Share

Zombies

Tuh, kan.

Meski pencahayaannya remang-remang, aku masih bisa mengenali mobil mewah di luar jendela sisi kananku sebagai city car kesayangan Zean. Itu artinya, kami sudah sampai tujuan, dan kedua saudaraku itu benar-benar merealisasikan prasangkaku sebelumnya. Bahwa mereka tidak akan membangunkanku saat sudah tiba. Yang tidak kusangka, mereka benar-benar meninggalkanku di dalam mobil yang sudah diparkir di dalam garasi.

Pintar sekali. Kalau begini, tidak ada yang akan tahu kalau aku masih terlelap di dalam mobil. Kecuali, jika ada yang mau berjalan jauh ke dalam garasi kediaman Kanatta yang sudah seperti showroom mobil mewah di basement. Situasi akan jauh berbeda jika mobil diparkir di halaman seperti biasanya karena ada petugas keamanan yang berjaga di luar.

Baiklah. Ini juga adalah salahku karena sudah percaya pada kak Naki dan Chris. Padahal pengalaman sudah mengajarkan agar tidak memberi mereka kesempatan untuk mengerjaiku, tapi aku masih saja terjebak dengan bodohnya.

Namun, kali ini berbeda. Aku tidak akan tinggal diam! Terserah kalau mereka mau mengataiku pengadu. Aku juga tidak peduli kalau papa akan membela mereka berdua. Masa bodoh jika aku dikatai memanfaatkan nama panggilan Anna yang berstatus "putri kesayangan" daddy Austin. Yang penting sekarang, aku tidak sendirian saat dijahili. Ada daddy Austin dan Zean yang kini menjadi backup-ku! Tunggu saja pembalasanku!

JGREEK! KREK!

Dahiku mengernyit heran saat gagal membuka pintu. Semuanya, pintu di kedua sisi kursi penumpang di belakang, terkunci. Ketika aku memperhatikan jendela, nyaris tidak ada celah untuk pergantian udara, dan ini bukan pertanda bagus.

Tunggu! Mereka tidak sedang berusaha untuk membunuhku, kan?

Atau aku masih bermimpi?

"DDUUK!!" Tiba-tiba tangan besar yang berdarah-darah memukul kaca jendela sebelah kanan.

Aku nyaris berteriak saat melihatnya. Beruntung aku hanya terjingkat ke sisi kiri, arah yang berlawanan dengan posisi tangan aneh itu.

"GRUUUAAAGH!!" Sepersekian detik kemudian, muncul wajah zombie jelek mengerikan yang penuh darah dengan mata merah menatapku nyalang.

"KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!" teriakku histeris sambil menjauh ke sisi jendela yang berlawanan. Akal sehatku menolak percaya. Terlepas dari aku yang memang anti pada hal gaib, hal ini memang terlalu aneh.

Maka, dengan keberanian yang tersisa, aku berusaha mengamati detail pada zombie yang terlihat marah sambil menggedor-gedor jendela mobil. Kaos yang ia kenakan sobek sana sini. Cairan kental berwarna merah membuat jejak di kaca jendela saat jemarinya bergerak turun, seolah mencakar kaca karena tidak terbuka. Zombie itu makin lama makin agresif, seolah memaksa ingin masuk.

Oke. Ini terlalu nyata.

Tepat ketika aku berusaha membuka pintu satunya, muncul zombie lain yang tidak kalah mengerikannya. Aku diserang dari kedua sisi.

Aku panik. Mataku memindai cepat ke sekitar, mencari benda yang bisa digunakan untuk melindungi diri. Namun, bunyi "klik" yang terdengar membuatku otomatis menatap ke arah kuncian pintu.

Sial! Kuncinya terbuka! Sebelum si zombie di sebelah kanan sadar, aku segera bergerak untuk mengunci ulang pintu mobil. Namun, tepat ketika aku hendak beralih pada pintu sebelah kiri, pintu itu sudah agak terbuka. Gerakanku kurang gesit untuk meraihnya karena si zombie di sebelah kiri sudah bergerak cepat menerobos masuk ke dalam mobil, ke arahku.

KYAAAA!! PERGI! PERGI!” teriakku histeris sambil bergerak mundur, menjauh dari sosok menjijikkan itu. Panik dan ketakutan seketika menyelimuti ketika si mayat hidup tiba-tiba menyeringai lebar. Persis seperti psikopat yang akhirnya bertemu dengan sang buruan. Terlebih, saat makhluk menakutkan itu tiba-tiba mendekatiku dengan cepat.

Spontan, aku mengangkat kedua kakiku yang gemetar, kombinasi antara ketakutan dan sisa kelelahan, lalu menendang udara ke arahnya sambil menutup mata erat-erat. Berharap tendangan liarku berhasil mengenai si zombie dan melumpuhkan makhluk menjijikkan itu.

Bau anyir yang menyengat, menerobos masuk ke dalam mobil. Tidak berhenti sampai disitu, sebuah tangan yang basah dan lengket tiba-tiba mencengkram kaki kananku. 

KYAAAA!! LEPASKAN AKU! DASAR MENJIJIKKAN!” teriakku histeris bercampur takut. Kedua kaki jenjangku spontan menendang udara agar genggaman tangan menjijikkan itu terlepas.

Sialnya, keadaan masih belum berpihak padaku. Pegangan tangannya terlalu kuat. Kakiku susah lepas.

GROAAAA!!” teriak si zombie tiba-tiba dengan tatapan nyalang yang ditujukan padaku, seolah memarahiku karena tidak bisa menjadi makanan yang duduk diam dengan manis.

DI SITUASI BEGINI MANA BISA AKU TIDAK PANIK?! DASAR JELEK!

 Bukannya berhenti, aku justru menendang makin liar. Sialnya, kakiku masih belum juga bisa lepas. Zombie jelek itu kenapa bisa kuat sekali, sih?!

Sampai pada akhirnya, aku mulai lelah. Tenagaku hampir habis, dan mataku terlalu basah untuk melihat perubahan ekspresi si zombie. Harus kuakui, aku mulai kalah dari ketakutan yang sedari tadi berusaha menggerogoti nyaliku.

“ZEAN!! … ZEAN!... hiks ... tolong aku …,” tangisku pun akhirnya pecah. Kupejamkan mataku erat-erat. Setidaknya, indera penglihatanku tidak diracuni oleh sosok buruk rupa yang mampu memperburuk imajinasiku. Aku bahkan sudah tidak peduli air mataku jatuh seberapa deras karena ketakutan. Atau seberapa keras aku mengerang sambil menangis seperti anak kecil yang ketakutan.

Sebagai mimpi buruk, ini terlalu nyata! Seseorang, tolong bangunkan aku!!

Dan dengan segenap sisa kekuatan, aku masih berusaha menendang ke segala arah. Aku hanya berharap cengkramannya lepas. Akan jauh lebih bagus lagi, jika bisa sekalian melumpuhkan zombie itu.

Namun, anganku harus pupus, karena pergelangan kakiku yang lain justru berhasil ditangkap si zombie. Imajinasiku pun menjadi liar, dan tangisku makin menjadi. Terutama saat aku merasakan sesuatu, seperti gigi yang lengkap dengan lendir nan menjijikkan, menyentuh kulit kakiku. Tubuhku melemas dan aku hanya bisa menangis ketakutan.

HUAAA!! ZEAAAN!! PAPAAA! KAK NAKII!!

Aku tidak mau mati sekarang! Aku belum menyelesaikan game PC di rumah Reina. Aku juga belum melihat Popom, kucing peliharaan Chariz menjadi seekor(?) ayah. Aku juga masih belum melampaui prestasi kak Naki dan membuat papa bangga. Pokoknya aku harus hidup! Bagaimanapun caranya, aku harus hidup!

Sebelum aku sempat merangkai rencana untuk menyelamatkan diri, samar-samar aku mendengar suara berdebum dan cengkraman di kakiku tiba-tiba terlepas. Masih ada suara berisik lain yang tidak terlalu jelas, tapi yang pasti, aku mendengar suara Zean yang sedang marah.

Saat itulah aku membuka mata perlahan dengan ragu bercampur takut.

Aku spontan menghela napas lega saat tidak mendapati si mayat hidup itu berada di dekat pintu mobil yang terbuka. Ketika aku menoleh perlahan ke arah belakang, tempat zombie sebelah kanan yang tadi berhasil kucegah masuk, ia juga tidak ada. Namun, jejak darah di kaca mobil masih ada di sana. Membuatku seketika menegang kaku. Ketakutan.

Sial! Apakah aku belum bangun?

"Anna, are you ok?" panggil Zean lembut. Saat aku kembali menoleh pada pintu yang terbuka di dekat kakiku, sosok tampan Zean menatapku cemas.

"... Zean?" panggilku lirih dengan suara gemetar. Tidak hanya suara, tapi tubuhku ikut gemetar. Memancarkan ketakutan yang nyata karena otakku masih menayangkan ingatan tentang zombie yang berada di sana beberapa saat yang lalu.

Zean tersenyum menenangkan. "It's ok, Anna. Come here." Ia mengulurkan tangannya.

Perlahan, kuulurkan tanganku, menyambutnya. Saat sentuhan tangan Zean terasa nyata, aku segera berhambur ke arahnya dan mengalungkan lenganku ke lehernya. Aku bahkan tidak peduli jika Zean sempat terhuyung ke belakang karena tidak siap. Sambil menenggelamkan wajah ke ceruk leher Zean, tangisku kembali pecah. Melampiaskan semua ketakutan yang tadi kurasakan.

Tak lama kemudian, aku merasakan sentuhan tangan Zean bergerak lembut mengusap punggungku, dengan lengan lain yang melingkari pinggangku. Memberikan pelukan yang membuatku perlahan merasa aman. Merasa dilindungi.

"It's ok, Anna." Kudengar suara Zean lirih di dekat telingaku.

"... ada zombi, Zean ...," tangisku. "... Aku hampir dimakan zombie ...."

"They're not real, Anna," bisiknya lembut, kemudian mengecup pundak kepalaku.

"... tapi ada jejaknya di kaca jendela ...." rengekku sambil menunjuk kaca jendela yang ada bercak darahnya.

"They're just your brothers, Baby."

Detik berikutnya, akal sehatku mulai kembali berfungsi.

Benar juga.

Kenapa aku tidak memikirkan kemungkinan itu sebelumnya? Apakah karena efek kejut dan desakan? Jadi, mereka sengaja melumpuhkan nalarku agar naluri pertahanan diri untuk mengambil alih kendali? Agar aku tidak punya waktu untuk berpikir selain mempertahankan hidupku?

Perlahan, aku mengendorkan pelukanku, lalu menatap Zean penuh harap. "Really?"

Netra biru Zean yang meneduhkan menatapku tenang. Pemuda itu mengangguk, lalu menoleh ke arah kanan. Detik itu juga, aku ikut melihat ke arah Zean menatap.

Tidak jauh di belakang mobil, kedua saudaraku terlihat sedang mengancingkan kemeja dengan tergesa, seolah mereka baru saja berganti pakaian. Ketika pandanganku jatuh ke arah kaos compang camping, topeng yang tidak terlihat jelas, dan sarung tangan mencurigakan dengan cat berwarna merah yang tercecer di dekat mereka, benakku mulai merangkai sebuah teori.

It’s really just their freaking prank! Like usual! Bedanya, kali ini mereka berdua lebih totalitas. Sampai-sampai, mereka rela berganti kostum, serta menyiapkan cat sebagai pelengkap. Atau bahkan darah sungguhan karena tadi tercium bau anyir khas darah.

Benar juga. Kenapa aku sampai lupa kalau mereka memang sekurang kerjaan itu?

Seketika, aku menghela napas lega. Dahiku kutempelkan ke dada Zean selama beberapa saat. Berusaha menata pikiranku yang sempat kacau dan menetralkan laju napasku yang masih agak terisak.

"Zean, can you help me?" tanyaku lirih.

"Sure. How can I help you, Baby?"

Aku mendongak menatap lurus netra biru Zean, lalu menunjuk ke arah kak Naki dan Chris yang kini sibuk membereskan "atribut" mereka ke dalam bagasi mobil kak Naki.

"Jangan hentikan aku." 

Setelahnya, aku berlari menerjang kedua saudaraku untuk menghajar mereka sepuas hati. Tidak peduli pada ocehan mereka yang saling tuduh tentang pembuat rencana ataupun yang mengusulkan detail eksekusi prank mereka kali ini sambil menghindari tiap seranganku. Zean pun hanya menahan tawa di tempatnya, menepati janjinya untuk tidak menghentikanku hingga aku sendiri yang berhenti karena sudah kepalang lelah.

Begitu melihatku berhenti sejenak karena kelelahan, mereka memanfaatkan hal itu untuk segera ke ruang makan. Kabur seperti pecundang tanpa luka karena mereka ⎼sialnya⎼ bisa menghindari tiap seranganku yang memang kurang cepat karena otot capai. Cih!

Jangan pikir aku akan berhenti sampai disini! Lihat saja nanti!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status