Share

Papa Ian

"Vouchers."

Dahiku berkerut heran. "Vouchers?"

Zean mengangguk. "Wishing vouchers. Three is enough."

Mataku ⎼yang kata orang sudah sipit⎼ makin menyipit, menatap Zean curiga. Bagaimanapun, biasanya kupon keinginan itu inisiatif pemberi. Bukan request penerimanya.

"Kamu nggak akan minta yang aneh-aneh, 'kan?"

Pemuda itu menggeleng. Kali ini bibirnya membentuk cengiran jahil.

"Tapi wajahmu nggak meyakinkan!" protesku.

Zean tertawa. "Bagaimana kalau aku menyebutkan apa yang kuinginkan dan Anna tinggal membuat voucher-nya? Jadi, aku bisa memakai voucher itu di saat aku benar-benar menginginkannya, dan Anna hanya perlu mengabulkannya tanpa penolakan. Bagaimana?"

Aku menatap Zean ragu. Keinginannya benar-benar mencurigakan. Bagaimana kalau ternyata Zean menggunakan voucher itu untuk mengerjaiku? Meskipun persentase Zean yang mengerjaiku berkali-kali lipat lebih kecil dari kak Naki dan Chris, tetapi tetap saja tidak menutup kemungkinan, kan?

"Ok. I'll tell you what I want, and you can think about it. Deal?"

Tiba-tiba sebuah kesimpulan muncul dalam benakku. "Why do I think that you want me to make a contract with you?"

Zean terdiam sesaat, sebelum senyumnya kembali merekah.

"Contract, huh? Sounds cool," ujarnya dan aku langsung memutar mata.

"Then, it's not vouchers anymore. It'll be a contract, Zean."

"Whatever you say, Baby. Just fulfill my request."

Melihat Zean yang sangat bersemangat, aku tak kuasa merasa waswas dan curiga. "They're not something inappropriate, right?"

Zean menggeleng dengan senyuman masih terpajang di wajah tampannya. "Nope."

Setelah diam untuk berpikir selama dua detik, aku menyerah. Rasa penasaran membuatku tidak nyaman. Memangnya apa yang sangat diinginkan Zean dariku? Jelas-jelas pemuda itu memiliki banyak hal yang aku tidak punya. Itupun jika saudara laki-laki yang kadar menyebalkannya berkembang secara konsisten dan ayah yang banyak menuntut, tidak masuk ke dalam hitungan.

"Ok. What’s your wish?"

***

Sendi-sendi tubuhku terasa kaku, terutama kaki dan bahuku. Aku yakin kalau ini adalah salah satu dari after effect setelah pertandingan basket antar kompleks yang berakhir dua jam yang lalu. Bodohnya, aku yang datang terlambat tidak melakukan pemanasan dengan seharusnya. Jadi, aku tidak berhak untuk protes karena kondisi tubuhku jadi begini. 

Ya. Ini salahku karena tidak pintar membual ataupun mengarang alasan. Karena kalau aku bisa memberikan alasan yang cukup meyakinkan dalam sekali coba, aku tidak akan terlambat datang. 

Pasalnya, kepala keluarga Reefhitch sangat menentangku bermain dengan anak kompleks lainnya. Tidak hanya baseball, tapi juga basket. Alasannya pun cukup sederhana. Karena mereka semua adalah laki-laki, dan aku satu-satunya perempuan dalam tim.

Padahal kemampuanku bisa dibilang setara meskipun ⎼harus kuakui kalau⎼ staminaku masih sedikit di bawah para pemain laki-laki. Selama ini, mereka juga memperlakukanku dengan baik. Jika aku mengalami cedera, mereka mau bertanggung jawab untuk mengantarku pulang dan menjelaskan pada papa tentang duduk perkaranya. Sayangnya, semua itu tidak berarti apapun di mata papa.

Sungguh sangat pengertian. Maafkan sarkasme-ku.

Aku memang bisa bermain basket di kampus yang mana peminat basket berjenis kelamin perempuan terbilang cukup banyak. Akan tetapi, aku sudah sejak SMP bermain basket dengan teman-teman kompleksku, setelah tim baseball tercintaku bubar. Mereka juga punya kesibukan, tetapi mau meluangkan waktu untuk bermain bersama. Jadi, kenapa aku tidak? Lagipula, dibandingkan kerugian, aku justru mendapat banyak keuntungan dari "circle basket kompleks"-ku.

Tidak hanya teman, aku juga mendapatkan banyak kakak laki-laki dengan berbagai macam karakter dan cara dalam menunjukkan perhatian. Salah satu contohnya, mereka tidak sungkan mentraktirku, meskipun ada kalanya mereka pelit pada satu sama lain, kecuali aku. Karena mereka dari berbagai macam latar belakang, mereka juga kerap kali memberiku wawasan baru. Mereka juga merangkap jadi bodyguard saat lingkungan memberikan sinyal buruk. Mereka juga menjadi guru, sekaligus tim medis saat kami di lapangan.

They felt like brothers to me. They're DO my brothers, even though we're not knotted by the blood.

Aku maklum kalau papa bersikukuh dengan pendapatnya, karena papa memang tidak ikut merasakan perhatian yang mereka limpahkan padaku. Atau mungkin, papa hanya tidak mau aku disakiti oleh mereka. Karena papa peduli padaku.

Atau anggap saja begitu. Meski image keluarga masih ⎼dan akan selalu⎼ menjadi prioritas seorang Sebastian Reefhitch. Ya. Di atas apapun, termasuk keinginan pribadi dan kesenanganku.

Jadi, selama ini, aku hanya bermain aman hanya agar Papa tidak melarangku bermain basket dengan mereka, dan jam rekreasi mingguanku tidak diusik. Sudah cukup papa membatasi waktu bermainku dengan Chariz dan Reina, kedua sahabatku. Jangan sampai papa marah dan merambah ke hal lain yang tidak hanya akan berdampak buruk bagi kebebasanku, tapi juga nama baik keluarga. Lagi.

Iya, aku pernah membuat papa super marah saat aku masih SMP karena aku berulah di pesta salah satu koleganya. Lebih tepatnya, aku tengah membela diri, tapi lawanku terlalu lemah. Pada akhirnya, aku ⎼yang masih berdiri kokoh di depan bocah dua belas tahun yang duduk di lantai dengan hidung mimisan⎼ yang terlihat menjadi penjahatnya. 

Setelah kejadian malam itu, aku jadi semakin tunduk pada papa. Karena usai pesta, Tuan Sebastian Reefhitch membuatku merasakan "menghidupi" mimpi buruk selama dua bulan penuh. Demi apapun, aku tidak mau hal itu terulang kembali.

Jadi, malam ini, aku duduk manis di dalam mobil ⎼menahan pegal dan linu di persendian tubuhku⎼ dalam diam. Kalau dalam bahasa papa Ian, ini adalah konsekuensi pilihanku. Aku tahu kalau harus menghadiri makan malam di kediaman Daddy Austin Kanatta, tapi aku nekat ikut pertandingan basket tiga jam yang lalu. Nekat bermain full set juga. Padahal tubuhku masih perlu banyak istirahat, after effect dari mengerjakan tugas sampai begadang.

Ya, ya, ya. Ini salahku. I got it.

"Kalau mau tidur, tidur dulu aja, Ka. Nanti kakak bangunin kalau sudah sampai," ujar kak Naki yang duduk di belakang kemudi. Karena aku yang memakan waktu lama untuk bersiap-siap, akhirnya papa memutuskan untuk berangkat terlebih dahulu dengan mama. Jadi, kakak sulungku mendapat mandat untuk memastikan bahwa aku dan Chris, si Bungsu di keluarga kami, segera menyusul mereka menuju rumah daddy Austin.

Menjawab saran kak Naki, aku menggeleng lemah, sok kuat. "Aku nggak apa-apa, kok."

"Kata Nico, kalo cewek bilang sesuatu yang berakhiran 'kok' atau 'sih', biasanya itu bohong."

Kulirik Chris, adik bungsuku yang duduk di samping kak Naki yang sedang mengemudi. Ini maksudnya apa, coba? Padahal, tadi pagi mereka sengaja meninggalkanku yang panik karena mobilku tiba-tiba mogok. Kenapa sekarang mereka jadi baik begini?

"Ada udang di balik rempeyek, ya?" tanyaku sambil menatap kak Naki dan Chris bergantian dari kursi belakang yang kutempati sendirian.

"Lhooo yaaa." Kedua laki-laki, yang terlihat rapi dengan pakaian berwarna senada dengan dress biru dongker yang kukenakan itu, mendadak koor. Dari spion tengah, kak Naki membuat ekspresi sok sedih, seperti yang dilakukan Chris, sebelum pelajar kelas satu SMA itu memalingkan wajah menatap keluar jendela.

"Cowok emang selalu salah di mata cewek, Kak," ujar Chris tiba-tiba saat ia kembali menatap kak Naki. Netra coklat tuanya menatap kakak sulung kami dengan sorot sok sedih yang benar-benar buruk. Aku akui kalau bocah enam belas tahun itu punya wajah dan tubuh yang rupawan. Intelegensinya juga cukup bagus, tapi kalau ada hubungannya dengan berakting, he's the worst in Reefhitch family.

Atau kali ini, ia memang sengaja memperlihatkan sarkasmenya? Dasar adik durhaka!

Kemudian, kak Naki menatapku dari pantulan spion tengah. Kedua mata coklat tuanya mengerling jahil. Sebuah pertanda tidak bagus.

"Meskipun sekarang aku bisa menang mudah, tapi aku nggak mau cari masalah sama Zean and his daddy. Which mean, aku yang rugi kalo ngejahilin kamu sekarang."

Walaupun aku sadar kalau alasan kak Naki masih mengandung sarkasme yang kental, tapi aku memilih untuk mengambil poin lain yang lebih penting dan berguna. Kalau aku istirahat sekarang, masih ada lima belas sampai dua puluh menit untuk sampai ke kediaman keluarga Austin Richard Kanatta. Dan itu waktu yang lebih dari cukup untuk kembali memulihkan tenaga.

Oke. Sepertinya layak dicoba.

Aku memajukan diri di antara kursi kak Naki dan Chris. Kemudian, menatap keduanya bergantian dengan tatapan serius separuh mengancam. "Beneran aku bakal dibangunin, kan?"

"Iya, Kak. Udah tidur sana. Kak Eka resek kalo lagi ngantuk," jawab Chris cuek sambil mengeluarkan gawai dari saku kemeja yang ia kenakan.

"Waktu lapar juga, Chris," imbuh kak Naki santai.

"Oh, juga waktu PMS."

"Sudah! Diam!"

Kedua laki-laki itu malah terkekeh, lalu menepukkan salah satu telapak tangan ke arah satu sama lain. Kompak mengajak tos sebagai bentuk selebrasi karena sudah berhasil membuatku kesal. Ini bukan pemandangan baru. Jadi, aku tidak terlalu peduli. Yang lebih penting, aku harus istirahat jika tidak ingin mengacau karena mood yang tidak tertata akibat kelelahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status