Di rumah Ayah dan Ibu sudah menyambutku dengan hangat. Mereka bahkan menyiapkan hidangan yang sangat banyak. Namun, entah terbuat dari apa hati keluargaku ini. Ia bahkan tak langsung bertanya kenapa aku hanya pulang sendiri. Padahal, sebelumnya aku mengabarkan jika pulang bersama suamiku.“Bu, maaf kali ini aku pulang sendiri.”“Sudah masuk dulu, pasti capek ‘kan.”“Nanti dulu, itu koperku masih ketinggalan.”“Tenang, Ayah yang beresin,” ucap Ayah yang saat itu tengah bersiap kembali ke mobil.Namun, malah dicegah Azam di jalan.“Azam aja Yah, nanti sekalian dianterin ke kamar.”Anak itu bukan hanya parasnya yang rupawan, tetapi sikapnya juga sangat pengertian. Ibu dan ayah pasti sangat menyukainya.“Biarin aja mereka rebutan, sudah biasa,” kata ibu, sambil menuntutku untuk masuk ke dalam.“Mau mandi dulu apa makan?”“Mandi dulu aja Bu, udah lengket banget,” ucapku.“Oke. Di kamar kamu sekarang ada water heaternya loh, mandi pakai air
PoV 3“Mas tolonglah jangan bikin semuanya makin ribet. Pergi aja!”Ilyas sedikit mendorong kakak iparnya itu sampai keluar ruangan. Ia bahkan butuh mengerahkan sedikit tenaga, karena memang Zayn masih bersi keras untu tetap tinggal“Yas, kamu lihat sendiri ‘kan? Nada mau bicara sama aku? itu artinya dia emang butuh aku.”Bahkan saat itu Zayn masih saja dengan keyakinannya kalau ialah orang yang paling dibutuhkan Nada saat ini.“Jangan memaksaku untuk menggunakan kekerasan. Aku masih menghormatimu, tapi jika Mas masih memaksa buat di sini, jangan salah aku kalau aku bersikap kurang ajar!”Zayn merasa ini tak adil. Dia mengenal Nada, wanita itu biasa marah. Ia hanya perlu waktu sebentar. Zayn yakin, setelah itu semuanya akan baik-baik saja.“Kalau begitu biarkan aku menunggu di luar!”Ilyas hanya menggeleng, pria itu mulai frustrasi. Di sisi lain ia merasa kasihan pada Zayn, tetapi melihat kondisi Nada, hatinya kembali sakit. Mereka masih saling m
“Aku enggak akan ganggu kamu kalau mau sendiri.”Seperti raga yang terpisah dengan jiwanya, wanita itu berjalan lurus, melewati beberapa ruangan. Hingga berhenti pada sebuah tempat terbuka hijau.Entah kenapa ia malah duduk di pinggiran lantai rumah sakit. Lalu, mulai terdiam sesaat. Usai, ia menyenderkan punggungnya pada tiang yang berada di sampingnya.Nada masih belum menyadari, jika pria itu masih mengikutinya.“Kamu tahu cara paling ampuh menghilangkan kesedihan, tapi kenapa enggak melakukannya?”15 menit berlalu akhirnya pria itu membuka suara. Ia tak tahan lagi melihat wanita di depannya yang menatap bintang dengan pandangan yang begitu pilu. Bukannya menjawab, Nada hanya diam saja.“Lepas alas kakimu, Nada!”Sekilas Nada mengalihkan fokusnya, seingatnya ia tak pernah memperkenalkan diri saat pertemuan terakhir mereka.“20 tahun yang lalu, seseorang datang padaku sambil berkata, kalau kamu sedih, kita cuma perlu mendongakkan wajah menatap
Menyadari Nada tak ada di ranjang, Ilyas yang panik seketika bangun dan mencarinya. Hingga fokusnya teralihkan pada kerumunan orang yang saat itu berada di dekat ruang terbuka hijau. Merasa akrab dengan teriakannya Ilyas nekat menerobos kerumunan.Melihat Nada yang ketakutan, tanpa aba-aba ia mendorong Zayn hingga pria itu kehilangan keseimbangan. Zayn terjatuh di lantai, tetapi Ilyas tak peduli hal itu. Rasa hormatnya menguap begitu saja. Mana kala melihat Nada yang terus saja menangis tanpa suara sambil menutup kedua telinganya.“Ayo ke ruangan lagi, Mbak!”“Mbak enggak mau ketemu dia, Dek.”“Iya, Mbak. Ilyas akan minta dia pergi dan menjauh dari Mbak, oke?”“Mbak udah enggak punya apa-apa, Dek. Apa lagi yang mau mereka minta.”“Enggak akan ada yang ganggu Mbak, aku jamin. Mbak aman sama aku!” Saat itu Ilyas membiarkan pundaknya basah, oleh kesedihan yang selama ini dibiarkan terpendam bertahun-tahun tanpa pernah ada
“Gini aja deh, kalau Mas memang benar-benar mau balikkan sama Mbakku. Bisa enggak kamu kosongin rumah itu! bukankah rumah itu juga dibeli pakai uang Mbak Nada.”“Apa maksudmu Yas, aku enggak mungkin mengusir ibuku sendiri!”Ilyas justru tersenyum tipis.“Itulah bedanya kamu dan Mbak Nada. Dia rela menyerahkan apa pun yang dia punya demi kebahagiaan kamu, tapi kamu malah sebalinya. Aku bukannya enggak sanggup menghidupi anak dan istrimu, tapi aku hanya ingin tahu sejauh apa usahamu untuk menjaga keluargamu supaya tetap utuh.”Zayn hanya terdiam. Pilihanya terlalu sulit baginya.“Keenakan dimanjain sama Mbakku ya, udah biasa nyuruh istrinya berkorban. Sampai-sampai cuma ngelakuin hal kecil aja udah nolak duluan. Cemen.”Smirk di wajah Ilyas sungguh menyinggung Zayn. Ia merasa sangat direndahkan sebagi seorang laki-laki, apa lagi saat pemuda itu menggeser tubuhnya dengan kasar, saat ia tak sengaja menghalangi jalannya.Seka
“Kamu usir Ibu dari sini?”“Aku akan carikan rumah buat ibu.”“Kamu lebih milih orang lain, yang baru kamu kenal, dari pada ibu kandungmu sendiri?”Utami menatap lemah, ia benar-benar tak percaya pada akhirnya putranya bukan hanya berani mengusir kakak kandungnya, tetapi dirinya juga. Sekilas pandangannya menjadi kabur, karena linangan air mata yang menggenang di pelupuk.Hanya butuh satu kedipan saja, untuk membuat wajahnya menjadi basah.“Tolong jangan menangis, aku melakukan ini bukan karena tak menyayangi Ibu. Hanya saja yang ibu lakukan juga tak kalah menyakitkan. Aku baru saja kehilangan calon bayiku, bisakah ibu tenang sedikit. Aku enggak mau mendengar apa pun, terlebih jika yang itu menjelekkan Nada.”Zayn melangkah meninggalkan Ibu yang masih terpaku sambil menangis tanpa suara. Marah, kesal dan kecewa memenuhi perasaannya. Ia memang salah, tetapi haruskah kesalahan ini layak membuatnya terusir di rumah ini.“Ap
“Loh, bukannya Mas yang kirim bunga sekalian makan siang?”“Aku enggak pernah mengirimkan apa pun.”Saat itu Zayn merasa heran, ia sendiri memang mempertanyakan beberapa buket bunga yang selalu ada di nakas. “Kamu enggak pernah lihat siapa yang ngirim?”“Enggaklah, aku pikir Mas. Ngapain juga aku mengurus hal seperti itu.”“Besok dia ngirim lagi enggak?”“Kenapa cemburu? Lihatlah Mas, kamu punya saingan sekarang.”Kenyataannya meski ia menerima kehadiran Zayn, setiap malam. Ilyas tetap menaruh kebencian, karena sikapnya yang kurang tegas. Kakak perempuannya harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit sampai berhari-hari.Saat itu sejujurnya Zayn merasa sedikit resah. Jika seseorang mengirim bunga dan makanan setiap hari, tentu saja sebagai seorang laki-laki dia paham sekali, apa tujuan dari perlakuannya itu.Malam itu tepat akhir pekan. Jadi, sepertinya Abah baru akan mengunjungi rumah sakit di s
Abah mendadak terdiam. Dia sendiri bahkan tak bisa memberikan keterangan atas sesuatu yang tidak dia ketahui. “Kasus seperti ini memang jarang ditemukan, tetapi kami akan melakukan yang terbaik. Beruntung pasien masih dalam pengawasan, kebanyakan pasien yang mengidap depresi, memilih mengakhiri hidupnya dengan cara yang salah. Saya tidak bisa memastikan kapan pasien akan bangun. Sebenarnya ia bisa saja bangun kapan saja jika ada kemauan kuat, sayangnya pasien sendiri seakan-akan ingin tetap tertidur. Meskipun sudah melewati masa kritisnya, detak jantungnya masih sangat lemah. Bantu doa, ya.”Kepergian Dokter itu sungguh meninggalkan luka yang mendalam, bagi ketiga laki-laki itu. Ketiganya saling diam, sibuk merutuk dirinya masing-masing. Terutama Zayn, karena dalam hal ini dialah yang paling dekat dengan Nada, tetapi yang menjadi yang tidak tahu apa-apa.“Kita 3 orang, tetapi melindungi 1 wanita saja tidak bisa,” kata Abah dengan suara yang gemetar.