Home / Young Adult / Rayuan Maut Dokter Cantikku / Kejadian Di Ruang Terapi

Share

Kejadian Di Ruang Terapi

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-11-06 21:02:02

Kananta tersentak, keringat dingin keluar di keningnya. “Dokter aku harus siap mental dulu?”

“Sangat. Tapi waktu sudah habis.”

Dia merinding sampai badan gemetar. “Apakah aku akan selamat dari terapi ini?”

Zinia tersenyum tipis—senyum yang bikin hati berdebar lebih kencang, seperti ada getaran listrik di udara. “Tergantung seberapa patuh kau sebagai pasienku.”

Kananta berdiri tegak meskipun tulang belakangnya kaku. “Baik dokter.”

“Mulai hari ini, Kan .…” Ia menepuk dadanya dengan pulpen yang ada di tangannya—sentuhan itu ringan tapi bikin dada berdebar kencang, seolah mau melompat keluar dari tulang rusuk. “Kau milikku sebagai proyek penelitian.”

Kananta hanya bisa membuka mulutnya, mata bengkak dengan kaget: “Apa?”

Dia menatap Zinia dengan harap yang membanjiri. "Benarkah? Bagaimana caranya ….” Bagian dalam dirinya berteriak “Jangan terlalu percaya! Jangan terlalu percaya!”—Zinia terlalu misterius, terlalu sulit ditebak. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, ia justru semakin tersesat di dalam labirin pikirannya.

"Asalkan kau menurut padaku sampai akhir," ujar Zinia dengan nada yang menghipnotis.

"Aku jamin kau akan sembuh. Kau akan membuat Maya menyesal sampai menangis karena pernah meremehkannya."

Kata-kata itu membakar semangat Kananta seperti api di padang gurun. Ia ingin membuktikan dirinya, ingin melihat penyesalan di mata wanita yang telah menghancurkan harga dirinya selama tujuh tahun. Meskipun harga yang harus dibayar terasa terlalu mahal—seolah ia menjual sebagian dirinya untuk kesembuhan.

Zinia mendekat pelan-pelan, langkahnya ringan. “Suntik testosteron ini hanya langkah awal. Tujuannya untuk menstimulasi produksi hormon alami tubuhmu, agar vitalitasmu kembali.”

Kananta langsung memegang bagian celananya yang sensitif, dada terengah-engah. Si kesayangan yang disuntik? Tidak mungkin! Itu pasti sakit banget!

Zinia menggeleng, tersenyum geli sambil menggigit bibir bawahnya. “Bukan itu yang disuntik, bodoh!” suaranya sedikit jengkel tapi lucu.

“Bukankah kalau sakit gigi, bukan giginya yang disuntik? Suntikan ini diberikan di otot lengan atau paha aja, agar hormonnya diserap baik oleh tubuh.”

"Tapi waktu sunat juga milikku yang disuntik!" protes Kananta dengan wajah polos. "Sakitnya seperti digigit semut … tapi semutnya sebesar gajah! Mau nangis tapi malu!"

Zinia tertawa, napasnya hangat menyentuh pipi Kananta yang memerah. “Itu beda, Kan. Sunat adalah prosedur beda. Ini cuma suntik biasa—hanya sedikit sakit, kayak digigit semut yang bener-bener kecil.”

Dia menjelaskan efek samping sebentar—sesuai, mual, atau pegal di tempat suntik—lalu meminta Kananta berbaring di ranjang pemeriksaan. Ia mengambil kapas alkohol, membersihkan lengan kanan Kananta—sentuhan dinginnya bikin dia merinding sepanjang tulang punggung. Lalu, dia mengangkat jarum suntik.

Kananta menutup mata sebentar, menahan napas. Saat jarum menyentuh kulitnya, dia meringis sedikit, tapi segera membuka mata dan menatap Zinia.

Wajahnya, jika dilihat dari dekat, benar-benar cantik: bibir mungil yang merah, kulit putih bersih seperti kaca, dan mata gelap yang penuh misteri. Kananta, pikiran kotor apa ini?! Kamu disuntik, bikin fokus! dia marahi dirinya sendiri.

"Selesai," kata Zinia sekejap kemudian, menempelkan plester di bekas suntikan. "Sekarang cuma perlu bersabar dan menunggu hasilnya. Hormonnya butuh waktu untuk bekerja."

Kananta merasa lega, napasnya keluar dengan bebas. Selama tujuh tahun terakhir, harapannya sudah pupus satu per satu—mungkin ini yang terakhir, semangat baru untuk pulih dan membuktikan dirinya. “Terima kasih, Zinia. Aku sangat menghargai bantuanmu.”

"Sama-sama. Ini cuma pekerjaanku." Zinia mengambil beberapa lembar kertas dari mejanya, memberikannya ke Kananta. "Ini daftar perhatian setelah suntik. Baca baik-baik, jangan sampe lupa. Jangan minum alkohol, tidur cukup, dan hindari olahraga berat seminggu ini."

Kananta menerima kertas itu, membacanya dengan cermat. Setiap kata yang ditulis membuat tekadnya semakin kuat: Buktikan dan buat Maya menyesal seumur hidup!

"Satu lagi," Zinia menghentikan langkah Kananta yang hendak keluar dari ruangan. Suaranya jadi lebih serius. "Jangan berharap terlalu banyak, Kan. Suntik ini bukan jaminan kamu akan langsung sempurna. Hasilnya tergantung pada banyak faktor—terutama kesabaran dan kepatuhanmu."

Kananta mengangguk, matanya penuh keyakinan. "Aku mengerti, Zinia. Aku siap untuk berjuang. Sampai akhir."

"Bagus." Zinia tersenyum tipis. "Datang lagi dua minggu nanti untuk kontrol. Jangan terlambat, ya?"

Kananta mengangguk, lalu berbalik ke arah meja Zinia. “Eh, ponselku! Aku lupa bawa!”

Zinia berdiri dari kursinya, mengambil ponsel Kananta yang ada di mejanya. “Ini ya.”

Tapi karena terlalu bersemangat untuk pulang dan mulai latihan, Kananta melangkah terlalu cepat—dia tergelincir di lantai yang licin karena tumpahan air tadi. Dalam keadaan panik, ia berniat menggenggam tangan Zinia untuk menstabilkan diri … tapi justru menarik baju yang dikenakannya sampai sobek! dengan bunyi yang jelas terdengar.

Bra Zinia berwarna krem yang renda, yang hanya menutupi sebagian kecil payudara sintalnya, langsung terlihat menyembul. Kulitnya putih dan lembut, membuat mata Kananta langsung terpaku.

Napas Kananta tercekat, dada berdebar kencang sampai terasa sakit. Hasrat yang sudah terpendam selama ini membuncah tak terkendali. "Ya Tuhan," gumamnya pelan, matanya tak berkedip menelanjangi Zinia dengan liar.

Zinia terkejut, reflek memegang bagian kemejanya yang sobek.

Kananta tersentak, tersadar dari lamunannya. Ia panik, berusaha meminta maaf—tapi tangannya secara reflek terulur, berniat menutupi dada Zinia yang terbuka … tapi justru menyentuh langsung payudara wanita itu.

Kananta terkesiap, matanya membulat sempurna. Badannya sedikit bergetar.

"Ma-maaf! Aku tidak sengaja!" ucap Kananta tergagap, menarik tangannya dengan cepat. Tapi sentuhan itu sudah cukup—seperti percikan api yang membakar api dalam dirinya. Hasrat yang terpendam selama ini bangkit dengan kencang.

"Aku ... aku benar-benar minta maaf," ucapnya lagi, mendekat selangkah. Matanya terbakar seperti bara.

"Kamu ... kamu sangat cantik, Zinia."

Zinia tidak menjawab, tapi juga tidak menghindar. Ia hanya menatap Kananta dengan tatapan yang sama—mata gelapnya penuh misteri dan sesuatu yang lain sesuatu yang bikin Kananta merasa semakin tertantang, semakin ingin mendekati.

Tanpa sadar, dia melangkah lebih dekat, jarak antara mereka semakin sempit. Udara di ruangan menjadi panas dan kaku. "Zinia," panggilnya dengan suara yang pelan dan terengah-engah.

Ia hendak mendekat lagi, ingin mencium bibirnya yang merah itu—tapi tiba-tiba Zinia mengangkat tangan, menahan dadanya dengan kuat. Suaranya lembut tapi tegas.

"Kan … ini ruang pemeriksaan. Jangan lupa, kau adalah pasienku, dan aku adalah doktermu."

Tetapi senyum tipis di sudut bibirnya memberitahu hal yang berbeda. Lalu, dia menarik leher Kananta sampai mulutnya hampir menyentuh telinga—suaranya bisik yang menggoda dan bikin bulu kuduk berdiri.

"Tapi proyek penelitian juga perlu tes langsung, kan? Terutama untuk melihat apakah hormonmu sudah mulai bekerja biar aku cek sendiri seberapa ‘kuat’ kau sudah sekarang .…"

Dan tepat saat itu, pintu ruang pemeriksaan dibuka dengan keras, membuat suara bam! yang mengguncang.

"Sis Zin, audit internal udah mulai—"

Petugas itu langsung terhenti, mata membulat sampai seolah mau terlepas. Tapi yang lebih mengejutkan di belakangnya berdiri Maya, mantan istri Kananta, dengan senyum sombong yang membahayakan.

"Oh, ini yang namanya ‘terapi intensif’ yang kamu lakukan, Kananta?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Komite Sekolah

    Namun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.“Stop.”Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan.Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta.“Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?”Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?”Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua.“Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.”Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Ternyata Seorang CEO

    Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan. Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang! "Ayah!"Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi."Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu. Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu. "Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan. Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya t

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Terapi Sentuhan

    Kananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu. Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Kejadian Di Ruang Terapi

    Kananta tersentak, keringat dingin keluar di keningnya. “Dokter aku harus siap mental dulu?” “Sangat. Tapi waktu sudah habis.” Dia merinding sampai badan gemetar. “Apakah aku akan selamat dari terapi ini?” Zinia tersenyum tipis—senyum yang bikin hati berdebar lebih kencang, seperti ada getaran listrik di udara. “Tergantung seberapa patuh kau sebagai pasienku.” Kananta berdiri tegak meskipun tulang belakangnya kaku. “Baik dokter.” “Mulai hari ini, Kan .…” Ia menepuk dadanya dengan pulpen yang ada di tangannya—sentuhan itu ringan tapi bikin dada berdebar kencang, seolah mau melompat keluar dari tulang rusuk. “Kau milikku sebagai proyek penelitian.” Kananta hanya bisa membuka mulutnya, mata bengkak dengan kaget: “Apa?” Dia menatap Zinia dengan harap yang membanjiri. "Benarkah? Bagaimana caranya ….” Bagian dalam dirinya berteriak “Jangan terlalu percaya! Jangan terlalu percaya!”—Zinia terlalu misterius, terlalu sulit ditebak. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, ia justru semakin t

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Terapi Pertama

    Kananta keluar dari ruang pemeriksaan seperti orang yang habis disodok kenyataan pahit. Pintu menutup klik, dan semua kepala di ruang tunggu langsung menoleh ke arahnya.Termasuk kakek tadi—yang senyumnya lebarnya kayak baru menikah lima kali.“Gimana, Nak?” Kakek itu mencolek lengannya dengan jari yang kaku seperti kayu. “Dokternya hebat, kan?”Kananta menghela napas panjang. “Kalau saya jawab, saya tambah stres.”Kakek mengangguk dramatis. “Ah, berarti cocok.”Kananta melangkah cepat keluar sebelum ada yang minta testimoni.Begitu keluar klinik, ia langsung menatap langit.“Tuhan … kalau ini cara-Mu mendewasakanku, boleh nggak cari cara lain yang nggak memalukan?”Tidak ada jawaban. Hanya burung lewat sambil berak di kap mobilnya.“Serius, Tuhan? Bahkan burung pun ngetawain aku?”Ia masuk ke mobil, banting pintu, dan menghela napas panjang.Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suaranya sendiri mendengkus, “Aku nggak balik lagi. Titik.”Sampai rumah, baru buka sepatu bootnya yang be

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Pemeriksaan Mantan

    Kananta sudah pasrah ketika Zinia menunjuk kursi pemeriksaan sambil mengangkat dagu.“Duduk, Kananta. Kudengar ‘junior’-mu ngadat?”Kananta duduk. Kaku. Beku. Batu nisan pun lebih hidup dibanding dia.Zinia menyilangkan kaki—klik—stocking hitamnya memantul seperti cermin. Roknya pendek sekali, dokter mana yang lulus etik begini? Seolah dia sengaja beli rok di toko baju malam.“Itu rumor,” bantah Kananta cepat, bibirnya kaku.“Rumor?” Zinia nyengir tipis, mata menyipit seperti ular yang melihat mangsa. “Atau kau memang sudah nggak bisa memuaskan siapa pun? Apa senjatamu karatan sampe bisa dipajang di museum?”“Bukan urusanmu,” gumamnya, suara sekeras semut.“Tentu urusanku. Aku doktermu. Tugas dokter? Memastikan barang pasiennya masih layak edar. Kalau nggak, mending aku rekomendasikan ke toko spare part.”Kananta ingin menghilang jadi gas helium, terbang ke atap dan keluar dari klinik tanpa ada yang lihat.Zinia mendekat. Parfumnya menusuk hidung—dulu manis kayak permen, sekarang vers

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status