Klek!
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Muncul sesosok lelaki tampan dengan handuk putih yang masih menggantung di bahu kirinya.Rahang kokoh yang tegas dan mata elangnya membuat tatapan matanya terkesan mengintimidasi.'Pak Abian?' batin Lara dalam kepanikannya.Tatapan sang atasan masih terasa sama. Dingin dan menusuk. Membuat siapa saja yang ditatapnya seketika tertunduk."Masih hidup? Aku pikir kamu akan mati setelah meminum racun serangga itu," ucapnya datar tanpa ekspresi."Ra-racun serangga?" Lara yang tak sepenuhnya mengerti, mengedarkan pandangan matanya, hingga terpaku pada sebuah botol hijau kosong yang tergeletak di samping tempat tidur."Pak Abian, saya bukan--" Rasa sakit bagai tertusuk ribuan jarum tak kasat mata membuat tenggorokan Lara terasa nyeri luar biasa."Barusan kamu memanggilku apa?" tanya Abian tak paham. Melihat istrinya kesakitan pun ia tak gegas memberi pertolongan."Sa-saya sebenarnya--" Lara tercekat. Bahkan mengeluarkan suara rintihan kesakitan pun ia tak mampu.Tubuhnya terasa ngilu, bagai terlilit kawat berduri yang semakin mengerat setiap kali Lara berusaha mengeluarkan suara.'Ada apa denganku? Kenapa tubuhku terus merasakan sakit ketika berusaha menjelaskan?' batin Lara kebingungan."Jangan mengharapkan belas kasihan dariku. Sekali pun kamu mati aku tidak akan peduli," pungkas Abian sebelum berlalu pergi.Lara berdiri mematung di hadapan cermin. Merasakan rasa sakit yang perlahan menghilang dari sekujur tubuhnya."Cepat ganti bajumu! Ikut aku pergi ke pemakaman Sekretarisku sekarang!" titah Abian menyambar cepat jas hitamnya di atas gantungan baju dan kembali berlalu pergi.Sebagai seorang atasan yang telah menikah, tentunya membawa seorang istri pergi melayat adalah sebuah formalitas. Sebab itu, meski Abian membenci pernikahan ini, ia tetap meminta sang istri menemaninya pergi.Lara membeku. Otaknya berusaha menyambung setiap kalimat dan kejadian aneh yang ia alami saat ini. "Sekretaris Pak Abian adalah aku. Itu artinya ...."Dalam kepanikan, Lara gegas berlari keluar dari dalam ruangan mencari keberadaan Abian.Hingga sampai di ruang makan, langkah Lara terhenti.Pandangan mata keluarga besar yang terdiri dari ayah, ibu, dan putranya, tertuju pada satu titik. Yakni kedua telapak kaki Lara yang menapaki lantai tanpa alas."Lea? Kamu bangun kesiangan lagi? Ayo makan dulu, Sayang!" seru salah seorang wanita paruh baya seraya tersenyum ramah.Lara celingukan sesaat mencari seseorang yang dipanggil Lea, sebelum sadar jika dialah orang yang dimaksud.Prang!Pisau dan garpu yang dibanting di atas piring membuat seluruh anggota keluarga yang berada di sana berlonjak kaget. Tak terkecuali Lara."Mau sampai kapan kamu bengong di sana?! Mau buat kami kelaparan menunggumu?!" bentak Abian lantang."Abian!" sungut sang ayah.Tanpa pikir panjang, Lara segera mendekati meja makan dengan perasaan ragu. Lantas memegangi satu kursi dan hendak menariknya."Duduklah di sebelah Suamimu! Buatkan dia roti selai. Abian suka selai coklat," timpal sang ibu.'Su-suami?' batin Lara bingung.Seketika itu Lara mengingat kembali, jika sang atasan beberapa hari yang lalu menikahi seorang gadis atas perjodohan keluarga.Mungkinkah Lara kini menjadi penghuni raga ini setelah pemilik sebelumnya meninggal keracunan obat serangga?Tak banyak bicara, Lara gegas menuruti perintah. Layaknya seorang bawahan dengan atasannya.Namun baru saja Lara menarik kursi di sebelah Abian, pria itu gegas berdiri. "Aku kehilangan selera makan. Aku tunggu kamu di mobil," pungkas Abian sebelum berlalu pergi.Lara berdiri mematung. Bukan sebab kecewa dengan perilaku Abian terhadapnya, namun dengan takdir yang membawanya kembali. Mungkinkah Tuhan memberinya kesempatan untuk membalas dendam?Namun mengapa harus di tubuh ini?"Jangan terlalu dipikirkan, Lea. Abian memang sifatnya keras kepala. Tapi Mama yakin, cepat atau lambat dia akan luluh dengan kelembutanmu," sahut ibu Abian yang berhasil membuyarkan lamunan Lara."Kalau begitu saya permisi. Pak Abian meminta saya untuk ikut melayat dengannya." Lara berlalu pergi. Tak menghiraukan tatapan heran dari kedua mertuanya tersebut."Apa Lea baru saja memanggil Abian, Pak?""Biarkan saja. Mungkin itu salah satu caranya mendekati Abian," pungkas ayah Abian mengabaikan keanehan menantunya.Setelah mengganti baju, Lara gegas berlari ke luar dari kediaman mewah tersebut, untuk segera menghampiri Abian yang berpesan akan menunggunya di mobil.Lara bergegas menghampiri pintu belakang mobil dan hendak membukanya."Heh! Duduk di depan! Aku bukan Supirmu." Kalimat lantang itu seketika membuat tubuh Lara membeku. Sebab dari dulu hal yang paling ia takuti di tempat kerja adalah teriakkan atasannya.Lara segera berpindah ke kursi di samping kemudi. Namun sambutan yang ia dapatkan kala itu adalah tatapan aneh Abian yang menelisik dari bawah hingga ke atas tubuhnya.Pria itu hanya diam membisu, sebelum kembali bersikap acuh seperti biasanya.Mobil mewah itu kini dipacu menuju jalanan kota.Setelah hampir setengah jam berada dalam keheningan. Mobil itu pada akhirnya berhenti di depan sebuah rumah. Tangis kesedihan dari pelayat terdengar meriuhkan suasana duka.Lara diam termenung. Tatapan matanya yang mulai berair, mengarah ke jalanan becek yang harus dilewatinya jika ingin sampai di rumah duka. 'Ini benar-benar rumahku' batinnya kalut."Jangan memintaku untuk menggendongmu! Jika tidak sanggup melewati lumpur, terbanglah sa--" Abian yang salah menangkap maksud tatapan Lara, tak sempat menuntaskan kalimatnya, saat mendapati sang istri telah terlebih dahulu turun dari mobil dan memasuki rumah duka dengan berlari cepat.Gegas Abian menyusul dengan penuh kebingungan.Lara menerobos kerumunan para pelayat yang tengah membacakan doa di sekitaran jenazah. Dan gegas membuka kain jarik yang digunakan menutupi wajah jenazah.Tubuh wanita itu seketika membeku. Bulir bening berjatuhan dengan derasnya, tatkala mendapati tubuh gempalnya telah terbujur kaku dengan wajah pucat pasih."Apa yang sedang kamu lakukan?! Duduk!" Abian menarik kasar lengan Lara hingga membuat wanita yang semula membelakanginya itu berbalik menghadapnya. Membentaknya lirih dengan mata melotot tajam.Di tengah dukanya, Lara bingung harus berbuat apa. Melihat saat ini seluruh pasang mata memandang aneh ke arahnya. Terpaksa Lara menuruti perintah Abian untuk duduk dan berbaur dengan pelayat lainnya."Permisi, Pak. Saya mencari keluarga Mendiang. Saya adalah Atasan di tempat Mendiang bekerja. Saya ingin mengucapkan bela sungkawa. Barangkali Bapak bisa panggilkan Suaminya?" ujar Abian sopan pada salah seorang pria yang tengah duduk di sebelahnya.Lara jelas mendengar kalimat itu, tapi dia lebih memilih untuk diam."Lara ini yatim piatu, Pak. Dan sepertinya Suaminya tidak akan datang sampai pemakaman selesai. Jadi para tetangga yang akan membantu mengurusi pemakamannya," jelas pria itu."Kenapa tidak datang? Memangnya Suaminya pergi ke mana, Pak?""Setelah menjual rumah ini kemarin malam, kabarnya sekarang dia menikah lagi di rumah barunya. Selebihnya saya tidak tahu, saya tidak ingin mencampuri urusan orang lain," pungkas pria itu tersenyum segan. Membuat Abian akhirnya terdiam.Lara menautkan kedua tangannya di pangkuan. Mencengkeram erat ujung gamisnya. Wajah yang semula menampilkan kesedihan dan duka mendalam itu kini menampakkan kilat amarah yang berusaha ia redam.Tetes demi tetes air mata kembali berjatuhan. Amarah yang bergemuruh terasa begitu menyesakkan dada. 'Dengan kesempatan kedua untuk hidup, aku akan membantumu mendapatkan karma, Mas Prasetya!' tekadnya kuat dalam hati.Setelah prosesi pemakaman selesai dilangsungkan, Lara dan Abian gegas kembali pulang.Dalam perjalanan pulang, Lara hanya terdiam dengan tatapan kosong.Dan Abian menyadari hal itu, namun memilih diam dengan segala kebingungannya. Pasalnya, sang istri adalah keturunan bangsawan yang ia ketahui tak pernah kenal dekat dengan sekretarisnya. Lantas, bagaimana wanita itu menangisi kematian orang asing?Bahkan mengenai alas kaki, gamis, dan lumpur. Lea adalah seorang wanita perfeksionis. Tak mungkin baginya berjalan tanpa alas kaki dan mengenakan gamis hitam yang begitu longgar dan menutupi seluruh kakinya.Namun terlepas dari hal-hal aneh itu, Abian masih memilih diam dan tak peduli."Mulai besok kamu akan menggantikan posisinya sebagai Sekretarisku. Sampai aku mendapatkan pengganti yang baru."Lara menundukkan kepala, matanya sayu. Sorot sendu itu memantulkan kepedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bibirnya bergerak pelan, seolah takut suaranya terdengar oleh siapa pun.“Banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang kesempatan hidupku yang sekarang. Tapi aku pun tidak tahu harus bertanya pada siapa. Sungguh malang nasibku,” gumamnya lirih, seakan berbicara hanya kepada bayangannya sendiri.Raut wajahnya mengeras sejenak, lalu melembut ketika ingatannya menyeret kembali sosok seorang kakek yang pernah ia temui di dalam bus. Kenangan itu begitu jelas—kakek itu duduk di bangku belakang, memandang keluar jendela dengan mata yang separuh tertutup, lalu menoleh padanya sambil menutup satu matanya dengan telapak tangan."Jika ingin melihat orang yang bernasib sama sepertimu, lakukan ini," begitu katanya, suaranya serak namun penuh misteri.Lara menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tanpa sebab berdegup cepat. Ia merapatkan duduknya, memperbaiki pos
Lara meremas erat selimut yang menutupi kakinya. Amarah di dadanya menggelora, menghanguskan sisa-sisa kesabaran. ‘Aku benar-benar tidak mengerti apa isi otak pria ini. Sebelumnya aku sudah menjelaskan dengan sangat jelas, tapi masih saja menyebut Mas Prasetya sebagai selingkuhanku…’ batinnya penuh kekesalan.Kris, setelah mempertimbangkan sesuatu dalam pikirannya, akhirnya melangkah mendekat. “Nyonya, saya akan pergi mendampingi Pak Abian menghadiri rapat perusahaan. Dokter bilang tubuh Anda masih terlalu lemah. Saya akan menjemput Anda setelah rapat selesai,” ucapnya dengan nada hormat, membungkukkan badan sedikit sebelum berbalik pergi, mengikuti Abian yang sudah lebih dulu menghilang di balik pintu.Lara tidak menjawab. Ia hanya duduk diam, hatinya berkecamuk. Ada kebingungan, ada kemarahan, ada kekecewaan yang bercampur jadi satu. Perubahan sikap Abian yang tiba-tiba kembali dingin padanya menusuk seperti es di tengah musim panas. Ia marah karena Abian begitu tertutup soal masala
“Abian!” teriak Lara dengan nada panik. Tubuhnya terlonjak bangun, duduk di atas ranjang rumah sakit dengan napas terengah.‘Mimpi?’ batinnya lega. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan degup jantungnya yang memburu. Tarikan napasnya panjang dan berat, lalu ia embuskan perlahan. Namun, ketika kelopak matanya kembali terbuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang hanya menatapnya datar — pria yang baru saja ia panggil dalam mimpi itu.Lara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seorang pria berjas putih berdiri di dekat ranjangnya, menatapnya dengan raut heran. Di sisi lain, Kris — dengan perban membalut kepalanya — memandangnya penuh kepanikan.Tiba-tiba, rasa nyeri menusuk hebat di kepalanya. “Akh…” keluhnya lirih. Tangannya terangkat memegangi kepala yang telah dililit perban. Tubuhnya goyah, membuat seorang perawat segera membantunya kembali berbaring.Kris, yang melihat istri atasannya sudah sadar, tergesa mendekat. “Nyonya, syukurlah Anda sudah sadar. Pak Abi
Sejak beberapa kali ketahuan mengirimkan makanan saat jam makan siang untuk Lara, gosip pun mulai beredar di seluruh sudut kantor. Hampir semua karyawan menyimpulkan bahwa Kris menaruh hati pada Lara. Desas-desus itu terus beredar, dibumbui tawa kecil dan lirikan jahil setiap kali keduanya terlihat bersama.Lara, pada awalnya, tidak begitu peduli. Menjadi bahan ejekan rekan-rekan kantor bukanlah hal baru baginya. Namun, kali ini berbeda. Kris—pria yang sebenarnya hanya berniat baik kepadanya—ikut terseret dalam pusaran gosip itu. Membayangkan nama baik Kris tercoreng oleh candaan rekan kerja, membuat Lara sedikit khawatir.Sejak kabar miring itu merebak, Lara mulai menghindar. Setiap kali Kris datang dengan sebungkus makanan, ia selalu punya alasan untuk menolak: entah mengaku sudah makan, pura-pura sibuk, atau bahkan sengaja tidak berada di tempat.Lara menarik napas lega. 'Ternyata begitu? Aku hampir mengira gosip-gosip di perusahaan itu benar' Namun, pikirannya belum tenang sepenuh
Kris menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk singkat. “Ah, begitu rupanya. Apa Pak Abian tahu tentang ini?”Sejenak Lara terdiam, menghela napas sebelum menggeleng. “Tidak. Dia belum kembali,” jawabnya, sekali lagi memutar kebenaran.“Pasti masih mengantre di sana…” gumam Kris, nyaris tidak terdengar.“Apa?” Lara mengerutkan kening.Kris tersenyum canggung. “Em… anu. Tadi, pulang dari restoran setelah bertemu klien luar negeri, Pak Abian mampir ingin membeli sate dan iga bakar di warung Pak Slamet.”Wajah Lara tetap datar, membuat Kris mengira ia tidak mengenal tempat itu. “Anda tahu? Yang di samping pom bensin itu, loh. Antriannya mengalahkan kendaraan yang mengantre bensin bersubsidi,” guraunya sambil terkekeh. Namun tawanya meredup ketika Lara hanya diam, tak menanggapi.“Kalau begitu, biar saya antar Anda ke rumah sakit. Ayo!” Kris melangkah cepat, namun baru beberapa langkah, ia menoleh dan mendapati Lara masih berdiri diam di tempat.“Nyonya, ada apa? Kepala Anda pusing? Sakit s
Lara menunduk, jemarinya yang gemetar menggenggam telapak tangan yang berlumuran darah. Kulitnya perih, tertusuk pecahan kaca yang masih menempel tipis di sana. Namun rasa nyeri itu terasa begitu kecil dibandingkan dengan perih yang kini menghantam hatinya.Rasa sakit pada pelipisnya yang juga berdarah hanyalah luka luar—yang bisa sembuh dengan waktu. Luka di hatinya jauh lebih dalam, mengendap bersama rasa kecewa yang membakar. Ia menggigit bibir, berusaha menahan gejolak emosi yang meluap. Namun tetap saja, air matanya jatuh, mengalir pelan, membasahi pipinya.Bukan hanya sakit hati, ada juga rasa penasaran yang mencengkeram pikirannya. Mengapa foto itu begitu berarti bagi Abian? Mengapa ia menjaganya sedemikian rupa, bahkan rela melukai dirinya sendiri untuk melindunginya? Pertanyaan itu berputar di kepalanya, namun jawaban tetap terkunci rapat di balik sikap dingin sang suami.Tanpa sepatah kata pun, Lara melangkah pergi. Tumitnya menapak lantai dengan bunyi yang tegas, namun lang