Share

[Bab 6] Antara Peduli & Sinis

"AISH…."

Langit semakin pekat. Hanya ada suara burung hantu yang tidak ada wujudnya bercampur deru napas tersengal-sengal. Tidak ada lagi kejaran para pasukan sialan yang entah dari mana datangnya.

Di sinilah Zevanna dan Arres terjebak. Karena hanya fokus melarikan diri dari para pasukan sialan, keduanya tidak sadar telah memasuki bagian hutan lebih dalam.

Mereka memang berhasil melarikan diri. Sayang sekali, mereka tidak tahu di mana keberadaan mereka sekarang.

"Kau mengajakku berlari tanpa berpikir kita akan terjebak!" Arres menghardik Zevanna.

Tentu saja Zevanna tidak terima.

Tubuh Zevanna langsung menegak—setelah sedari tadi membungkuk memegang kedua lutut. Zevanna memandang Arres dengan rasa tidak terima.

"Hei. Aku menyelamatkanmu dari kejaran mereka," ujar Zevanna yang membela dirinya. "Kenapa sikapmu menyebalkan begitu?"

Siapa yang sudi disalahkan?

Lagipula Arres ini menyebalkan. Sudah beruntung tadi Zevanna sempat menarik tangannya supaya mereka bisa melarikan diri bersama. Zevanna juga yang inisiatif menggunakan bola Agyss yang dianggurkan Arres.

Meskipun Zevanna tidak menyangka dirinya bisa mengeluarkan mantra, tetap saja. Dirinya sudah menyelamatkan Arres, 'kan?

Seharusnya Arres berterima kasih. Kenapa justru menghardik dengan raut muka yang membuat Zevanna merasa ingin meninju sekencang mungkin?

"Menyelamatkanku?" Arres langsung menghadap Zevanna, menunjukkan keangkuhannya. "Aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Kenapa kau harus berlagak menyelamatkanku?"

Zevanna tertawa melengos, sinis. Dia maju mendekati Arres sampai ujung kaki mereka bersentuhan. Dipandangi dengan lamat-lamat wajah angkuh di depannya itu.

"Kalau bukan karena gerakan refleks-ku, aku juga tidak sudi menyelamatkanmu dan membiarkanmu tertangkap para pasu–aww!"

Sialan. Karena rasa kesal yang tersulut, Zevanna lupa kalau luka pada tulang selangkanya belum diobati.

Di sela meringis, Zevana merunduk untuk melihat luka di tulang selangkanya. Segaris luka robekan pada lingkaran memar tiba-tiba saja terbuka dan mengeluarkan cairan kecoklatan kental.

Zevana mengernyitkan dahi. "Mengapa berdarah? Mengapa …"

"Kau ini!" Arres yang tadinya kesal dengan Zevana mendadak panik. Dia menyibak kerah baju Zevana dan memperhatikan luka yang tiba-tiba terbuka itu. "Kenapa harus cerewet sekali? Lihat. Kau lupa kalau kita berniat mencari obat?"

Dengan pandangan sebal, Zevana memandang Arres. Apa tidak salah dengar? Bukankah Arres yang baru saja bicara dengan cerewet sekali?

"Di mana letak bahan ramuannya?" tanya Zevana langsung.

Arres menghembuskan napas kasar. Sebelum menjawab, pandangannya beredar ke sekeliling. Niatnya ingin mencari ke jalan mana mereka harus berjalan. Namun nihil.

Suasana hutan bagian dalam yang mereka tempati sekarang nyaris tak ada cahaya. Pandangan sepasang mata Arres tidak bisa menjangkau lebih jauh. Begitu pula Zevana.

"Terlalu gelap," kata Arres yang kemudian menghela napas berat. "Tidak ada apa pun yang bisa dilihat."

Zevana tidak menjawab apa pun. Ia bisa melihat sorot kekhawatiran dari kedua mata Arres. Aneh sekali. Padahal beberapa detik lalu, Arres terdengar sangat kesal padanya. Bahkan kata-kata yang digunakan pun tajam seolah tak memiliki hati nurani.

Sekarang, Arres terlihat khawatir. Apa yang dikhawatirkan pria itu?

"Cahaya bola Agyss-ku tidak cukup terang," Kembali Arres berujar.

Memang. Saking pekatnya, batang pohon pun tidak bisa kelihatan jelas.

Bulu kuduk Zevana meremang. Suara burung-burung hantu—yang jumlahnya terdengar lebih dari dua ekor—bersahutan. Atmosfer kegelapan yang seakan bisa menyesatkan siapapun terasa sangat kental, membuat Zevana menenggak ludah.

"Baiklah. Kalau begitu, jangan dilewati—"

"Tunggu, kau gila?" Arres menyambsr pergelangan tangan Zevana saat mau membalikkan badan. "Lukamu hadus disembuhkan. Itu … berdarah."

Hanya dalam sepersekian detik kemudian, Zevana merasakan cairan seperti bergerak turun di dadanya. Rasanya begitu nyeri. Hampir menyerupai luka tusuk yang masih baru dan basah. Padahal luka Zevana tadi tidak terbuka seperti ini dan baik-baik saja.

"Arres, kita pulang…"

Srek!

Mata Zevana melotot terkejut ketika menyaksikan Arres merobek bajunya sendiri. Pergerakan Arres begitu cekatan menempelkan kain baju itu ke luka Zevana yang terbuka.

"Pegang dulu, tahan kainnya supaya darahmu tidak bercucuran," tutur Arres kepada Zevana.

Sementara Zevana memegang kain di dadanya, Arres mengambil sesuatu dari kantung berbahan kulit yang diikat di pinggangnya saat itu. Sebuah botol cairan berwarna hijau—yang tersisa sangat sedikit, dan beberapa daun dari kantung.

"Kau mau apa?" tanya Zevana. "Hei, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu—"

"Bisa diam? Suaramu berisik sekali, mengganggu konsentrasiku," tandas Arres. Entah sudah keberapa kali ia memotong ucapan Zevana.

Decakan Zevana terdengar kecil. Namun tak urung, Zevana tidak bersuara lagi.

Setelah Arres mengeluarkan keperluan dari dalam kantung, ia menghadap Zevana. Mengambil alih kain yang sejak tadi ditahan Zevana, kemudian menekan-nekan sebentar area sekitar luka.

Zevana meringis kecil setiap kali kain robekan baju Arres menyentuh lukanya. Sesudah bekas aliran darah Zevana dibersihkan, Arres menuangkan cairan ramuan ke daun-daun.

"Kau ahli melakukan pengobatan itu?" tanya Zevana di sela aktivitas Arres.

Mata Arres tajam memandang Zevana. Seakan mengingatkan perempuan itu soal apa yang sudah dikatakannya tadi.

Namun karena merasa tidak memiliki energi berdebat, Arres memilih fokus menempelkan daun-daun itu ke area luka Zevana.

"Memang kenapa?"

"Tidak. Aku hanya khawatir kau diam-diam menuangkan racun untukku," Zevana berujar santai.

Arres sempat berhenti menempelkan daun-daun sebentar. Entah kenapa perkataan Zevana itu membat perasaannya tersentil.

Mengapa rasanya hati Arres berdenyut nyeri ketika mendengar perkataan Zevana?

Bukankah kalimat Zevana itu hanya sindiran yang sengaja memancing kejengkelannya?

"Aku tidak akan melakukan itu kepada siapa pun," suara Arres terdengar tegas.

"Kau yakin? Seseorang dengan wajah jahat sepertimu …"

Kalimat Zevana menggantung tepat saat Arres mengangkat wajah. Sepasang matanya yang menyorot dingin bertemu tatap dengan kedua mata Zevana. Seketika, memancing bulu kuduk Zevana meremang.

Sungguh. Zevana bisa mengatakan kalau suasana dalam hutan ini kalah menakutkannya dengan Arres.

Atau, lebih tepatnya, suasana menjadi bertambah menakutkan karena ada Arres.

"Kau ingin aku membunuhmu sekarang?" Arres bertanya santai. "Aku bisa melakukan itu—"

"Tidak, jangan. Aku hanya bergurau," tandas Zevana langsung.

"Sebab itu, diam saja."

Sepertinya niat Zevana yang ingin mencairkan suasana batal.

Reaksi Arres menunjukkan rasa tidak minat untuk berbicara santai. Zevana memilih membungkam bibirnya sendiri, memperhatikan pergerakan tangan Arres.

Dari jarak wajah mereka sedekat ini, hanya terpaut satu jengkal, Zevana bisa melihat keseriusan raut wajah Arres. Tatapan mata Arres begitu fokus ke arah luka pada tulang selangka Zevana.

Sesudah menempelkan daun-daun yang tadi dicampurkan cairan ramuan, Arres menempelkan bola Agyss. Cahaya pendar kuning bola Agyss itu sempat membuat mata Zevana memicing kesilauan.

"Belfacto Lavuesa," lirih Arres mengucapkan mantra untuk menyembuhkan.

Detik berikutnya, Zevana mengerang tertahan sebab rasa nyeri luar biasa mendera. Cahaya pendar kuning bola Agyss milik Arres perlahan-lahan semakin bersinar silau.

Zevana sontak memalingkan pandangannya dan menutup bibir rapat-rapat. Sekuat tenaga Zevana menahan erangan sakit meskipun nyeri pada luka tulang selangkanya sekarang seakan menikam kuat.

Selama menempelkan bola Agyss pada luka tulang selangka Zevana, sepasang mata Arres diam-diam memperhatikan. Ada rasa iba karena menyaksikan Zevana menahan rasa sakitnya.

Ia tahu, tanpa diberitahu pun, pasti rasanya sangat nyeri ketika kekuatan bola Agyss ini bekerja.

Maka, tanpa sepengetahuan Zevana, Arres langsung mengucapkan mantra, "Lavuessà Dela Picco."

Mantra untuk mengurangi rasa sakit bagi si penderita luka.

Perlahan namun pasti ringisan wajah Zevana berkurang. Zevana merasakan ketenangan seiring detik berlalu. Nyeri yang tadi seakan menikamnya amat kuat, kini hanya terasa seperti gigitan semut kecil yang banyak.

Memang masih sakit, tapi rasanya lebih baik dibandingkan rasa sakit-nyaris-ingin-mati yang dirasakannya tadi.

"Sudah tidak sakit?" tanya Arres pelan.

Zevana membuka matanya. Sedikit berhati-hati dengan silau cahaya. Namun ternyata cahaya kuning bola Agyss milik Arres ini juga berkurang.

"Tidak," jawab Zevana. "Kenapa rasa sakitnya berkurang?"

"Kau mau rasa sakitnya bertambah?" sinis Arres.

Zevana berdecak kecil. "Bukan begitu—ssh, aw. Aku hanya bertanya saja! Kenapa kau sinis sekali?"

Pengobatan melalui bola Agyss sudah selesai. Arres menegakkan kembali tubuhnya sambil menekan-nekan pelan daun pada luka tulang selangka Zevana. Memastikan tidak ada yang melonggar.

"Pertanyaanmu konyol dan tidak penting," tandas Arres.

Tanpa menjawab pertanyaan Zevana tadi, Arres membalikkan badan begitu saja. Dia mengencangkan ikatan kantung obat-obatan pada pinggangnya sembari berjalan menjauhi Zevana.

"Kau tidak mau menjawab pertanyaanku?" Zevana mengikuti langkah Arres.

Arres tidak mau menjawab. Lagipula, kalau nanti Zevana tahu dirinya-lah yang mengucapkan mantra agar rasa sakit reda, bisa-bisa besar kepala.

Zevana harus tetap merasa kalau Arres adalah pria yang tidak acuh padanya.

Yang dilakukan Arres tadi pun juga hanya hal kecil saja. Iya, 'kan? Tidak perlu diceritakan.

"Hei, Arres, terima kasih!" Sekali lagi Zevana berseru. Terdengar dari nadanya kalau perempuan itu sedang senang. "Aku merasa agak lebih bugar dibandingkan tadi!"

Sembari melangkahkan kaki dengan cahaya bola Agyss, Arres menebas rerumputan panjang sekeliling. Selain untuk dirinya bisa melewati jalan, juga agar rerumputan itu tidak menghalangi jalan Zevana.

"Arres, kau tau? Meskipun kau menyebalkan dan berlagak dingin, aku tau kau peduli padaku!"

Omong kosong apa yang dilanturkan Zevana sekarang?

Arres menghembuskan napas kasar. Langkahnya sontak terhenti, tubuhnya berbalik menghadap Zevana.

"Tidak mungkin kau tidak peduli kalau—aww!" Tubuh Zevana sontak menabrak tubuh Arres yang sudah berhenti melangkah.

Zevana sama sekali tidak sadar kalau Arres sudah berhenti melangkah di depannya. Sedari tadi pandangan Zevana hanya tertunduk ke bawah, memperhatikan jalan setapak agar tidak jatuh.

Arres langsung menyunggingkan senyuman miring.

"Tadinya kupikir kau adalah penyihir buronan yang dicari para pasukan yang mengejar kita tadi," ungkap Arres, membuat Zevana mengangkat wajahnya.

Sementara Zevana memasang raut muka keheranan, Arres melanjutkan perkataan, "Tidak mungkin penyihir buronan pasukan kerajaan sepertimu, 'kan? Ceroboh, bodoh, tidak bisa apa-apa."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status