Ah, Rania sedang malas membicarakan hal itu pada suami yang egois. Lalu, haruskah Rania berteriak mengingatkan kalau tadi dia jatuh dan sudah mengeluh kesakitan, tapi tidak ditanggapi suaminya? Mungkinkah pikiran Krisna sudah tertutup Karin, sampai lupa kejadian tadi? Akhh! Rania semakin dibuat geram. "Menurut Mas, aku di rumah sakit ini sedang apa? Membuntuti kalian? Mungkin juga jalan-jalan dan sekarang aku sudah lelah mau pulang. Mas Krisna jangan menghalangiku lagi. Silahkan kembali mengurusi rekan kerjamu itu, karena aku tidak mau dituduh menghalangi pekerjaan suami yang sedang meeting." Krisna mengerutkan kening. “Haish, kamu memang sulit dikasih tahu. Tunggu sebentar di sini. Aku akan antar Karin dulu, setelah itu kembali kemari menjemputmu.” Rania menatap Karin yang malah tenang bermain ponsel. Dia semakin jengkel. Rania cepat menggeleng dengan senyum kecut. “Aku bisa pulang sendiri, Mas. Kamu antar Karin saja, tidak perlu mengkhawatirkanku. Kasihan dia kalau pingsan di jalan.” Krisna tampak ragu melihat wajah pucat istrinya, apalagi jelas tadi melihat cara berjalan Rania yang sangat pelan. Matanya bergantian melihat ke Rania dan Karin. “Aku harus memastikan kamu pulang dengan aman, Ran. Jangan membantah lagi. Hanya tunggu sebentar saja, apa susahnya?” Krisna sedikit menyentak. Sungguh! Apa Krisna tidak tahu bagaimana cara menjaga perasaan seorang istri? Atau hatinya sedang buta hingga tidak bisa membedakan mana orang lain dan mana istrinya? Atau Krisna dan Karin memang ada something. “Mas nggak perlu repot-repot. Aku lebih suka pulang sendiri dari pada harus antri jadi yang kedua. Lagi pula sudah sedari tadi Mas meninggalkanku.” "Ran-" Belum sempat Krisna menanggapi, ternyata Karin sudah berdiri di dekat mereka, wajahnya tampak sendu. Cara berdirinya pun tampak lemas. Karin memegang satu pelipisnya. “Kris, aku bisa pulang sendiri. Lebih baik kamu antarkan istrimu pulang saja. Makasih kamu udah mau antar ke rumah sakit. Kali ini kamu nggak usah kaya biasanya temani di hotel.” Deg! Lembut, tapi menusuk. Ya, belati di balik lidah Karin berhasil menusuk tepat di hati Rania. Sakit ... sekali. Rania tetap berusaha tersenyum meski tipis, dia tidak mau terlihat lemah di depan Karin. “Karin, aku tidak izinkanmu pulang sendirian. Kondisimu belum stabil.” "Tapi, istrimu-" Karin menatap sendu Rania. "Istriku baik-baik saja, sedang kamu sakit dan harus ada yang mengawasi." Rania tersenyum getir. Disaat Krisna bicara pada Karin, tanpa sepatah kata pun Rania mulai melangkah pergi. Langkahnya pelan lemah, tapi dia terus berjalan tanpa menoleh. “Rania!” Krisna memanggil, tapi Rania sama sekali tak menoleh, padahal wanita itu mendengar. Krisna terjebak dilema. Satu kaki Krisna bergerak melangkah ingin menyusul istrinya. "Akh! Kris, aku pusing lagi." Karin mulai mengeluh kesakitan lagi. --- Sementara Rania telah sampai di depan rumah sakit dan menunggu taksi pesanan. "Ya, kok dibatalkan?" Dikala hatinya sesak dan ingin cepat pergi dari tempat itu, malah ada ada aja yang menimpa Rania. Sekian menit menunggu taksi pesanan, malah dibatalkan. Rania mengusap cairan bening yang setetes demi setetes menembus pertahanannya. "Rania!" Saat Rania hampir menekan tombol pesan, dia menoleh pada siapa pria yang tak jauh dari tempat berdirinya. Senyum Rania melebar. "Indra?" "Lagi ngapain di sini sendirian? Butuh tumpangan?" Rania terdiam sesaat. Lalu mengangguk. "Boleh. Kamu bawa mobil?" "Tunggu sebentar." Tak lama sebuah mobil hitam berhenti di depan Rania. -- Di sisi sana. Mata Krisna menegang bulat melihat istrinya masuk dengan dibukakan pintu oleh pria asing. "Rania!" gumamnya dengan rahang mengerat.Dalam hitungan menit, Krisna sudah membawa Rania dalam mobil dan siap ke rumah sakit terdekat.Sepanjang perjalanan, Krisna menggenggam tangan istrinya erat. Wajahnya tegang.Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung ditangani cepat. Krisna memayao dokter. "Bagaimana kondisi istri saya, Dok? Ada apa? Apa ada yang serius?"Dokter tersenyum tenang. "Tenang, Pak. Istri Bapak sehat. Dan ... selamat. Istri Anda hamil. Untuk lebih lanjutnya silakan ke dokter obgyn."Krisna terdiam. Mulutnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar. Seolah otaknya butuh waktu untuk mencernanya. Lalu perlahan, wajahnya berubah. Mata melebar. Rania tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia diam memegang perutnya. Tanpa suara air matanya menetes begitu saja. Akhirnya dia bisa hamil lagi."Hamil?" Jantungnya berdetak sangat kencang. Akhirnya, yang dia tunggu tiba juga.Dokter mengangguk. "Tidak perlu terlalu khawatir soal mual pagi. Itu wajar. Tapi harus banyak istirahat."Setelah kepergian dokter."Aku hamil, Ma
"Nggak ada toleransi lagi. Ayah sudah lelah melihat tingkahmu tiap hari. Emangnya ayah nggak tahu apa yang kamu lakukan selama ini di luar. Pamitnya cari kerjaan tapi kamu cuma nongkrong sama teman yang biasanya. Mau jadi apa kamu kalau terus kayak gini.""Aku tahu Ayah membenci anakmu ini. Tapi setidaknya jangan menyiksa anak dengan menikahkan sama pria kampungan. Mau ditaruh di mana mukaku ini, Yah!" teriak Winda."Ayah nggak peduli. Kamu nikah sama pria pilihan ayah atau kamu urus hidupmu sendiri sana.""Mas, jangan keterlaluan!"Agung tidak mendengarkan lagi protes istri dan anaknya.Rania dan Krisna yang kebetulan berkunjung, saling berpandangan. Saat mereka masuk rumah langsung disuguhi perdebatan itu."Mbak Winda, tenanglah. Ayah punya alasan sendiri melakukan hal itu. Lagi pula apa salahnya menikah dengan pria dari kampung, tapi bertanggung jawab. Dan tidak semua pria dari kampung itu miskin dan kumal." Rania menyembunyikan senyum tipisnya."Aku nggak butuh nasihatmu, Rania! I
Belum sampai Krisna menjawab, dua polisi datang. Satu dari mereka mengeluarkan berkas sambil menatap langsung ke arah Ane."Saudari Ane. Kami dari kepolisian. Berdasarkan laporan dan bukti yang sudah kami terima, Anda kami tetapkan sebagai tersangka dalam beberapa tindak pidana."Ane melangkah mundur, panik. "Apa-apaan ini?"Veni langsung gelisah takut."Anda diduga terlibat dalam upaya penganiayaan berencana terhadap saudari Rania, termasuk insiden keguguran yang terjadi akibat racikan obat yang Anda kirim melalui perantara. Anda juga terlibat dalam upaya penculikan secara tidak langsung dengan menjebak korban ke hotel. Malam ini, Anda juga mencoba menjebak suami korban, pak Krisna dalam upaya pencemaran nama baik."Polisi lainnya mengambil borgol dari pinggang."Saudari Ane, Anda berhak didampingi pengacara. Tapi malam ini, Anda kami tangkap dan akan dibawa ke kantor kepolisian untuk pemeriksaan lanjutan. Kami mohon kerja sama Anda."Ane berontak. "Kalian semua gila! Ini jebakan!
Krisna bersandar sambil memegang keningnya, memejamkan mata, seperti halnya orang ngantuk dan lemas. Kepalanya pelan tertunduk di sofa empuk.Tak butuh waktu lama, suara langkah pelan masuk ke ruangan. Dia Veni dan Ane."Kena sekarang. Lakukan tugasmu selanjutnya, Veni.""Siap. Aku senang melakukannya."Ane tersenyum sinis berdiri menatap Krisna yang tergeletak.Lalu, ada seseorang lagi yang masuk dan memindahkan Krisna ke atas ranjang. Ane keluar dan menyerahkan sisanya pada Veni. Dia akan mengawasi dari luar.Kini, Veni itu mendekat, makin mendekat. Langkah heels nya nyaris tak terdengar.Tubuh Krisna yang tampak tertidur membuat Veni makin percaya diri. Dia duduk di sisi ranjang, tangannya mulai meraih kerah jas Krisna, lalu bersiap berbaring ke ranjang di sisi Krisna.Baru satu sentuhan, lengan Krisna langsung menangkap pergelangan tangannya."Aku tidak suka disentuh oleh wanita murahan.""Kamu-" Veni terperangah, langsung bangkit dan mundur dua langkah. Matanya membelalak meliha
"Aku nggak akan macam-macam. Aku cuma pengen pastikan kamu aman sampai rumah. Krisna nggak bisa dihubungi kan?"Rania menggigit bibir. Jawaban itu tepat sasaran. Krisna memang belum membalas pesan, belum juga mengangkat telepon. Hatinya makin tidak tenang.Dan kenapa Adrian bisa tahu? Semua makin janggal di hatinya."Tolong jangan buat situasi makin rumit, Drian.""Percaya sama aku sekali ini aja. Aku cuma pengen kamu selamat. Nggak lebih."Rania terdiam. Lalu membuka ponsel. Mengetik pesan singkat ke suaminya. [Aku bareng Adrian. Ban mobilku kempes, Mas. Dan ke mana orang-orangmu saat ini? Kenapa semuanya hilang?]Terkirim. Tapi belum dibaca."Jadi ikut denganku, kan?"Rania menatap Adrian sesaat lalu mengangguk pelan.Adrian mendekat dan memayungi tubuh Rania. Mereka berjalan pelan menuju mobil. Langkah kaki berirama dengan gemuruh hujan.Rania hanya diam, kaku. Jarak tubuh mereka dekat, tapi rasa asing membentang seperti jurang tak kasatmata.Saat hampir sampai mobil, sepatu Rania
"Restoran sepi bingung, giliran ramai juga bingung. Kamu maunya apa, Jeng," ucap Indra sambil mendecih."Maunya kamu mingkem, Dra. Biar aku bisa fokus pakai indra ke sebelas. Ada yang nggak wajar sama semua ini soalnya."Rania menatap sekeliling. "Itu juga yang bikin aku bingung. Review restoran ini sebelumnya jelek banget. Dan usaha perbaikan baru saja dimulai. Tapi sekarang? Tiba-tiba banyak orang makan sambil selfie."Indra menyikut lengan Ajeng pelan. "Fix. Ini settingan Adrian, temanku yang terlalu tulus dan baik hati dan nggak nuntut balesan. Pasti pelanggan bayaran. Nih orang terlalu niat."Ajeng mengangguk cepat. "Yakin, Adrian. Bisa jadi Kang Mas Krisna. Kan dia udah jadi sweet banget sekarang."Indra mendesis. "Kamu tim Krisna sekarang? Aku tim Adrian."Lalu, Ajeng menoleh pada Rania. "Gila sih kalau semua ini emang hasil karya suamimu. Dia keren, Ran. Maksud aku, suami kamu tuh bukan tipe asal janji. Dia kerjain semua dengan detail. Meski nyebelin, tapi tobatnya beneran."I