Share

Kakek misterius

Selang beberapa menit.

Lara dikejutkan dengan dering telepon kabel yang terletak di atas meja kerjanya. Lantas wanita cantik itu gegas meraih gagang telepon.

"Nona, seseorang mengirim makanan atas nama Anda," ucap seseorang dari seberang telepon.

"Bisa minta tolong antarkan makanannya ke atas?"

"Baik."

Lara segera meletakkan kembali gagang telepon. Melirik sang atasan yang terlihat beranjak dari tempat duduknya setelah menutup layar laptop.

"Tutup laptopmu! Waktunya istirahat makan siang," ujar Abian dingin sebelum keluar dari dalam ruangan.

"Baik, Pak."

Namun langkah pria itu terhenti di ambang pintu, setelah resepsionis wanita yang hendak masuk ke dalam ruangan menghalangi jalannya.

"Ma-maaf, Pak. Saya ingin mengantar ini untuk Nona Lea." Resepsionis wanita nampak beberapa kali membungkukkan tubuh sebagai tanda penyesalan.

"Apa itu?" Abian melirik sekilas kotak kardus dalam kantung keresek dengan tatapan tajamnya.

"Ma-makanan, Pak."

"Berikan padaku!" Abian merebut paksa kotak makanan dari tangan bawahannya sebelum kembali menutup pintu dan memasuki ruangannya.

Abian berjalan gontai menghampiri meja kerja sang istri, sebelum menjatuhkan kasar kotak makanan itu di atas meja.

Lara yang tersentak gegas menatap sang atasan heran.

"Sejak kapan kamu makan makanan seperti ini?" tanya Abian dengan nada menginterogasi.

"Sejak kapan? Apakah sebelumnya aku tidak pernah makan nasi?" tanya Lara bingung.

Abian diam membisu. Matanya menatap wajah Lara penuh selidik, seolah tengah menaruh curiga.

"Siapa yang memesankannya untukmu?" tanya Abian kembali.

Kini giliran Lara yang terdiam. Tak mungkin baginya berkata jujur, jika makanan itu dipesankan oleh Prasetya yang saat ini berstatus sebagai selingkuhannya.

Bagaimana pun, Abian adalah suami sah dari pemilik raga yang kini Lara tempati. Sudah sewajarnya untuk menghormati pria itu sebagai seorang suami.

"Temanku," jawab Lara singkat.

Kejanggalan kembali terjadi. Lea adalah sosok wanita yang anti sosial. Bahkan semasa kecilnya, ia tak seperti kebanyakan anak lain yang belajar di sekolah. Lea menuntut ilmu di rumah dengan guru privat. Tak jarang, segelintir teman pun Lea tak punya. Lantas, bagaimana bisa seorang teman memesankan makanan untuknya?

Pernah suatu ketika, Abian mendapati Lea yang membuang makanan yang dijual di restoran ternama dengan alasan tak higienis. Lantas, bagaimana cara menjelaskan makanan di atas meja itu?

Abian menghela nafas berat sebelum melengos pergi. Ia tak ingin dibebankan dengan pikiran janggal atau kebingungan terhadap apa pun.

"Lupakan! Nanti malam ada pertemuan dengan Klien di Caffe Hallyu," pungkasnya sebelum meninggalkan ruangan.

"Baik, Pak."

Ting!

Notifikasi satu pesan singkat terlihat muncul dari layar ponsel milik Lara.

[Apakah makanannya enak?]

Lara memandangi layar ponsel itu untuk sekilas, sebelum memutuskan untuk mengetik sebuah balasan.

[Iya, seandainya Suamiku seperhatian ini, mungkin hidupku lebih bahagia dari seorang bidadari]

Ting!

Detik berikutnya, balasan pesan singkat kembali masuk.

[Aku akan menggantikannya untuk membahagiakanmu hehehe]

Lara gegas meletakkan kembali ponselnya, tatkala melihat emot menyungging malu di akhir balasan. Sungguh menjijikkan.

****

Malam harinya. Cafe hallyu. Pukul sepuluh malam.

"Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk kami, Pak Abian," ujar ramah seorang pria paruh baya yang gegas bangkit dari tempat duduknya. Mengulurkan tangan guna menjabat tangan Abian Mahendra.

"Sama-sama, Pak." Abian tersenyum tipis seraya menerima jabat tangan.

Setelah berpamitan, para klien yang turut hadir segera pergi meninggalkan cafe. Gegas Lara dan Abian bangkit untuk mengikuti.

"Apakah ada jadwal lagi untuk hari ini, Pak?" tanya Lara.

"Ada."

"Pertemuan dengan Klien?"

"Tidur," jawab Abian singkat tanpa ekspresi.

Lara diam-diam menggertakkan gigi menahan rasa dongkol. Lantas gegas menyusul Abian yang telah memasuki mobilnya.

Kebingungan perlahan menghantam Lara, tatkala ia tak mendapati suara deru mesin mobil dan sang atasan yang tak kunjung memacu mobilnya.

Abian terlihat kebingungan dengan mengutak-atik kunci mobil dan beberapa kali mencoba menghidupkan mesinnya, namun mesin mobil tak kunjung hidup. 'Tck! Kenapa lagi mobil ini?!'

"Turun!" titah Abian membuat Lara semakin kebingungan.

Wanita itu hanya menatap sang atasan dengan penuh tanda tanya dan tak kunjung beranjak.

Abian yang mulai terlihat geram, kembali melayangkan tatapan tajamnya ke arah sang istri tanpa bergeming.

Sontak Lara segera turun dari dalam mobil.

"Mobilnya mogok, aku akan pesan taksi online," ujar Abian mengeluarkan benda pipih dari saku celananya.

Nahasnya, ponsel yang ia keluarkan kala itu tak dapat menyala. Gegas Abian letakkan kembali ponsel itu ke dalam saku.

"Kita cari halte terdekat, pulangnya naik bus saja," pungkasnya seraya berjalan cepat ke arah jalan besar.

"Eh?" Lara gelagapan, kala tak sepenuhnya paham maksud sang atasan. Ia pun gegas berlari menyusul langkah Abian yang semakin menjauh dari tempatnya semula.

Hampir setengah jam menunggu, akhirnya sebuah bus berwarna biru datang dari arah utara.

Suasana sesak dan panas langsung menyambut keduanya, kala Lara dan Abian mulai memasuki pintu bus.

Sesekali Abian melirik sang istri yang tak pernah menaiki angkutan umum sebelumnya.

Dan kejanggalan pun kembali terjadi. Lea tak terlihat panik dan gelisah. Justru wanita itu segera mencari tempat duduk yang tersisa di balik kerumunan orang asing. Layaknya seorang wanita yang terbiasa menaiki angkutan umum.

Abian tak berniat mendekat dan memilih untuk mengawasi sang istri dari kejauhan.

Tak lama, bus kembali berhenti dan menurunkan beberapa orang.

Nampak seorang pria tua tengah jalan membungkuk memasuki lorong bus dan berhenti tepat di depan Lara.

Lara gegas bangkit dari tempat duduknya. "Silakan, Kek. Biar saya saja yang berdiri," ujar Lara ramah. Mempersilakan pria tua untuk duduk di tempatnya.

"Terima kasih, Nak," ujar kakek dengan suara bergetar halus.

Abian diam tak bergeming. Merasa aneh dengan sikap angkuh sang istri yang seolah menghilang dalam sekejap mata.

Sang kakek nampak diam mematung seraya menatap lekat ke arah leher Lara. Bergumam lirih seolah tengah menghitung sesuatu.

"Hanya tersisa dua puluh enam hari. Pergunakan waktumu sebaik mungkin, Nak."

Kalimat sang kakek membuat Lara tertegun sejenak. "Kakek bicara dengan saya?" Lara menunjuk dirinya sendiri.

"Ada beberapa orang yang bernasib sama sepertimu di dunia ini. Jika ingin mengetahuinya, cukup lakukan ini." Kakek tua menutup mata bagian kanannya dengan satu telapak tangan, dan membiarkan mata sebelah kirinya terbuka.

Lara tercengang. Tubuhnya mendadak membeku ketika menyadari akan maksud ucapan sang kakek. 'Di-dia ... mengetahui identitas ku?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status