Prasetya kembali melayangkan tatapan penuh selidik. Rasa penasaran seakan mengganggunya sedari awal sejak tak sengaja mengetahui identitas suami dari kekasihnya itu.
"Benar," jawab Lara datar."Lantas mengapa?"Lara mengerinyitkan dahi ketika tak sepenuhnya mengerti pertanyaan yang diajukan padanya. "Kenapa apanya?""Kenapa mau menjalin hubungan denganku secara diam-diam? Sementara Suamimu adalah seorang pria yang begitu luar biasa di kalangan wanita. Bahkan kekayaannya sungguh tak dapat ku tandingi."Lara terdiam sejenak guna memikirkan jawaban. Ia harus bersikap seolah tak diinginkan, yang mana akan membuat Prasetya iba dan menuruti seluruh permintaannya dengan mudah."Memangnya kenapa jika dia tampan dan populer di mata wanita? Toh dia juga tidak menyukaiku. Lantas, banyak harta juga buat apa? Kalau untuk kebutuhan pribadiku saja aku harus banting tulang sendiri mencari uang?" Lara menjelaskan dengan lugas tanpa terselip sedikit pun keraguan di dalam sana. Ia tak ingin membuat Prasetya merasa curiga."Lantas, bagaimana ceritanya kamu bisa menikah dengan Abian Mahendra?" Prasetya menatap Lara penuh rasa penasaran.Lara kembali terdiam. Wajahnya menunduk lesu dan menunjukkan ketidak berdayaan. "Aku dijodohkan keluarga."Prasetya diam tak bergeming. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang membuat Lara dihantam rasa takut akan kecurigaan Prasetya setelah mendengar penjelasannya."Apakah melelahkan bekerja dengannya?" Prasetya mengusap lembut pipi Lara dengan tatapan teduh. Namun hal itu membuat Lara kembali merasa jijik, sontak Lara menjauhkan tangan Prasetya dari wajahnya secara perlahan, agar tak membuat pria itu merasa curiga."Lelah sekali. Aku bahkan tak sempat makan siang karena banyaknya pekerjaan yang dia berikan setiap hari," jawab Lara memelas, guna mencari simpati."Kamu punya penyakit lambung, kan? Jangan sampai telat makan siang!""Habis, mau bagaimana lagi?" Lara mengerucutkan bibir dengan wajah tak berdaya.Prasetya kembali terdiam guna berpikir. Mungkin sedikit perhatian akan membuat sang kekasih merasa tersanjung. "Mulai hari ini, aku akan mengirimkan makanan ke perusahaan tempatmu bekerja lewat delivery order, kamu tinggal kirimkan pesan singkat padaku sebelum jam makan siang tiba, makanan apa yang ingin kamu makan hari itu. Bagaimana?"Diam-diam Lara tersenyum tipis dalam keheningan. 'Akhirnya Prasetya jatuh juga dalam perangkap ku. Aku akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku, Mas!'Lara tersenyum malu. Memilin ujung kemejanya dengan sedikit tertunduk. "Apa itu tidak merepotkanmu?""Tidak sama sekali. Jika butuh apa pun, jangan segan untuk menghubungiku. Akan aku lakukan semuanya untukmu selama aku mampu," jawabnya tegas tanpa rasa ragu."Terima kasih, aku harus segera kembali. Kalau tidak, Presdir akan curiga.""Iya, hubungi aku sebelum jam makan siang nanti."Lara lantas mengangguk pelan sebagai jawaban, sebelum beranjak pergi meninggalkan mobil dan memasuki pintu perusahaan.Setelah menaiki elevator, Lara gegas kembali ke dalam ruangan tempatnya bekerja.Bunyi derit pintu maupun kedatangannya tak membuat pria tampan yang masih duduk diam di meja kerjanya lantas bergeming.Pria itu masih bersikap acuh, meski beragam pertanyaan terlintas bergantian dalam kepalanya."Buatkan kopi!" titah Abian tanpa mengalihkan pandangan matanya dari tumpukan berkas di atas meja.Lara celingukan sejenak, sebelum menatap sang atasan yang masih diam tak bergeming. Sebab seingatnya, kopi selalu disediakan di atas meja kerja sang atasan setiap pagi."Kamu tuli?" ujar Abian kembali tanpa menatap lawan bicaranya.Sontak Lara terkesiap, setelah menyadari perintah itu sebenarnya ditujukan untuknya. "Ba-baik, Pak."Lara gegas beranjak keluar dari dalam ruangan. Namun sebelum pergi ke dapur, Lara berbelok ke arah kamar mandi guna mencuci tangannya yang sempat bersentuhan dengan Prasetya.Sungguh, mengingat wajahnya saja mampu membuat Lara merasa mual. Entah apa yang sebenarnya Lara lihat dari Prasetya hingga membuatnya jatuh cinta di masa lalu.Keran air perlahan Lara nyalakan seraya membasuh tangannya dengan sabun.Namun sekilas, kilatan cahaya kembali memancar dari liontin bunga berkelopak merah jambu yang ia kenakan kala itu."Eh?" Lara tertegun. Ia perhatikan cahaya yang semakin meredup itu dari pantulan cermin. Satu kelopak bunga hilang tanpa jejak, menghilang bersama kilatan cahaya putih yang tak tahu dari mana datangnya.Lara diam mematung. Ada rasa takut bercampur kekhawatiran yang mulai menghantam dada."Permisi." Suara seorang wanita yang tiba-tiba muncul dari belakang membuat Lara kembali terkesiap. Ia lantas berbalik badan menghadap sumber suara."Apakah Anda sudah selesai? Saya ingin menggunakannya juga." Wanita muda itu nampak tersenyum segan, seolah tak enak hati telah mengganggu aktivitas orang lain.Lara melirik beberapa wastafel kosong di sampingnya untuk sejenak."I-iya, silakan, saya sudah selesai." Lara gegas pergi berlalu dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepala. 'Banyak wastafel kosong yang masih bisa digunakan, untuk apa menungguku selesai?' pikirnya bingung.Setelah selesai membuat secangkir kopi, Lara gegas kembali ke dalam ruangan tempat ia bekerja."Silakan, Pak." Lara meletakkan cangkir di atas meja sang atasan dengan perlahan."Hmm." Namun Abian hanya bergeming sebagai jawaban."Jangan terlalu banyak minum minuman berkafein tinggi, itu tidak baik untuk kesehatan, Pak Abian," ujar Lara lirih. Sebab selama ini ia jarang mendapati Abian menyeruput habis kopinya. Namun pagi ini, ia bahkan hampir menghabiskan dua cangkir kopi sekaligus.Abian hanya menggerakkan bola matanya ke atas. Menatap tajam ke arah sang istri tanpa bergeming.Seketika wajah Lara tertunduk. Bulu kuduknya terasa meremang setiap kali tatapan tajam itu mengarah padanya.Dering ponsel dari atas meja kerja membuat Lara buru-buru menghampiri mejanya guna memeriksa benda pipih itu.Abian diam-diam melirik sekilas dari ekor matanya."Halo," sapa Lara pada seseorang dari balik sambungan telepon."Hampir jam makan siang, mau makan apa hari ini?"Tanpa Lara sadari, pertanyaan itu membuat bibirnya menyunggingkan senyum tipis."Hari ini aku ingin makan banyak, apa tidak apa-apa?" jawab Lara segan."Tidak masalah, katakan saja kamu ingin makan apa.""Nasi padang, tapi lauknya harus komplit. Lalu untuk penutupnya aku ingin salad buah yang besar. Sama jangan lupa jus alpukatnya.""Siap, Tuan putri."Lara tertawa kecil sebelum memutus sambungan telepon. Ekspresi wajahnya berubah datar di detik berikutnya.Meski mendengar jelas percakapan dari telepon itu, namun tak lantas membuat pria yang irit bicara itu bergeming.Lara menundukkan kepala, matanya sayu. Sorot sendu itu memantulkan kepedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bibirnya bergerak pelan, seolah takut suaranya terdengar oleh siapa pun.“Banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang kesempatan hidupku yang sekarang. Tapi aku pun tidak tahu harus bertanya pada siapa. Sungguh malang nasibku,” gumamnya lirih, seakan berbicara hanya kepada bayangannya sendiri.Raut wajahnya mengeras sejenak, lalu melembut ketika ingatannya menyeret kembali sosok seorang kakek yang pernah ia temui di dalam bus. Kenangan itu begitu jelas—kakek itu duduk di bangku belakang, memandang keluar jendela dengan mata yang separuh tertutup, lalu menoleh padanya sambil menutup satu matanya dengan telapak tangan."Jika ingin melihat orang yang bernasib sama sepertimu, lakukan ini," begitu katanya, suaranya serak namun penuh misteri.Lara menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tanpa sebab berdegup cepat. Ia merapatkan duduknya, memperbaiki pos
Lara meremas erat selimut yang menutupi kakinya. Amarah di dadanya menggelora, menghanguskan sisa-sisa kesabaran. ‘Aku benar-benar tidak mengerti apa isi otak pria ini. Sebelumnya aku sudah menjelaskan dengan sangat jelas, tapi masih saja menyebut Mas Prasetya sebagai selingkuhanku…’ batinnya penuh kekesalan.Kris, setelah mempertimbangkan sesuatu dalam pikirannya, akhirnya melangkah mendekat. “Nyonya, saya akan pergi mendampingi Pak Abian menghadiri rapat perusahaan. Dokter bilang tubuh Anda masih terlalu lemah. Saya akan menjemput Anda setelah rapat selesai,” ucapnya dengan nada hormat, membungkukkan badan sedikit sebelum berbalik pergi, mengikuti Abian yang sudah lebih dulu menghilang di balik pintu.Lara tidak menjawab. Ia hanya duduk diam, hatinya berkecamuk. Ada kebingungan, ada kemarahan, ada kekecewaan yang bercampur jadi satu. Perubahan sikap Abian yang tiba-tiba kembali dingin padanya menusuk seperti es di tengah musim panas. Ia marah karena Abian begitu tertutup soal masala
“Abian!” teriak Lara dengan nada panik. Tubuhnya terlonjak bangun, duduk di atas ranjang rumah sakit dengan napas terengah.‘Mimpi?’ batinnya lega. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan degup jantungnya yang memburu. Tarikan napasnya panjang dan berat, lalu ia embuskan perlahan. Namun, ketika kelopak matanya kembali terbuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang hanya menatapnya datar — pria yang baru saja ia panggil dalam mimpi itu.Lara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seorang pria berjas putih berdiri di dekat ranjangnya, menatapnya dengan raut heran. Di sisi lain, Kris — dengan perban membalut kepalanya — memandangnya penuh kepanikan.Tiba-tiba, rasa nyeri menusuk hebat di kepalanya. “Akh…” keluhnya lirih. Tangannya terangkat memegangi kepala yang telah dililit perban. Tubuhnya goyah, membuat seorang perawat segera membantunya kembali berbaring.Kris, yang melihat istri atasannya sudah sadar, tergesa mendekat. “Nyonya, syukurlah Anda sudah sadar. Pak Abi
Sejak beberapa kali ketahuan mengirimkan makanan saat jam makan siang untuk Lara, gosip pun mulai beredar di seluruh sudut kantor. Hampir semua karyawan menyimpulkan bahwa Kris menaruh hati pada Lara. Desas-desus itu terus beredar, dibumbui tawa kecil dan lirikan jahil setiap kali keduanya terlihat bersama.Lara, pada awalnya, tidak begitu peduli. Menjadi bahan ejekan rekan-rekan kantor bukanlah hal baru baginya. Namun, kali ini berbeda. Kris—pria yang sebenarnya hanya berniat baik kepadanya—ikut terseret dalam pusaran gosip itu. Membayangkan nama baik Kris tercoreng oleh candaan rekan kerja, membuat Lara sedikit khawatir.Sejak kabar miring itu merebak, Lara mulai menghindar. Setiap kali Kris datang dengan sebungkus makanan, ia selalu punya alasan untuk menolak: entah mengaku sudah makan, pura-pura sibuk, atau bahkan sengaja tidak berada di tempat.Lara menarik napas lega. 'Ternyata begitu? Aku hampir mengira gosip-gosip di perusahaan itu benar' Namun, pikirannya belum tenang sepenuh
Kris menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk singkat. “Ah, begitu rupanya. Apa Pak Abian tahu tentang ini?”Sejenak Lara terdiam, menghela napas sebelum menggeleng. “Tidak. Dia belum kembali,” jawabnya, sekali lagi memutar kebenaran.“Pasti masih mengantre di sana…” gumam Kris, nyaris tidak terdengar.“Apa?” Lara mengerutkan kening.Kris tersenyum canggung. “Em… anu. Tadi, pulang dari restoran setelah bertemu klien luar negeri, Pak Abian mampir ingin membeli sate dan iga bakar di warung Pak Slamet.”Wajah Lara tetap datar, membuat Kris mengira ia tidak mengenal tempat itu. “Anda tahu? Yang di samping pom bensin itu, loh. Antriannya mengalahkan kendaraan yang mengantre bensin bersubsidi,” guraunya sambil terkekeh. Namun tawanya meredup ketika Lara hanya diam, tak menanggapi.“Kalau begitu, biar saya antar Anda ke rumah sakit. Ayo!” Kris melangkah cepat, namun baru beberapa langkah, ia menoleh dan mendapati Lara masih berdiri diam di tempat.“Nyonya, ada apa? Kepala Anda pusing? Sakit s
Lara menunduk, jemarinya yang gemetar menggenggam telapak tangan yang berlumuran darah. Kulitnya perih, tertusuk pecahan kaca yang masih menempel tipis di sana. Namun rasa nyeri itu terasa begitu kecil dibandingkan dengan perih yang kini menghantam hatinya.Rasa sakit pada pelipisnya yang juga berdarah hanyalah luka luar—yang bisa sembuh dengan waktu. Luka di hatinya jauh lebih dalam, mengendap bersama rasa kecewa yang membakar. Ia menggigit bibir, berusaha menahan gejolak emosi yang meluap. Namun tetap saja, air matanya jatuh, mengalir pelan, membasahi pipinya.Bukan hanya sakit hati, ada juga rasa penasaran yang mencengkeram pikirannya. Mengapa foto itu begitu berarti bagi Abian? Mengapa ia menjaganya sedemikian rupa, bahkan rela melukai dirinya sendiri untuk melindunginya? Pertanyaan itu berputar di kepalanya, namun jawaban tetap terkunci rapat di balik sikap dingin sang suami.Tanpa sepatah kata pun, Lara melangkah pergi. Tumitnya menapak lantai dengan bunyi yang tegas, namun lang