Share

Terapi Pertama

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-11-06 21:00:53

Kananta keluar dari ruang pemeriksaan seperti orang yang habis disodok kenyataan pahit. Pintu menutup klik, dan semua kepala di ruang tunggu langsung menoleh ke arahnya.

Termasuk kakek tadi—yang senyumnya lebarnya kayak baru menikah lima kali.

“Gimana, Nak?” Kakek itu mencolek lengannya dengan jari yang kaku seperti kayu. “Dokternya hebat, kan?”

Kananta menghela napas panjang. “Kalau saya jawab, saya tambah stres.”

Kakek mengangguk dramatis. “Ah, berarti cocok.”

Kananta melangkah cepat keluar sebelum ada yang minta testimoni.

Begitu keluar klinik, ia langsung menatap langit.

“Tuhan … kalau ini cara-Mu mendewasakanku, boleh nggak cari cara lain yang nggak memalukan?”

Tidak ada jawaban. Hanya burung lewat sambil berak di kap mobilnya.

“Serius, Tuhan? Bahkan burung pun ngetawain aku?”

Ia masuk ke mobil, banting pintu, dan menghela napas panjang.

Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suaranya sendiri mendengkus, “Aku nggak balik lagi. Titik.”

Sampai rumah, baru buka sepatu bootnya yang berat, ponselnya berbunyi ding! ding! ding!—notifikasi berdatangan seperti hujan batu. Yang paling kelihatan: Live I*******m: Maya Lifestyle.

Maya. Mantan istrinya ....

Kananta merasa jantungnya jadi bubur kocok, suhu badannya naik turun kayak termometer di musim hujan yang tidak menentu. Dia klik tombol itu tanpa berpikir. Dan langsung menyesal sampai mau copot jari yang ngklik.

Di layar, Maya duduk di sofa mewahnya, rambutnya tergeletak indah di bahunya, muka dihiasi riasan yang sempurna. Suaranya sok bijak, seolah dia orang paling benar di dunia.

“Sebagai perempuan,” katanya, mata menatap kamera dengan sentuhan sombong, “kepuasan batin itu PENTING banget. Masa iya suami cuma bisa tidur kayak babi setelah makan? Mau gimana? Pakai alat bantu? Ya nggak lah, memalukan banget buat diri perempuan!”

Penonton spam emot ketawa terbahak-bahak. Ada yang nulis “Hahaha kasian banget!” “Mana suaminya itu? Kurang berfungsi ya?”.

Kananta menggenggam hp sampai jari-jarinya kaku dan keringat. “Woi, kamu tuh manusia apa gunung kompor meledak Mulu!"

Maya lanjut, suaranya makin panas. “Dan selama tujuh tahun … untuk punya anak aja harus bayi tabung. Kasihan banget, kan? Kalau suaminya ya, kurang berfungsi. Seperti mesin yang udah usang, cuma bisa nyala tapi nggak bisa jalan.”

“Kurang berfungsi apanya?!” Kananta mendesis. “Aku multitasking bahkan—bisa masak, cuci, dan ngobrol bareng tetangga sekaligus!”

Ia menutup wajah dengan kedua tangan.

Maya masih tidak berhenti. “Pokoknya aku nggak mau lagi dibebani mental load dari suami yang yah … you know lah kurang pria. Kurang tegas. Kurang kuat.”

Kananta langsung mematikan live. Layar hitam. Tapi suara Maya masih bergema di telinganya.

Dia menarik napas dalam-dalam. Lalu, sesuatu muncul di benaknya: tatapan Zinia waktu pemeriksaan pertama. Tenang. Dingin. Seperti pisau bedah yang siap memotong ego seseorang tanpa anestesi, tapi dengan sentuhan yang lembut yang bikin bulu kuduk berdiri.

“Yah kalau cara terbaik buat bikin Maya tutup mulut adalah aku sembuh total sampai dia menyesal ngomong omong kosong itu .…”

Ia menegakkan punggung, meskipun jiwanya masih menjerit “Jangan deh, nggak mau!”.

“Ya udah. Aku ke klinik lagi!”

***

Dua minggu kemudian, ia sampai lagi di Klinik Andrologi. Tekadnya 99%.

Karena apesnya yang sudah jadi ciri khas, ia dapat nomor antrean terakhir.

“Nomor 99!”

Kananta mendesah seperti pensiunan pendekar yang udah ketinggalan zaman. Ia duduk di bangku tunggu, menunggu sambil melihat orang keluar masuk ruangan Zinia. Ada yang keluar sambil senyum lebar kayak menang lotre. Ada yang keluar sambil jalan miring kayak keseleo.

Kananta merinding sampai bulu kuduk berdiri. Baru ia ingin menenangkan diri dengan ngeliat berita di hp, tiba-tiba lihat seorang pria datang—berbaju jas hitam mahal, rambut disisir rapi—dikelilingi empat wanita cantik yang semuanya pakai baju rapi dan seolah selalu siap melayani.

Semua manggil dia “Sayang”.

Kananta hampir batuk darah. “Astaga … poligami live action di klinik andrologi? Ini apa, acara temu tamu keluarga besar yang butuh perbaikan?”

Ia melirik ke kakek yang tadi juga masih ada, lagi ngemut permen mint mentah. “Kek … itu siapa ya orangnya?”

“Ah itu. Dia punya empat istri.” Kakek ngemut permennya dengan riang.

“Empat?! Empat?! Empat—” Kananta terkejut sampai mulut terbuka lebar.

Kakek mengangguk seperti itu hal biasa. “Tapi vitalitasnya rusak parah. Makanya dia ke sini buat diperbaiki.”

Kananta menatap pria itu dengan rasa iba. “Nah itu karma. Banyak istri tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Seperti punya mobil mahal tapi nggak ada bensin.”

Lalu ia mengingat dirinya sendiri. “Saya cuma satu istri aja kabur … karena salah paham. Hidup memang pengarang cerita paling kejam di dunia.”

Akhirnya, roll panggilan berbunyi dengan suara yang keras: “Bapak Kananta Maherza, silakan ke ruang dua!”

Ia menelan ludah yang kental. “Ya Tuhan … selamatkan aku dari wanita berkacamata itu yang bikin aku malu malu kucing!”

Kananta buka pintu ruang dua dan langsung tercengang sampai lupa nafas.

Zinia tidak memakai jas putih yang biasa.

Ia memakai gaun merah selutut yang menyoroti bentuk pinggangnya yang ramping dan punggungnya yang lurus. Rambutnya disanggul rapi dengan sehelai rambut tergelincir di pipinya yang merona. Kacamata tipis bikin matanya terlihat lebih tajam, seperti bisa melihat ke dalam jiwa. Ekspresinya? Tidak ada di kurikulum kedokteran manapun. Senyum sedikit. Bahaya banyak. Seperti ular yang cantik tapi berbisa yang siap melompat.

“Selamat datang kembali, Kananta,” katanya dengan suaranya yang lembut tapi menusuk seperti jarum yang menancap ke hati.

Kananta menelan ludah lagi. “Dokter … kok pakai gaun? Bukan seharusnya jas putih?”

“Ada audit internal hari ini.” Zinia duduk di kursinya dengan gerakan lembut tapi pasti, seperti raja yang menduduki takhta. “Harus tampil rapi dan profesional.”

“Rapi? Itu bukan rapi itu mematikan iman eh—rapi sekali! Maksud saya rapi banget, profesional banget!” Kananta terengah-engah, mata tidak berani menatap terlalu lama—khawatir kepegalan atau kebingungan.

Zinia mengangkat alisnya yang tebal. “Baiklah.” Ia menautkan jari-jarinya yang cantik, tatapannya menusuk sampai Kananta merasa dilucuti secara emosional.

“Kau datang lebih cepat dari jadwalku. Karena live mantanmu itu, ya?”

Kananta langsung kaget. “Kok dokter tahu?”

Zinia menunjuk ponselnya yang ada di mejanya. “Aku dokter, tapi masih punya I*******m lho. Bukan hantu yang nggak tahu apa-apa.”

“Oh.”

“Sampai masuk FYP-ku tujuh kali. Semua temanku juga ngirim ke aku. ‘Zin, lihat ini, pria yang kemarin ke klinikmu! Trending loh!’”

Kananta menutup muka dengan kedua tangan. “Tuhan … kenapa aku trending dengan cara yang paling memalukan di dunia?! Bukannya karena pintar atau kaya, tapi karena masalah itu!”

Zinia berdiri, melangkah mendekat.

“Jadi kau kembali karena ingin membungkam Maya,” katanya.

“Ya .…”

“Itu tujuanmu yang sebenarnya?”

Zinia berdiri tepat di depannya, matanya menatap mata Kananta dari jarak berbahaya. “Baiklah,” katanya. “Aku akan memulihkanmu.”

Kananta menatapnya dengan harapan sekaligus ketakutan yang besar. “Dengan cara apa, dokter?”

Zinia tersenyum—senyumnya bikin bulu kuduk Kananta berdiri lagi. “Terapi intensif.”

“Intensif … se-intensif apa?”

Zinia menunduk sedikit, “Intens sampai kau bertanya-tanya … kenapa dulu kita putus.”

Kananta tersentak, badannya terlonjak sedikit. “Hah?!”

Zinia menepuk bahunya dengan jari yang lembut—sentuhan itu bikin kulitnya merinding. “Mulai hari ini, aku yang bertanggung jawab atas … masa depan kejantanamu.”

“Tanggung jawab yang besar sekali kedengarannya.”

“Ya. Karena kasusmu unik.”

Kananta bingung. “Unik bagaimana? Kronis? Langka? Seperti penyakit langka di film?”

Zinia mendekat lagi, mulutnya sampai di telinga Kananta—suaranya bisik yang menggoda dan bikin bulu kuduk berdiri: “Kasus: pria yang terlalu baik sampai hilang wibawa. Seperti pisau yang terlalu landai sampai nggak bisa memotong apa-apa. Bahkan buah apel pun susah.”

Kananta terpukul batinnya. “Dokter … itu diagnosis atau hinaan?”

“Studi ilmiah. Aku nggak bohong.” Zinia mengambil sarung tangan dari mejanya, lalu menarik Kananta dengan ceklek yang pasti. “Sekarang berdiri.”

“Buat apa?”

“Terapi pertama. Mulai sekarang ....”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Komite Sekolah

    Namun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.“Stop.”Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan.Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta.“Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?”Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?”Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua.“Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.”Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Ternyata Seorang CEO

    Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan. Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang! "Ayah!"Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi."Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu. Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu. "Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan. Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya t

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Terapi Sentuhan

    Kananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu. Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Kejadian Di Ruang Terapi

    Kananta tersentak, keringat dingin keluar di keningnya. “Dokter aku harus siap mental dulu?” “Sangat. Tapi waktu sudah habis.” Dia merinding sampai badan gemetar. “Apakah aku akan selamat dari terapi ini?” Zinia tersenyum tipis—senyum yang bikin hati berdebar lebih kencang, seperti ada getaran listrik di udara. “Tergantung seberapa patuh kau sebagai pasienku.” Kananta berdiri tegak meskipun tulang belakangnya kaku. “Baik dokter.” “Mulai hari ini, Kan .…” Ia menepuk dadanya dengan pulpen yang ada di tangannya—sentuhan itu ringan tapi bikin dada berdebar kencang, seolah mau melompat keluar dari tulang rusuk. “Kau milikku sebagai proyek penelitian.” Kananta hanya bisa membuka mulutnya, mata bengkak dengan kaget: “Apa?” Dia menatap Zinia dengan harap yang membanjiri. "Benarkah? Bagaimana caranya ….” Bagian dalam dirinya berteriak “Jangan terlalu percaya! Jangan terlalu percaya!”—Zinia terlalu misterius, terlalu sulit ditebak. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, ia justru semakin t

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Terapi Pertama

    Kananta keluar dari ruang pemeriksaan seperti orang yang habis disodok kenyataan pahit. Pintu menutup klik, dan semua kepala di ruang tunggu langsung menoleh ke arahnya.Termasuk kakek tadi—yang senyumnya lebarnya kayak baru menikah lima kali.“Gimana, Nak?” Kakek itu mencolek lengannya dengan jari yang kaku seperti kayu. “Dokternya hebat, kan?”Kananta menghela napas panjang. “Kalau saya jawab, saya tambah stres.”Kakek mengangguk dramatis. “Ah, berarti cocok.”Kananta melangkah cepat keluar sebelum ada yang minta testimoni.Begitu keluar klinik, ia langsung menatap langit.“Tuhan … kalau ini cara-Mu mendewasakanku, boleh nggak cari cara lain yang nggak memalukan?”Tidak ada jawaban. Hanya burung lewat sambil berak di kap mobilnya.“Serius, Tuhan? Bahkan burung pun ngetawain aku?”Ia masuk ke mobil, banting pintu, dan menghela napas panjang.Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suaranya sendiri mendengkus, “Aku nggak balik lagi. Titik.”Sampai rumah, baru buka sepatu bootnya yang be

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Pemeriksaan Mantan

    Kananta sudah pasrah ketika Zinia menunjuk kursi pemeriksaan sambil mengangkat dagu.“Duduk, Kananta. Kudengar ‘junior’-mu ngadat?”Kananta duduk. Kaku. Beku. Batu nisan pun lebih hidup dibanding dia.Zinia menyilangkan kaki—klik—stocking hitamnya memantul seperti cermin. Roknya pendek sekali, dokter mana yang lulus etik begini? Seolah dia sengaja beli rok di toko baju malam.“Itu rumor,” bantah Kananta cepat, bibirnya kaku.“Rumor?” Zinia nyengir tipis, mata menyipit seperti ular yang melihat mangsa. “Atau kau memang sudah nggak bisa memuaskan siapa pun? Apa senjatamu karatan sampe bisa dipajang di museum?”“Bukan urusanmu,” gumamnya, suara sekeras semut.“Tentu urusanku. Aku doktermu. Tugas dokter? Memastikan barang pasiennya masih layak edar. Kalau nggak, mending aku rekomendasikan ke toko spare part.”Kananta ingin menghilang jadi gas helium, terbang ke atap dan keluar dari klinik tanpa ada yang lihat.Zinia mendekat. Parfumnya menusuk hidung—dulu manis kayak permen, sekarang vers

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status