Katha pernah berada dalam situasi, di mana dia terjebak di antara dua lelaki. Pada waktu itu dia memang sedang didekati oleh keduanya. Lantas, ketika tanpa sengaja takdir membuat mereka bertiga berada di satu tempat dengan waktu yang sama, Katha tidak mengerti kenapa dua lelaki itu akhirnya adu mulut.
Maka sebagai langkah penyelamatan, Katha diam-diam menghubungi nomor Rabu, lalu mematikan sambungannya. Tak sampai lima detik, Rabu balik menghubunginya. Dan begitu akhirnya dia bisa melarikan diri dengan berpura-pura ada situasi darurat yang mengharuskannya hengkang.
Sejak saat itu, Katha meletakkan nomor Rabu pada panggilan darurat nomor satunya. Sebab, dia sering berada pada situasi-situasi serupa. Hari ini adalah salah satunya.
Katha tersenyum kaku ke arah Rena kala dituntun untuk duduk kembali di sofa. Di kepalanya langsung muncul nama Rabu, sayangnya gawai sedang tak ada di tangan. Tadi dia menyimpannya di dalam tas. Sekarang, dia perlu memikirkan cara menyentuh gawainya tanpa dicurigai oleh Agung.
“Mungkin Rendra lima belas menit lagi sampai, Tha. Dia baru selesai rapat,” ujar Rena.
Katha hanya mengangguk-anggukkan kepala, sementara tangannya mulai menyusup ke dalam tas.
“Dia langsung ke sini, Ren?” tanya Agung.
“Iya. Soalnya dia udah kuajak dari tadi, tapi masih harus rapat,” jawab Rena.
Mendengar jawaban Rena membuat Katha bersyukur dengan rapat yang dihadiri Rendra. Dia jadi tak bertemu lelaki itu dan kini hanya perlu terbebas dari situasi tak menguntungkan ini kurang dari lima belas menit.
Tangan Katha akhirnya berhasil meraih gawai dalam tas. Hanya mengandalkan kemampuan mengira-ngira, Katha berusaha menghubungi Rabu. Beruntungnya, dia berhasil. Lima detik kemudian, gawainya berbunyi.
Katha langsung menoleh ke arah Alan dan Rena. Dia meminta izin untuk mengangkat telfon itu, lantas beranjak keluar dari ruang tamu menuju halaman rumah.
“Lo godain cowok lagi, ya, Tha?” tuduh Rabu begitu telfon tersambung.
Katha memutar bola matanya malas. Tiap kali Katha melakukan panggilan darurat, selalu seperti itu respon Rabu. Ya, meski tak dipungkiri beberapa panggilan darurat yang dia layangkan pada Rabu adalah karena tuduhan itu.
“Apa? Oh, iya, aku ke sana.” Mengabaikan pertanyaan Rabu, Katha mengucapkan kalimat seolah-olah ada situasi darurat di seberang sana sambil melirik ke arah pintu.
“Mulai, deh,” sahut Rabu.
“Iya, sama-sama,” ucap Kata, masih mengabaikan Rabu. Lalu, sambungan telfon itu diputusnya.
Katha segera berlari kembali ke dalam ruang tamu setelah melemaskan wajahnya. Dia memasang ekspresi seolah-olah sedang panik.
“Aduh, Om, Tante, aku minta maaf. Aku harus segera pergi. Ada situasi darurat,” dustanya.
“Situasi darurat apa, Tha?” tanya Agung sambil memicingkan mata. Dia tentu menaruh curiga pada sang putri.
Katha memutar otak mencari alasan. Dia jelas tidak bisa mengatakan situasi darurat itu terjadi di kantor, karena Agung pasti akan memeriksa kebenarannya dengan menghubungi Kandara.
“Ada pencuri di Angkasa.” Akhirnya alasan itu yang Katha pilih. “Langit sedang berurusan dengan polisi dan tidak ada yang menggantikannya mengawasi Angkasa.” Dalam hati Katha tersenyum menang, karena Agung tak bisa memeriksa kebenarannya. Papanya itu tidak punya nomor Langit.
“Yah, nggak jadi ketemu Rendra, dong.” Kali ini Rena yang angkat bicara dengan ekspresi kecewa.
Senyum sungkan yang pura-pura itu langsung terpasang di wajah Katha. Dia terpaksa harus mengumbar janji palsu lagi. “Maaf, ya, Tante. Nanti kapan-kapan, aku dan Kakak pasti ke rumah Tante.”
Rena terpaksa mengangguk, meski raut kecewanya belum hilang. Sementara Alan hanya diam saja, lalu melempar senyum ke arah Katha sebagai kesan maklum.
“Aku pergi dulu, ya. Taksinya udah di depan.”
Katha segera keluar dari ruang tamu saat Agung hendak membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu. Dia berlari ke arah gerbang sambil tertawa-tawa tanpa suara. Berhasil! pekiknya dalam hati.
***
Meski kemarin Katha berhasil menghindari pertemuan dengan Rendra, tapi dia tetap tak bisa menghindari pertemuan kencan buta kedua. Kali ini kencannya direncanakan oleh Agung, setelah keduanya kembali cek-cok malam setelah kaburnya Katha dari ruang tamu.
Lelaki yang sedang duduk di bangku kayu panjang dengan muka pucat cenderung biru itu bernama Sidarta Seiya. Seperti biasa, sebelumnya pertemuan diatur di Angkasa Resto agar Langit sewaktu-waktu bisa menolongnya kalau situasi kacau. Namun, ternyata Katha merasa bahwa Seiya adalah lelaki yang menyenangkan.
“Saya suka bersenang-senang di wahana ekstrem. Kamu bagaimana?” tanya Seiya sebelumnya.
Katha seketika menganggukkan kepala. Mendengar ada seseorang yang satu hobi dengannya, tentu membuat dia bersemangat.
“Suka banget. Sayangnya saya nggak punya teman yang bisa diajak naik banyak wahana ekstrem. Mereka suka mual setelah naik dua-tiga wahana,” jawab Katha.
Tiba-tiba saja mata Seiya berbinar. “Mau pergi bersama?” tanyanya.
Katha jelas tak menolak. Dia jarang pergi ke taman bermain, karena baik Rabu ataupun Shae sama-sama tak bisa naik wahana yang memacu adrenalin. Sedangkan dia sudah bisa dikategorikan sebagai penggila wahana-wahana tersebut.
Atas dasar itu, Katha mengecap Seiya sebagai orang yang menyenangkan. Dia pun tak ragu menambah waktu pertemuan mereka dengan pergi ke Dufan. Namun, satu jam terakhir Katha menyesal. Dia memang seorang penggila wahana-wahana ekstrem, tapi bisa dikatakan bahwa Seiya jauh lebih gila sepuluh kali lipat dari dirinya.
Bagaimana tidak? Mereka bahkan sudah lima kali naik roller coaster setelah naik berbagai wahana seperti tornado, kora-kora, hysteria, dan lain-lain. Di putaran ketiga, sebetulnya Katha sudah mulai pusing, namun dia tak ingin tampak kalah dari Seiya.
Kini, usai putaran kelima, justru Seiya sendiri yang terlihat hampir mati. Katha pun sama, tak ada bedanya. Namun, dia masih bisa mengendalikan mabuknya dengan berdiam menatap jalanan.
Seorang lelaki dan anak kecil tiba-tiba mendekati bangku mereka, lalu duduk di ujung sebelah Seiya. Katha segera bergeser. Dia menarik pelan lengan Seiya untuk memberi ruang lebih lebar pada penghuni baru di bangku itu. Namun, goncangan kecil itu ternyata berakibat fatal. Seiya langsung muntah. Katha yang terkejut, seketika melompat berdiri. Lebih terkejut lagi, dia lihat muntahan Seiya tumpah ke sepatu lelaki yang membawa anak kecil itu tadi.
“Sepatu Om. Hih, jijik!” pekik anak lelaki yang sedang menggenggam sebuah balon.
Rasanya, Katha ingin segera melarikan diri dari sana. Namun, kakinya tak mau bekerja sama. Matanya malah memandangi muntahan di sepatu berwarna putih itu.
“Aduh, Mas. Maafin teman saya, ya.” Katha akhirnya terdorong untuk minta maaf, karena Seiya terlihat semakin payah. Lelaki itu malah berlari ke semak-semak di belakang bangku untuk menuntaskan muntahnya.
Katha benar-benar tak berani mengangkat kepala. Dia merasa sangat malu. Ketertarikan pada Seiya yang tadinya sudah berkurang, kini malah menjadi super minus.
“Nggak apa-apa, Mbak. Saya pergi dulu, ya. Itu temannya dibantu,” sahut lelaki itu, lantas beranjak sambil menggandeng tangan anak kecil di sebelahnya.
“Hih, jijik Om!” anak itu masih memekik, sementara lelaki yang bersamanya hanya tertawa.
Katha akhirnya mendongakkan kepala, menatap lelaki dan anak kecil yang baru saja berjalan menjauhinya. Ada sesuatu yang memancing ingatan Katha pada kejadian penyelamatan Shae di pesta temannya: rambut hitam legam.
“Katha,” panggilan Seiya membuat ingatan Katha terpecah. Dia segera menoleh dan teringat dengan kekesalannya yang sudah di ubun-ubun.
“Kenapa?” tanya Katha.
“Kamu bisa belikan saya minyak angin cap gajah? Nanti biar kita bisa naik wahana lainnya lagi.” pinta Seiya.
Katha seketika melotot karena kesal. “Apa?” tanyanya setengah berteriak.
“Belikan saya minyak angin cap gajah. Nanti kita biar bisa lanjut naik wahana. Ada yang belum kita naiki, kan?”
Katha menghentakkan kaki kanannya sambil mengepalkan dua telapak tangan di sebelah tubuh. “Peras, tuh, keringat gajah!” bentaknya sambil meninggalkan bangku taman dan juga Seiya yang terbengong-bengong.
***
Katha memasuki Angkasa dengan raut yang masih kental akan kekesalan. Ketika kemudian matanya menemukan Langit yang sedang berbicara dengan pegawainya di sebelah pintu dapur, langsung dia hampiri lelaki itu.
"Gue pinjam baju." Tanpa intro, Katha mengejutkan Langit yang tadinya fokus bicara. Pada akhirnya Langit hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, sebab Katha tak menunggu jawaban. Perempuan itu langsung beranjak menuju ruang kerjanya.
Ruang kerja Langit yang rapi langsung menyambut Katha yang penampilannya cukup bertolak belakang. Perempuan itu berjalan ke pojok ruangan dan membuka lemari kecil yang biasa dipakai untuk menyimpan pakaian cadangan Langit.
"Ini, sih, bajunya si Rabu," ujar Katha setelah menarik kaus biru gelap dengan tulisan 'Not Alone'.
Kaus biru itu yang kemudian dia pakai untuk mengganti pakaiannya sendiri. Meski pakaiannya sebetulnya tergolong bersih, tapi dia merasa cukup jijik jika mengingat muntahan Seiya. High heels merahnya pun dia lepas dan lempar ke bawah sofa di ruang kerja Langit, lantas dia ambil sandal jepit milik lelaki itu.
Setelah merasa lebih baik, Katha keluar dari ruang kerja Langit untuk memesan makanan. Marah rupanya memancing rasa buas pada usus-usus di perutnya.
"Loh, Tha? Kapan datang?"
Katha langsung memutar badan, dan matanya menemukan Shae yang duduk di salah satu kursi dengan sepiring cah kangkung, udang pedas manis dan sepiring nasi yang masih mengepul. Perempuan itu langsung tersenyum lebar dan menghampiri Shae.
"Baru aja. Lo udah dari tadi? Kok gue nggak lihat?" tanya Katha yang sudah duduk di kursi seberang Shae. Tanpa permisi tangannya mengambil piring nasi milik Shae, lalu mengisinya dengan cah kangkung serta beberapa potong udang.
"Buset! Punya gue itu!" protes Shae sambil berusaha merebut piringnya kembali.
Katha berdecak. "Makan bareng ayo, makan bareng," ajaknya.
"Enak aja. Lo pesan sendiri sana!" tolak Shae sambil mengangkut piringnya kembali.
Katha mendesah kecewa, lalu memasukkan seekor udang ke dalam mulut.
"Jorok banget, sih, Tha! Cuci tangan dulu sana!" perintah Shae.
"Cerewet bin pelit!" Katha melipat lengan di depan dada.
"Heh! Lo berdua berisik banget. Kedengeran sampai dapur, tau!" Tahu-tahu saja Langit sudah berdiri di belakang Katha sambil bertolak pinggang. "Ini lagi, enak banget comot baju gue." Dia mencubit bahu Katha.
Katha yang tidak terima langsung menoleh ke belakang. "Enak aja. Ini punya Rabu, ya. Jangan ngaku-ngaku!"
Langit terkekeh mendengar jawaban Katha. Dia pun sudah tahu kalau yang perempuan itu pakai bukan miliknya.
"Ngomong-ngomong lo kenapa? Perasaan tadi pergi dengan happy sama teman kencan lo."
"Jangan ngomongin dia. Sialan! Nyesel gue." Katha meremas rambutnya sendiri.
"Memangnya kenapa?" tanya Langit sambil tertawa.
Katha mendengkus. "Gila itu orang," umpatnya.
"Bukannya lo juga gila?" timpal Shae.
"Setuju," seloroh Langit.
Katha langsung melotot kesal. Dia memilih tak menjawab dan menyandarkan punggung. "Bawain gue nasi, sambal sama telur dadar, Ngit!"
Mendengar perintah Katha, Langit langsung mencebik. "Lo pikir resto gue warteg?"
"Ya, pokoknya gue pesan itu."
Langit menggeleng-gelengkan kepala. Permintaan Katha itu bukan tanpa sebab. Saat Angkasa pertama dibuka, Rabu pernah dengan seenaknya menggunakan dapur Angkasa untuk memasakkan telur dadar dan sambal untuk Katha. Saat itu, mood Katha rusak gara-gara digoda seorang aktor yang bermain di salah satu sinetron produksi perusahaan milik papanya. Sejak saat itu, Katha jadi ketagihan dengan rasa makanan sederhana itu.
"Buruan, Ngit!" perintah Katha kala melihat Langit masih berdiri di belakangnya.
Sambil mencebik, Langit beranjak menuju dapur dan memanggil salah satu pegawainya. Tak lama kemudian, dia sudah kembali ke meja Katha dan Shae.
"Kok balik?" tanya Katha.
"Udah gue pesenin ke anak-anak."
Katha mengangguk-anggukkan kepala. Tanganya kembali beraksi mencomot beberapa ekor udang milih Shae.
"Lo kenapa nggak terima aja, sih, dijodohin sama Rendra? Dia mukanya oke, loh," celetuk Shae sambil mengacungkan jempol.
Katha meliriknya sinis. "Ogah, kalau sama cowok yang berani mempermalukan perempuan di depan umum."
"Yah, masa seorang Katha kalah sama cowok model begitu?" pancing Langit.
Kedua mata Katha langsung melotot tak terima. "Bukan gitu. Gue nggak mau kalah sama Bapak Agung."
"Ya, kenapa, sih?"
"Ya, nggak mau aja. Kalau gue sampai ketemu Rendra walau cuma sekali, gue yakin itu Pak Agung langsung nyeret gue sama Rendra ke KUA."
Langit dan Shae seketika tertawa, sampai perut mereka terasa kaku. Dari pernyataan Katha, mereka sudah cukup bisa membayangkan perseteruan ayah-anak itu, sebab mereka pun tahu bahwa Agung dan Katha seperti Tom and Jerry. Keduanya suka sekali adu mulut dengan segala keabsurdannya.
"Kalau gitu, daripada lo ikut kencan buta nggak jelas, kenapa nggak minta Rabu buat nikahin lo?" tanya Langit dengan sengaja.
Telapak tangan Katha langsung bersarang di punggung Langit. Lelaki itu merasakan hawa panas dan perih yang menyengat. Suara benturan telapak tangan dan kulit punggung itu pun sampai menarik perhatian beberapa pelanggan.
"Sakit banget, woy!" Langit susah payah mengusap bagian punggungnya yang panas.
"Harusnya mulut lo yang gue pukul," sahut Katha.
Shae tertawa melihat kejadian di depannya. Namun, pertanyaan Langit tadi cukup menggelitik mulutnya untuk menuang minyak tanah dalam api.
"Kenapa, sih? Gue setuju sama Langit. Itu, kan, bisa jadi solusi terbaik kalau lo gak mau sama Rendra dan ikut kencan buta nggak jelas gitu."
"Solusi apaan?" protes Katha. "Yang ada itu nambah masalah. Siapa yang bisa bayangin gue hidup sama Rabu sampai tua? Horor ba ….”
"Kita," jawab Shae dan Langit bersamaan, memotong ucapan Katha.
“… nget.”
“Kamu tadi kabur dari kencanmu?” tuduh Agung. Katha yang baru masuk ke ruang keluarga, langsung tersentak. Dia terkejut karena tiba-tiba disemprot pertanyaan seperti itu. “Apanya yang kabur?” tanya Katha ketika dia sudah pulih dari keterkejutannya. “Tadi papanya Seiya telfon Papa. Katanya kamu ninggalin Seiya yang lagi sakit di Dufan.” Katha memutar bola matanya malas. Kini nilai minus saja sudah tak bisa dia berikan pada Seiya. Lelaki itu rupanya anak manja yang suka mengadu. Lagi pula, apa tadi? Sakit? Huh, omong kosong! batinnya. “Dia itu gila, Pa,” jawab Katha. “Astaga Katha.” Agung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu ternyata tidak sadar kalau kamu itu yang gila.” Tiba-tiba suara tawa terdengar dari arah tangga. Katha menoleh dan menemukan Kandara yang baru turun dari lantai dua. Kakaknya itu berpakaian santai dengan rambut masih basah. “Ketawa seenaknya. Keringin dulu itu rambut. Bikin becek!” Katha mel
Katha tidak pernah menyangka bahwa putra Pak Atmaja yang dijadwalkan kencan buta dengannya adalah lelaki yang pernah dia bantu di basement Atj Entertainment. Rakha Atmaja namanya. Katha cukup kecewa, karena dia merasa kalah sebelum berperang. Blus putih tipis dan rok mini merah yang dia pakai seperti tak berguna. Sejak pertama bertemu, fokus Rakha adalah wajah miliknya. Katha sempat berpikir, Rakha akan merasa malu atas kejadian waktu itu. Namun, dia keliru. Lelaki berambut cokelat gelap itu tampak sangat senang meski mulutnya mengungkapkan kata malu. Lantas, selama satu setengah jam pertemuan mereka, Rakha menceritakan banyak hal mengenai latar belakang kejadian di basement Atj Entertainment. Katha sendiri tak menyangka lelaki itu bisa menceritakan hal yang cukup sensitif dan pribadi pada dirinya. “Saya tidak biasanya seperti ini. Entah kenapa bertemu kamu membuat saya jadi bisa terbuka,” ungkap Rakha. Katha mengulas senyum tipis. D
“Oke, jadi maksudmu ngomong begitu tadi apa?” tanya Sakha saat dia dan Katha sudah pindah ke dalam mobilnya, walau masih di parkiran Angkasa. Itu pun Katha sering tidak fokus dan mencoba bersembunyi kalau-kalau Rabu keluar. Katha menoleh, lalu memberikan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau aku sepintar itu.” Bukannya menjawab pertanyaan Sakha, Katha malah memuji diri sendiri. “Jadi bagaimana? Aku masih tidak mengerti.” Sakha mengernyit. Sedari tadi dia penasaran dengan ajakan Katha soal menikah. Katha berdecak. “Masa nggak ngerti?” tanyanya. Dia merubah posisi duduk menghadap Sakha. “Kamu kenapa disuruh kencan buta terus?” “Karena Papa mau aku segera menikah.” “Kenapa?” Sakha mengangkat bahu. “Masalah intern,” jawabnya. Katha sebetulnya sudah tahu bahwa masalah yang diucap Sakha adalah mengenai hubungan keluarga mereka. Rakha menceritakan semua itu padanya. Sebab itu pula, dia tak merasa bisa melanjutkan percakapan dengan Ra
Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus. Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami. “Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung. Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya. “Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi. Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.” Agung mengerang frustasi. Dia meremas ram
Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas. Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya. “Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda. “Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya. Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay
Katha memperhatikan ruang kerja Sakha yang rapi dan didominasi oleh warna salem. Berbeda dengan ruangan Kandara di Athandara Production House yang memiliki nuansa abu-abu dan putih. Bahkan untuk nama perusahaan pun, Katha merasa bahwa Atj lebih keren dibanding perusahaan yang didirikan oleh papanya itu. “Terpesona sekali sepertinya,” tegur Sakha sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Katha. “Wow, bos buat minum sendiri, ya,” kekeh Katha. “OB yang buat. Aku cuma ambil di depan,” jelas Sakha sambil tertawa. “Minum, Tha. Udah kuminta buat hangat.” Katha mengangguk, lalu menyeruput teh hijau tanpa gula itu. Aroma teh bercampur melati memanjakan hidungnya. “Jadi gimana? Kemarin kamu nggak jawab telfonku.” Sakha memulai obrolan yang memang harus mereka bahas. Helaan napas Katha yang berat seakan sudah mampu menjawab hal apa yang terjadi usai kepulangan Sakha dari rumah keluarga perempuan itu. “Kita ketahuan, Ka,” ujar K
Katha sempat tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya kesadarannya pulih oleh gigitan seekor nyamuk di punggung tangannya. Ditepuknya nyamuk itu, namun luput. Hewan berdenging itu terbang menjauh dan menyisakan kejengkelan Katha dengan rasa gatalnya. Saat itulah dia bisa kembali fokus pada pembicaraan sang papa. “Papa lagi bercanda, kan?” tanya Katha. Dia ingin memastikan kalau papanya tadi hanya sekadar menggertak. Sebab, dia yakin kalau papanya akan menolak kalau memang benar siang tadi Rabu melamarnya. Terlebih, insiden kemarin belum terselesaikan. Agung menggelengkan kepala santai. Gurat kemarahan yang tadi tampak di wajahnya, entah bagaimana hilang begitu saja. “Papa kalau marah sama aku, marah aja. Aku memang salah,” aku Katha. Dia kemarin pun sudah berjanji pada Dewi untuk meminta maaf pada Agung. “Tapi, jangan bercanda yang nggak enak gini, deh.” Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Agung. Lelaki paruh baya itu hanya memperhatikan putrin
Hari ini Katha masih tidak mau bertemu Rabu. Kekesalannya belum reda, apalagi sang papa tidak mau mengubah keputusannya. Belum lagi Rabu yang tampak belum mau mengalah, membuatnya kembali mematikan ponsel sementara waktu. “Lo mau pulang sekarang?” tanya Kandara yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kantornya. Katha tersentak pelan, sebelum akhirnya menghela napas. Sedangkan Kandara langsung menertawakan keterkejutan Katha itu. “Makanya jangan ngelamun,” ujar Kandara sambil berjalan mendekat, lalu mengusap puncak kepala Katha. “Lo yang jangan muncul tiba-tiba,” sungut Katha, lalu menepis tangan Kandara dari atas kepalanya. Setelah itu, terdengar helaan napas Kandara. Lelaki itu memutar kursi Katha hingga menghadap dirinya. Ditatapnya wajah kesal sang adik. Keputusan Agung semalam sebetulnya juga mengganggu dirinya. Meski kemarin dia tampak tertawa-tawa, sesungguhnya itu hanya untuk mengalihkan perhatian Katha agar adiknya tidak terlalu