LOGINKananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu.
Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu salah satu triknya? Akan tetapi, Kananta sekarang sudah tidak tertarik lagi. "Itu bukan urusan kamu, mau aku berobat mau aku senang-senang!" seru Kananta. Maya tertawa, padahal dulu Kananta memohon-mohon untuk tidak berpisah lalu sekarang setelah berpisah seolah-olah tidak pernah jadi budak cintanya. Wanita itu sengaja menarik roknya sedikit lebih tinggi, untuk memperlihatkan paha putihnya. Tak mungkin kan anda tidak tertarik dengan dirinya. Tapi sayangnya, Kananta tidak bernafsu sama sekali. Malah merasa lelah dan kesal. "Dasar perempuan tidak tahu malu! Kamu pikir dengan kamu pakai baju kurang bahan seperti ini aku bakal nafsu?" Maya tersenyum sombong. "Hah! Nafsu? Kamu nggak punya nafsu sama sekali! Itu sebabnya aku tinggalkanmu! Mau berobat seperti apapun, kamu tidak akan sembuh! Selalu jadi laki-laki yang lemah!" Lalu, dia mengambil sebuah kartu undangan dari tasnya, melemparkannya ke tangan Kananta. "Ini undangan pernikahanku—1 bulan lagi. Datang ya! Biar kamu lihat aku bahagia dengan pria yang bener-bener punya nafsu!" Kananta menggenggam undangan itu dengan kuat, jari-jari kaku. Dia merasa kesal sampai darahnya bergejolak. Tapi tiba-tiba, dia teringat Zinia yang masih di ruangan. Tanpa berkata apa-apa, dia melepas lengan Maya dan berlari kembali masuk ruangan. Ia terkejut saat masuk. Zinia tengah berganti pakaian—hanya menggunakan bralet saja. Badannya yang sempurna terlihat jelas dua gunung kembar yang pas, kulit putih bersih seperti kaca, dan pinggang yang ramping. Dia sedang mengambil baju baru dari lemari, tidak menyadari Kananta sudah masuk. Kananta langsung bercucuran air liur, mata tidak bisa berkedip. Semua kejenuhan sama Maya tadi hilang seketika—dia benar-benar tergoda oleh bentuk tubuh Zinia yang sempurna. Zinia mendengar bunyi langkah, berbalik dan melihat Kananta. Dia tidak kaget, bahkan tersenyum tipis. "Kamu balik? Maya sudah pulang?" Kananta hanya bisa mengangguk, mulutnya kering. "Ya … dia kasih undangan pernikahan. 1 bulan lagi." Zinia mendekatnya, masih cuma pake bralet. Udara di ruangan jadi panas sampe bisa rebus telur. "Jadi, kamu akan datang?" "Aku … aku akan datang. Untuk membuktikan diriku." Zinia menepuk bahunya, sentuhannya bikin Kananta bergetar. "Bagus. Tapi kamu perlu latihan lebih giat. Hormonmu sudah mulai bekerja, tapi masih kurang kuat—lihat, kamu sudah tergoda cuma lihat braletku." Kananta merah sampe ke telinga. "Aku itu normal lah, Zin! Kamu terlalu cantik!" Zinia tersenyum menggoda, mendekat sampai jarak berbahaya. "Normal? Kalau begitu, coba jawab apakah kamu lebih tergoda sama aku atau sama Maya yang bawa rok pendek tadi?" Kananta langsung menjawab. "Kamu, tentunya! Maya cuma buat kesal, tapi kamu bikin nafsu muncul!" Zinia tertawa geli, lalu menempelkan telinganya ke telinga Kananta. "Baiklah. Kalau begitu, mulai besok terapi mu akan ditambah ‘latihan kegodaan’. Biar kamu bisa mengendalikan nafsu dan menunjukkan pada Maya seberapa ‘kuat’ kamu sudah." Kananta dan Zinia saling menatap, lalu tertawa terbahak-bahak. Zinia mulai memakai baju baru, sambil menepuk bahunya Kananta. "Lihat ya, kakek selalu datang di waktu yang salah. Tapi itu juga bagian dari terapi—biar kamu tidak terlalu tergesa-gesa." Kananta mengangguk, masih tergoda. "Zin … janji ya, latihan kegodaan nanti bikin aku lebih kuat?" Zinia tersenyum tipis, mendekat lagi. "Janji. Dan kalo kamu lulus tesnya aku akan kasih hadiah yang ‘lebih spesial’ dari bralet ini."Namun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.“Stop.”Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan.Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta.“Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?”Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?”Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua.“Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.”Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar
Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan. Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang! "Ayah!"Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi."Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu. Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu. "Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan. Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya t
Kananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu. Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu
Kananta tersentak, keringat dingin keluar di keningnya. “Dokter aku harus siap mental dulu?” “Sangat. Tapi waktu sudah habis.” Dia merinding sampai badan gemetar. “Apakah aku akan selamat dari terapi ini?” Zinia tersenyum tipis—senyum yang bikin hati berdebar lebih kencang, seperti ada getaran listrik di udara. “Tergantung seberapa patuh kau sebagai pasienku.” Kananta berdiri tegak meskipun tulang belakangnya kaku. “Baik dokter.” “Mulai hari ini, Kan .…” Ia menepuk dadanya dengan pulpen yang ada di tangannya—sentuhan itu ringan tapi bikin dada berdebar kencang, seolah mau melompat keluar dari tulang rusuk. “Kau milikku sebagai proyek penelitian.” Kananta hanya bisa membuka mulutnya, mata bengkak dengan kaget: “Apa?” Dia menatap Zinia dengan harap yang membanjiri. "Benarkah? Bagaimana caranya ….” Bagian dalam dirinya berteriak “Jangan terlalu percaya! Jangan terlalu percaya!”—Zinia terlalu misterius, terlalu sulit ditebak. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, ia justru semakin t
Kananta keluar dari ruang pemeriksaan seperti orang yang habis disodok kenyataan pahit. Pintu menutup klik, dan semua kepala di ruang tunggu langsung menoleh ke arahnya.Termasuk kakek tadi—yang senyumnya lebarnya kayak baru menikah lima kali.“Gimana, Nak?” Kakek itu mencolek lengannya dengan jari yang kaku seperti kayu. “Dokternya hebat, kan?”Kananta menghela napas panjang. “Kalau saya jawab, saya tambah stres.”Kakek mengangguk dramatis. “Ah, berarti cocok.”Kananta melangkah cepat keluar sebelum ada yang minta testimoni.Begitu keluar klinik, ia langsung menatap langit.“Tuhan … kalau ini cara-Mu mendewasakanku, boleh nggak cari cara lain yang nggak memalukan?”Tidak ada jawaban. Hanya burung lewat sambil berak di kap mobilnya.“Serius, Tuhan? Bahkan burung pun ngetawain aku?”Ia masuk ke mobil, banting pintu, dan menghela napas panjang.Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suaranya sendiri mendengkus, “Aku nggak balik lagi. Titik.”Sampai rumah, baru buka sepatu bootnya yang be
Kananta sudah pasrah ketika Zinia menunjuk kursi pemeriksaan sambil mengangkat dagu.“Duduk, Kananta. Kudengar ‘junior’-mu ngadat?”Kananta duduk. Kaku. Beku. Batu nisan pun lebih hidup dibanding dia.Zinia menyilangkan kaki—klik—stocking hitamnya memantul seperti cermin. Roknya pendek sekali, dokter mana yang lulus etik begini? Seolah dia sengaja beli rok di toko baju malam.“Itu rumor,” bantah Kananta cepat, bibirnya kaku.“Rumor?” Zinia nyengir tipis, mata menyipit seperti ular yang melihat mangsa. “Atau kau memang sudah nggak bisa memuaskan siapa pun? Apa senjatamu karatan sampe bisa dipajang di museum?”“Bukan urusanmu,” gumamnya, suara sekeras semut.“Tentu urusanku. Aku doktermu. Tugas dokter? Memastikan barang pasiennya masih layak edar. Kalau nggak, mending aku rekomendasikan ke toko spare part.”Kananta ingin menghilang jadi gas helium, terbang ke atap dan keluar dari klinik tanpa ada yang lihat.Zinia mendekat. Parfumnya menusuk hidung—dulu manis kayak permen, sekarang vers







