Share

Re:Diva dari Gaia
Re:Diva dari Gaia
Author: R.S.Tama

1

“Letnan? Letnan! Jangan melamun!”

PLAK!

DUAR!

Petir menyambar, aku tersadar kembali dari lamunanku. Komandanku menamparku berkali-kali untuk membuatku tersadar. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan memberi hormat. Komandan Aung Hwan mengembalikan teropongku.

“Amati medan pertempurannya. Saat ini markas kena serangan gangguan elektromagnetik. Mereka tidak akan bisa membantu mengobservasi area pertempuran.” Kata Komandan Aung Hwan. “Bawa pletonmu untuk mengintai!”

“Siap pak!” jawabku. Aku keluar dari tenda komando. Kutembus hujan ini menuju tenda tempat pletonku berada. Hujan disertai angin kencang dan petir ini menambah susah tugas kami saja.

Aku memasuki masing-masing tenda dan mengumpulkan pletonku. Aku membagi mereka ke dalam beberapa grup dan menyuruh mereka berpencar. Petir ini membuat kami tidak bisa menggunakan peralatan digital kami. Begitu juga saat ini menara pemancar sinyal pengganggu milik musuh merusak alat digital kami.

Kujelaskan pada masing-masing pemimpin grup untuk menyebar dan mengumpulkan informasi dengan jelas dan detail. Setelah mereka paham, barulah kami keluar untuk berpencar dan melaksanakan tugas kami.

Area pertempuran kami merupakan garis depan. Musuh kami adalah Sovyet, informasi terakhir dari markas pusat sebelum gangguan bahwa Sovyet telah menembus perbatasan dan akan menuju Hanoi, ibukota Negara Bagian Vietnam.

Belum kujelaskan di awal, aku adalah Atma Wiratmaja, seorang pemuda lulusan akademi militer KNAT (Kesatuan Negara Asia Tenggara) Indonesia. Tugas pertamaku adalah dikirim langsung ke sini. Bersama teman-teman dari berbagai ras dan etnis di Asia Tenggara bersatu dan melawan Sovyet dan negara sekutunya.

Ceritanya akan sangat panjang sekali. Apabila aku membahas bagaimana seluruh Asia Tenggara bersatu menjadi Kesatuan Negara Asia Tenggara. Perang di sini sudah berlangsung hampir 8 bulan. Awal perang ini sangatlah simpel, karena keberadaan mineral baru yaitu gaiantum.

Gaiantum merupakan sumber daya terbaru untuk menggantikan sumber daya yang ada. Dengan adanya gaiantum, manusia membuat reaktor Gaia. Reaktor yang aman dan bertahan lama untuk menyuplai semua energi. Tidak ada yang tahu apa asal usul mineral ini. Tambang gaiantum hanya terdapat di beberapa tempat saja.

Juga cara mengolah gaiantum ini sangatlah rumit dan susah. Namun apabila berhasil, maka mineral ini dapat menyuplai energi listrik untuk kehidupan manusia selama 75 tahun tanpa tergantikan. Awalnya manusia damai saja untuk menggunakan mineral ini.

Namun akibat keserakahan dan kegagalan penelitian untuk mineral ini. Mereka semua saling berebut mencari mineral ini dengan teknologi mereka masing-masing. Hingga akhirnya terbitlah suatu penelitian yang mengabarkan gaiantum adalah barang langka.

Harganya meroket tinggi, semua negara ingin mengontrol gaiantum. Lalu konflik terjadi dan hasilnya sekarang ini. Pertempuran terjadi di mana-mana. Sovyet ingin menguasi tambang yang ada di KNAT. Yaitu tambang yang ada di Kalimantan dan Papua, serta Vietnam. Tambang besar yang ada di ketiga daerah tersebutlah incaran mereka.

Perang dunia ketiga akhirnya dimulai. Ada 3 blok besar di dunia ini sekarang. Blok netral, seperti negara KNAT. Ataupun negara-negara kecil lainnya yang tidak terlibat dalam konflik. Lalu ada Sovyet, juga sekutu yang saling bertarung satu sama lain.

Sebagai blok netral menjadi korban adalah hal yang biasa. Dapat dilihat sendiri, banyak anak muda yang dijadikan tentara, dan lain-lainnya. Aku memanjat salah satu pohon agar mendapat pemandangan yang jelas.

“Tidak ada tanda-tanda,” kataku pada temanku. “Baskins, hujan sialan ini membuat pandangan kita terganggu sepenuhnya. Kita tidak tahu apakah musuh sudah memulai pergerakan atau tidak.”

“Apalagi kalau mereka menggunakan kamuflase transparan. Kudengar Sovyet mempunya teknologi seperti itu.” Jawab rekanku Baskins. “Sejauh aku memandang juga tidak ada.”

“Komunikasi antar grup juga susah. Tenang saja, kita semua akan kembali setelah mengintai selama 4 jam.” Kataku untuk menenangkan diri. Jujur saja aku gugup bila kami nanti salah mengidentifikasi satu sama lain akibat komunikasi yang terganggu.

Sesudah 4 jam mengintai tak mendapatkan hasil. Kami memutuskan untuk pulang. Kupimpin grupku untuk pulang ke markas dan tidak mendapatkan hasil apa-apa. Aku menuju tenda komando dan melaporkannya kepada komandan.

“Siap komandan, tidak ada apa-apa. Masih terpantau tenang dan tidak ada pergerakan.” Laporku. “Laporan dari semua grup pengintai juga sudah saya terima semua.”

“Hmmm, mencurigakan. Mereka tidak membuat pergerakan sesudah tahu komunikasi dan teknologi kita eror?” Komandan Aung bergumam. “Mungkin karena hujan ini juga mengganggu pergerakan mereka.”

“Sekarang kamu boleh pergi,” kata Komandan Aung mempersilakanku untuk pergi. Aku keluar dari tenda komando. Mantelku dari tadi belum kulepas, dingin juga suasananya. Saatnya menghangatkan diri di barak.

Aku menuju kompartemen yang disediakan untuk para perwira. Kulepas mantelku di luar dan bergabung bersama para letnan lainnya. Yah hubunganku dengan para perwira lainnya tidak terlalu bagus dan tidak terlalu buruk.

Kami makan malam bersama dan kemudian melanjutkan beberapa tugas kami lagi. Aku memilih mempersiapkan peletonku untuk bersiap dirotasi untuk maju mengisi garis pertahanan di depan. Di barak mereka masih ramai. Sepertinya mereka masih belum tidur.

Aku mengetuk pintu barak mereka. “Kalian belum tidur? Kalau begitu aku akan bergabung.”

“Ya, kami memang belum tidur Letnan Atma.” Jawab Baskins. “Sini Anda bisa bergabung dengan kami untuk bermain kartu.”

“Oke, kalian mengajakku ya. Jangan sampai kalian menangis kalau kalah.” Kataku dan duduk di meja panjang yang ada di tengah barak. “Kalian main poker?”

“Kartu biasa,” jawab Robby. Dia mengocok kartu yang ada d tangan kanannya. “Besok kita bertukar posisi dengan peleton 19 di depan?”

“Pastinya. Tenang saja tidak ada serangan kok. Sovyet belum melancarkan serangan mereka lagi. Jadi kita tidak bertempur.” Balasku dan menerima kartu yang dibagikan untukku.

“Mereka menungg apa ya kira-kira? Bukannya saat terbaik menyerang adalah saat seperti ini?” tanya Robby.

“Entahlah.”

Sirine markas berbunyi, diikuti dengan suara letupan artileri. Kami semua langsung bergegas mengambil peralatan kami. “Semuanya langsung berada di posisi kalian! Siaga dan buka mata lebar-lebar!”

Aku menuju kompartemen perwira dan mengambil peralatanku. Satu senapan sudah berada di tanganku. Pelurunya masih ada, kupakai dengan cepat peralatanku dan berlari menuju baris pertahanan markas kami.

“Apa situasinya?” tanyaku pada Baskins. “Arah jam 12! Peluncur roket! Merunduk!”

Sebuah roket meluncur mengenai bangunan di belakang kami. Aku menembakkan suar cahaya ke arah depan. Terlihat kilatan cahaya senapan dari jalan di depan. “Buka tembakan!”

Adu tembakan terjadi. Kami mencoba membalas tembakan dari musuh yang menggunakan kamuflase transparan mereka. Cahaya dari suarku tadi semakin hilang dan berkurang. Sial, kami kehilangan lokasi mereka sekarang.

“Tahan tembakan!” perintahku. “Musuh menggunakan kamuflase!”

“Robby, Adams! Robby laporkan musuh menggunakan kamuflase ke peleton lainnya. Adams, laporkan ini kepada tenda komando!” perintahku pada rekanku. Aku mempersiapkan pistol suarku lagi.

“Ingat saat kutembakkan suar ke atas dan cahayanya muncul dan posisi musuh kelihatan. Tunggu kami memulai tembakan barulah kalian lari dan melaporkan hal ini!” kataku dengan berbisik.

Saat ini kami berlindung di balik tumpukan karung pasir dan barikade. Ada juga yang masuk ke dalam parit. Kutembakkan suarku ke atas, kemudian menunggu hingga suar tersebut jatuh dan menerangi posisi mereka.

Aku melihat beberapa posisi mereka. Kamuflase mereka memantulkan cahaya dari suarku. “Buka tembakan! Lalu ganti posisi!”

Adams dan Robby melaksanakan perintahku. Mereka berdua lari dan melaporkan situasinya. Sedangkan kami harus menahan mereka sebisa mungkin di garis pertahanan ini. Aku menghitung rata-rata tembakan kami. Akurasi kami bagus, mereka sudah tewas 4 sedangkan kami belum.

Sebuah cahaya bersinar terang di atas markas kami. Artileri bantuan mereka menembakkan peluru cahaya. Posisi kami ketahuan, musuh mulai menembaki prajurit yang berada di atas tower pertahanan. Semuanya menjadi kacau, tiba-tiba teriakan serbuan dari musuh terdengar.

Kami bingung karena kamuflase optik mereka tidak dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa bantuan khusus. “Bertahan di posisi kalian! Jangan sampai mereka merangsek lebih dekat ke markas!”

Adams dan Robby kembali. “Pak! Perintah dari komandan adalah mundur dari markas ini! Peleton kita ditugaskan untuk bertahan hingga proses mundurnya selesai  bersama peleton 25!”

“Kalau begitu kembali ke posisi kalian!” balasku. Hujan turun semakin deras, sebuah petir menyambar. Cahaya dari kilatan petir itu memantulkan salah satu musuh yang diam-diam ke arahku. Aku menembaknya dengan senapanku. “Cepat!”

“Siap!” Robby dan Adams masuk ke dalam parit mereka. “Ah becek! Kondisi paritnya parah!”

DUAR!

Peluru artileri meledak di belakang kami. Keluar gas tak berwarna dan tak berbau dari proyektilnya. “Gas beracun! Sial! Mundur! Ambil masker gas kalian atau seadanya!”

Aku merisikokan diriku menuju gudang perlengkapan yang tidak jauh dari barak kami dan mengambil beberapa kotak masker gas. Aku memakai satu dan membawanya keluar ke sana dan membagikannya. Tapi anehnya, aku tidak mendengar suara tembakan dari musuh.

Bukannya saat bagus untuk menyerang secara membabi buta saat kami panik? Semuanya terdiam dan sunyi. Tiba-tiba seseorang berteriak kesakitan. Ada sebuah makhluk aneh menyerang kami.

“Mayat hidup!” teriak Baskins. “Tembak! Apakah proses mundurnya belum selesai? Kita harus mundur juga!”

“Mundur! Kita mundur ke bagian dalam markas!” perintahku. Aku menuju posisi di mana peleton 25 berjaga. Sialnya mereka semua sudah tewas terkena gas. Tepat saat kami memasuki bangunan di markas. Peluru artileri mulai ditembakkan lagi.

Kami terus mati-matian bertahan di sini. Hingga akhirnya seorang pembawa pesan menghampiriku. “Proses mundur selesai! Kalian boleh mundur! Ada beberapa kend-.”

Belum sempat ia menghabiskan kalimatnya. Dia tertembak di kepalanya. “Mundur semuanya! Lari dan berpencar!”

DUAR!

Bangunan tempatku berlindung roboh dan beberapa reruntuhan menimpaku. Aku menutup mataku karena separuh badanku tertimpa reruntuhan. Kukira inilah saatku untuk pergi.

Ketika aku tersadar, aku segera membersihkan reruntuhan yang menimbuh bagian bawahku sebisa mungkin. Kukira aku tewas! Ternyata tidak! Mayat pembawa pesan ini melindungi bagian bawahku. Sehingga tubuhku masih utuh!

Oh benar! Rekan-rekanku? Adakah mereka yang selamat? Aku segera bangkit dan melihat sekelilingku. Semuanya hancur lebur, menyisakan puing-puing dan mayat di mana-mana. Beberapa mayat juga tidak utuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status