Menyadari Nada tak ada di ranjang, Ilyas yang panik seketika bangun dan mencarinya. Hingga fokusnya teralihkan pada kerumunan orang yang saat itu berada di dekat ruang terbuka hijau. Merasa akrab dengan teriakannya Ilyas nekat menerobos kerumunan.Melihat Nada yang ketakutan, tanpa aba-aba ia mendorong Zayn hingga pria itu kehilangan keseimbangan. Zayn terjatuh di lantai, tetapi Ilyas tak peduli hal itu. Rasa hormatnya menguap begitu saja. Mana kala melihat Nada yang terus saja menangis tanpa suara sambil menutup kedua telinganya.“Ayo ke ruangan lagi, Mbak!”“Mbak enggak mau ketemu dia, Dek.”“Iya, Mbak. Ilyas akan minta dia pergi dan menjauh dari Mbak, oke?”“Mbak udah enggak punya apa-apa, Dek. Apa lagi yang mau mereka minta.”“Enggak akan ada yang ganggu Mbak, aku jamin. Mbak aman sama aku!” Saat itu Ilyas membiarkan pundaknya basah, oleh kesedihan yang selama ini dibiarkan terpendam bertahun-tahun tanpa pernah ada
“Gini aja deh, kalau Mas memang benar-benar mau balikkan sama Mbakku. Bisa enggak kamu kosongin rumah itu! bukankah rumah itu juga dibeli pakai uang Mbak Nada.”“Apa maksudmu Yas, aku enggak mungkin mengusir ibuku sendiri!”Ilyas justru tersenyum tipis.“Itulah bedanya kamu dan Mbak Nada. Dia rela menyerahkan apa pun yang dia punya demi kebahagiaan kamu, tapi kamu malah sebalinya. Aku bukannya enggak sanggup menghidupi anak dan istrimu, tapi aku hanya ingin tahu sejauh apa usahamu untuk menjaga keluargamu supaya tetap utuh.”Zayn hanya terdiam. Pilihanya terlalu sulit baginya.“Keenakan dimanjain sama Mbakku ya, udah biasa nyuruh istrinya berkorban. Sampai-sampai cuma ngelakuin hal kecil aja udah nolak duluan. Cemen.”Smirk di wajah Ilyas sungguh menyinggung Zayn. Ia merasa sangat direndahkan sebagi seorang laki-laki, apa lagi saat pemuda itu menggeser tubuhnya dengan kasar, saat ia tak sengaja menghalangi jalannya.Seka
“Kamu usir Ibu dari sini?”“Aku akan carikan rumah buat ibu.”“Kamu lebih milih orang lain, yang baru kamu kenal, dari pada ibu kandungmu sendiri?”Utami menatap lemah, ia benar-benar tak percaya pada akhirnya putranya bukan hanya berani mengusir kakak kandungnya, tetapi dirinya juga. Sekilas pandangannya menjadi kabur, karena linangan air mata yang menggenang di pelupuk.Hanya butuh satu kedipan saja, untuk membuat wajahnya menjadi basah.“Tolong jangan menangis, aku melakukan ini bukan karena tak menyayangi Ibu. Hanya saja yang ibu lakukan juga tak kalah menyakitkan. Aku baru saja kehilangan calon bayiku, bisakah ibu tenang sedikit. Aku enggak mau mendengar apa pun, terlebih jika yang itu menjelekkan Nada.”Zayn melangkah meninggalkan Ibu yang masih terpaku sambil menangis tanpa suara. Marah, kesal dan kecewa memenuhi perasaannya. Ia memang salah, tetapi haruskah kesalahan ini layak membuatnya terusir di rumah ini.“Ap
“Loh, bukannya Mas yang kirim bunga sekalian makan siang?”“Aku enggak pernah mengirimkan apa pun.”Saat itu Zayn merasa heran, ia sendiri memang mempertanyakan beberapa buket bunga yang selalu ada di nakas. “Kamu enggak pernah lihat siapa yang ngirim?”“Enggaklah, aku pikir Mas. Ngapain juga aku mengurus hal seperti itu.”“Besok dia ngirim lagi enggak?”“Kenapa cemburu? Lihatlah Mas, kamu punya saingan sekarang.”Kenyataannya meski ia menerima kehadiran Zayn, setiap malam. Ilyas tetap menaruh kebencian, karena sikapnya yang kurang tegas. Kakak perempuannya harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit sampai berhari-hari.Saat itu sejujurnya Zayn merasa sedikit resah. Jika seseorang mengirim bunga dan makanan setiap hari, tentu saja sebagai seorang laki-laki dia paham sekali, apa tujuan dari perlakuannya itu.Malam itu tepat akhir pekan. Jadi, sepertinya Abah baru akan mengunjungi rumah sakit di s
Abah mendadak terdiam. Dia sendiri bahkan tak bisa memberikan keterangan atas sesuatu yang tidak dia ketahui. “Kasus seperti ini memang jarang ditemukan, tetapi kami akan melakukan yang terbaik. Beruntung pasien masih dalam pengawasan, kebanyakan pasien yang mengidap depresi, memilih mengakhiri hidupnya dengan cara yang salah. Saya tidak bisa memastikan kapan pasien akan bangun. Sebenarnya ia bisa saja bangun kapan saja jika ada kemauan kuat, sayangnya pasien sendiri seakan-akan ingin tetap tertidur. Meskipun sudah melewati masa kritisnya, detak jantungnya masih sangat lemah. Bantu doa, ya.”Kepergian Dokter itu sungguh meninggalkan luka yang mendalam, bagi ketiga laki-laki itu. Ketiganya saling diam, sibuk merutuk dirinya masing-masing. Terutama Zayn, karena dalam hal ini dialah yang paling dekat dengan Nada, tetapi yang menjadi yang tidak tahu apa-apa.“Kita 3 orang, tetapi melindungi 1 wanita saja tidak bisa,” kata Abah dengan suara yang gemetar.
“Ilyas, apa yang kamu lakukan? Kamu sadar enggak, ini rumah sakit. Selesaikan masalah kalian di luar, kamu tak memikirkan Mbakmu, hah? Kalian malah ribut di sini.”Suara Abah begitu menggelegar. Bahkan Ilyas yang sejak tadi, terus saja menyerang Zayn, mendadak menghentikan aksinya.“Sialan! Urusan kita belum selesai. Aku enggak akan melepaskan ibumu.”“Apa maskud kamu bawa-bawa ibu?”“Kamu tanyakan pada wanita tua itu, apa yang dia katakan sampai membuat mbakku berada di sini!”Zayn terdiam, tetapi saat itu petugas keamanan menggiringnya keluar rumah sakit. Atas permintaan Ilyas, Zayn bahkan dilarang menemui Nada. Sungguh berat bagi Zayn harus mengetahui ibu membuat wanita yang ia cintai di ambang kematian. Kenapa setelah semua hal, ia masih saja mencari kesempatan untuk menyakiti Nada. Detik itu juga, Zayn mendatangi ibu yang kini berada di rumah yang ia sewa. Ia tinggal bersama. Setelah ditinggalkan Aya, Gavin bahka
“Kamu menyerah, Nad? Maafkan aku yang terlambat menyadarinya.”Siang itu Zayn menuju kantor polisi, Arnav dibebaskan. Anak itu bahkan terus saja bertanya tentang keberadaan Nada.“Kenapa bukan Bunda yang jemput?”“Bundamu lagi istirahat.”“Loh, Bunda sakit lagi? Bukannya Bunda lagi hamil, kok sakit-sakitan terus, adikku enggak apa-apa ‘kan?”Zayn bahkan hanya bisa terdiam. Ia sendiri bingung menjelaskannya.“Ayah jangan diam aja! Semuanya baik-baik aja ‘kan?”Saat itu Zayn benar-benar terganggu dengan rentetan pertanyaan putranya. Ia tiba-tiba saja menghentikan laju kendaraan. Lantas, menatap Arnav, sambil memegang kedua bahunya.“Ayah harap semuanya akan baik-baik saja setelah Bunda ketemu kamu. Jadi bisa ‘kan biarkan Ayah berkonsentrasi menyetir? Ayah bawa ponselmu di belakang. Ambil saja, ada di tas.”“Aku enggak butuh ponsel Ayah, aku hanya ingin tahu kabar Bunda.”“Kalau memang kamu sayang
“Kamu lebih sayang nenekmu atau bunda?”“Bundalah Om, dia yang selalu ada buat aku. Andai aku menurutinya, seharusnya semua ini enggak akan terjadi.”“Nav, jika Om melakukan sesuatu pada Nenekmu, apa kamu akan marah?”“Jika ini sakitnya bunda, karena nenek. Aku enggak akan bisa maafin dia.”Ilyas hanya tersenyum saja.“Hapus air matamu, anak laki-laki itu harus kuat.”“Aku mau ketemu dulu. Boleh ‘kan Om? Aku harus jelaskan sama Bunda, kalau aku menusuk anak itu karena dia mau membunuh temanku. Aku hanya membela diri, kalau aku enggak menusuknya, berapa banyak lagi teman-temanku yang jatuh dan meninggal. Percayalah Om, aku enggak mungkin nusuk orang gitu aja. Kalau jadi aku apa Om akan diam aja, kalau ngeliat orang lain mau menusuk anak perempuan yang enggak salah apa-apa?”Saat itu Ilyas bahkan melihat Arnav yang gemetar.“Om tahu niatmu baik Nav, tapi masalahnya tawuran itu bukan perbuatan yang diterima ba