Share

[BAB 5] Identitas Misterius

Sial. Zevana sama sekali tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. 

Mimpi buruk yang mendatanginya saat beberapa waktu lalu masih terngiang-ngiang. Katakanlah Zevana terlalu berlebihan karena, alih-alih menganggap angin lalu mimpi itu, justru memikirkannya amat keras. 

Persetan. Bayang-bayang wanita di antara kabut yang menyelimuti sekujur tubuh membuat Zevana tidak nyaman. Entah kenapa Zevana merasa seperti familiar dengan wanita itu. 

Ini semacam perasaan ketika dirinya bertemu seseorang, lalu bertemu lagi kesekian kalinya. Namun Zevana tidak bisa mengingat. Sejak kapan dirinya mengenal atau bertemu wanita menyeramkan itu?

"Argggh!" Zevana mengusap kepala bagian kanannya, frustasi. "Kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun? Dan ... siapa nama yang disebut wanita itu?"

Benar. Ada nama yang disebut sosok wanita berkabut dalam mimpinya: Zevana.

Apakah itu nama dirinya?

Sebenarnya Zevana sendiri tidak yakin. Meskipun di sisi lain, jika diingat-ingat ulang, Zevana tidak menemukan siapa pun kecuali dirinya yang berhadapan dengan wanita berkabut dalam mimpinya.

"Apakah aku dan wanita itu benar-benar pernah bertemu? Tapi, aku hanya ingat saat diriku tenggelam di sungai," gumam Zevana lagi yang diakhiri helaan napas pasrah.

Sungguh Zevana tidak bisa mengingat apa pun—dan itu membuatnya membenci diri sendiri. Kenapa yang tersisa dalam memori kepalanya justru saat-saat dirinya nyaris bertemu kematian?

Sudah muak memikirkan sesuatu yang tak menemukan jawaban, Zevana ingin beranjak duduk. Namun tiba-tiba ada rasa perih begitu menyengat pada tulang selangka bagian kiri. Mengejutkan Zevana sehingga tangan sebelah kiri yang menumpu tubuh untuk beranjak seketika terjatuh kembali.

Zevana langsung mengerang. "Argh

... apa ini? Kenapa sakit sekali?"

Rasa perih menyengat itu bagai api yang ditempelkan ke kulit. Sensasi panas menjalar dengan tak menyenangkan. Zevana memaksakan diri untuk duduk bersandar.

"Sial," rutuk Zevana setelah menyandarkan punggung ke sandaran ranjang rotan. "Apa yang terjadi?"

Tangan Zevana menyibak sedikit kerah baju lusuhnya. Di sela wajah yang meringis, matanya melebar tak menyangka.

Sebuah luka yang memar merah pekat membentuk lingkaran berada di bawah tulang selangka kiri. Pada luka memar merah pekat itu terdapat garis-garis kecil samar tak beraturan. Persis menyerupai urat-urat namun warnanya hitam pendar.

Di tengah lingkaran luka memar, segaris robekan kulit tampak masih baru, tapi tidak ada darah keluar. Anehnya garis robekan kulit Zevana itu menyambung ke garis-garis samar yang menyerupai sekumpulan urat. Membentuk lambang tongkat dengan pucuk bulan sabit.

"Apa ini?!" Zevana berjengit terkejut. Mulutnya menganga tak percaya. "Mengapa ... mengapa ... aishh, rasanya perih sekali!"

Tuk! Tuk!

"Kupikir aku salah mendengar kebisingan dalam kamarmu. Kau belum tidur, Nona Tidak Sopan?"

Suara dari arah jendela menyentakkan Zevana. Pandangannya sudah was-was sekaligus menutup kembali kerah bajunya. Sempat terpikirkan akan ada pemburu hutan menyelinap ke jendelanya, tapi ternyata ...

"Arres?"

Dari jendela yang kini pintu berbahan rotan sudah terbuka setengah, Arres meloncat ke dalam kamar. Zevana mengerutkan kening antara bingung dan tidak percaya.

"Bagaimana caranya kau bisa masuk? Bukankah kamarku ada di lantai dua?" tanya Zevana, menodongkan kecurigaan.

Arres sudah tiba di samping Zevana. Membungkukkan badan sedikit, mengulurkan satu tangan ke arah luka Zevana.

"Kau menyembunyikan sesuatu di sana?" tanya Arres dengan mata memicing.

Zevana mengernyit mengantisipasi, mencengkeram kerah baju lebih erat.

"Hei! Kau lancang sekali!" tandas Zevana. Sorot matanya masih memancarkan kewaspadaan.

Namun karena melihat Arres begitu serius, kewaspadaan Zevana berangsur-angsur mereda.

"Kau ... mendengar keluhanku tadi?"

"Uh-hum," jawab Arres sambil menganggukkan kepala singkat. "Kalau kau izinkan, biar aku lihat lukamu."

"Hanya sebatas lihat lukanya saja," ancam Zevana, memberikan mata nyalang.

Kedua sudut bibir Arres menyunggingkan senyuman miring. "Kalau kau izinkan, aku bisa melihat yang lain." Namun setelah Zevana melotot tajam, ia tertawa sinis singkat. "Yang lain, maksudku, kalung yang tersembunyi di balik kerah bajumu."

Sungguh Zevana tidak tahu kalau nyatanya Arres memperhatikan hal-hal kecil seperti itu.

Masa bodoh. Zevana tidak mau tahu tentang itu. Karena merasa penasaran dengan lukanya, Zevana perlahan membuka kerah bajunya. Menunjukkan bagaimana rupa luka memar merah pekat yang baru saja ditemukannya.

Tubuh Arres kembali membungkuk. Matanya memicing untuk memperhatikan detail.

"Tunggu, ini luka robekan?"

Zevana mengangguk. "Iya. Anehnya, luka ini masih terasa sakit seperti baru muncul. Tapi tidak ada darah mengalir."

"Tidak ada bekas kering darah juga," suara Arres menyiratkan keheranan. "Kapan kau mendapatkan luka ini?"

"Entahlah. Aku baru sadar saat bangun tidur tadi."

Menegakkan tubuhnya lagi, Arres mengatakan, "Jangan bohong. Kau tidak tidur."

Dua alis tebal Zevana terangkat. "Bagaimana kau lagi-lagi tau?"

Alih-alih menjawab, Arres justru membuang napas kasar melalui mulut. Tangannya diletakkan di pinggang.

"Ikut aku. Kita cari ramuan untuk menyembuhkan lukamu."

Belum sempat Zevana menjawab, Arres sudah melenggang pergi dari ranjang. Berjalan menuju jendela kamar, lalu berhenti dengan satu tangan memegang pintu jendela rotan setengah tertutup.

Arres menolehkan wajah melihat Zevana. "Kalau kau tetap diam seperti orang bodoh di sana, lukamu akan semakin perih, Nona Tidak Sopan!"

***

Zevana seperti mengalami Deja vù ketika menyusuri suasana hutan.

Sayup-sayup suara burung hantu bersahutan menyapa telinganya. Sama sekali tidak ada secercah cahaya, bahkan sinar bulan, sebab terhalang rimbun daun dari pepohonan menjulang.

Mata Zevana berulang kali mengerjap dan memicing hanya agar bisa melihat jelas. Meskipun nihil, pekat hutan ini nyaris membuatnya tersandung akar pohon yang timbul di sepanjang jalan setapak.

"Sebenarnya kau ingin mengajakku ke mana?" tanya Zevana kepada Arres yang berjalan di depan.

Arres masih sibuk menyibakkan rerumputan setinggi hampir mencapai siku kaki. Sementara satu tangan Arres menggenggam bola kekuatan Agyss warna krem.

Sial. Zevana lupa membawa Agyss miliknya.

"Mencari bahan ramuan untuk lukamu," jawab Arres tanpa menengok.

Zevana mendesis. Semilir angin menjatuhi sensasi dingin pada kulit Zevana. Ada atmosfer tegang sehingga detak jantungnya berdetak tak karuan.

"Bagaimana lukamu?" Arres kembali bertanya.

Bahkan Zevana sampai melupakan sensasi perih luka di tulang selangkanya.

"Masih perih," balas Zevana seadanya. "Apakah jaraknya jauh?"

"Kalau kau mengeluh terus-menerus, jaraknya akan jauh."

Zevana menghela napas berat. Jujur saja bukan permasalahan jauh atau tidaknya. Namun netra Zevana seakan harus berusaha ekstra untuk melihat sekeliling. Kegelapan kental hutan ini sungguh membuatnya tidak nyaman.

Suasana yang dirasakan sekarang memancing ingatan Zevana tentang mimpi buruknya.

Sunyi-senyap, tanpa cahaya, dingin, segalanya menggambarkan begitu jelas. Zevana belum melupakan aliran darah berdesir tak nyaman yang dirasakannya dalam mimpi—sekarang, Zevana merasakan itu juga!

"Arres, kau tau kita sudah berjalan menyusuri hutan sangat dalam?"

Arres berhenti menyibakkan rerumputan yang menghalangi. Sejenak bergeming, dan membuat Zevana turut menghentikan langkah.

"Memangnya kenapa? Kau takut?" Suara Arres terdengar ketus sekaligus kesal.

"Tidak. Hanya ... kenapa firasatku tidak enak? Kau tidak—"

"Hei, Nona Tidak Sopan," pangkas Arres sebelum membalikkan badan. "Bisakah kau diam? Aku sungguh jengkel sekali denganmu."

Zevana tidak peduli tatapan kesal Arres. Masalahnya, kini telinga Zevana mendengar samar-samar kebisingan dari kejauhan.

Mulanya Zevana pikir itu adalah suara hewan-hewan hutan. Namun lama-kelamaan suara keramaian itu menjadi suara sekumpulan prajurit bersorak. Lalu disusul suara pacuan ketukan kaki kuda.

"Arres, kau tidak mendengar ada sesuatu aneh?" Zevana bertanya di sela serius mendengarkan.

"Jangan melantur. Tidak ada ...."

"HEI, INI AROMA PENYIHIR! TANGKAP MEREKA!"

Zevana dan Arres tidak bereaksi selama sepersekian detik. Namun siluet sekumpulan kuda kian lama kian bergerak mendekat menuju ke arah mereka berdua.

Barulah Zevana mengerti. Mereka berdua adalah target sekumpulan kuda di sana.

Tanpa basa-basi, Zevana menarik pergelangan tangan Arres untuk segera melarikan diri. Arres yang masih gamang mengikuti ke mana Zevana membawanya pergi.

Di tengah pelarian, Arres dan Zevana saling melempar pandangan. Segurat kepanikan dan kebingungan terbentuk amat jelas pada wajah masing-masing.

"Siapa yang mereka maksud penyihir!?"

Zevana tidak bisa menjawab. Namun entah kenapa, saat dirinya mulai kelelahan menjauhi sekumpulan pasukan itu, sekelebat bisikan terdengar.

'Emfanto Similura, emfanto similura, emfanto similura.'

Lalu netra Zevana menangkap cahaya bola Agyss di tangan Arres berpendar-pendar. Ada gejolak dorongan dalam batinnya untuk mengambil bola Agyss itu. Gejolak yang begitu kuat, menekan dada, hingga Zevana menyambar bola Agyss tanpa aba-aba.

Mendengar instruksi bisikan secara berkala dalam kepala, Zevana membalikkan badan. Berhenti berlari dan mengacungkan bola Agyss ke arah sekumpulan pasukan.

"Emfanto Similura!" Sebuah mantra terucap begitu saja seperti mesin otomatis.

Sedetik setelah itu, tanah yang akan dilalui para pasukan tiba-tiba berguncang. Menyembur serupa letusan gunung berapi.

Zevana tercengang. Begitu pula Arres. Saat itu, Arres bahkan sempat tak bisa berkutik. Sepasang matanya memperhatikan Zevana terperangah.

"Kau ... kenapa kau bisa menggunakan mantra itu?"

Zevana menganga. Melihat kedua telapak tangannya yang masih diletakkan bola Agyss di atasnya.

Ini mustahil. Bagaimana bisa Zevana melakukan penyerangan mantra tadi?!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status