Setelah mengantarkan sang kekasih pulang ke rumah suaminya, Prasetya pun bergegas untuk pulang.Rasa cemasnya semakin besar ketika ia sendirian mengendara di dalam mobil menembus kegelapan malam. Apa yang harus ia katakan jika Medina meminta penjelasan darinya nanti?Dalam kebingungannya itu, pandangan mata Prasetya menangkap dua kerumunan orang yang berdiri di tepian jalan besar. Sempat ada tanda tanya besar memenuhi kepala Prasetya, hingga dua buah mobil ringsek yang terletak tak jauh dari tempat kerumunan orang menjawab pertanyaannya.'Ternyata sebuah kecelakaan' batin Prasetya.Entah kebetulan atau sebuah keberuntungan, namun dari apa yang berhasil ia lihat di detik itu, sebuah alasan brilian muncul begitu saja dalam kepalanya. "Apa aku berpura-pura kecelakaan saja? Mungkin dengan begini, Medina tidak akan marah padaku."Prasetya gegas memutar arah kemudi mobilnya dan memutuskan untuk menitipkan mobil yang ia kendarai di rumah rekan kerjanya untuk beberapa hari.Awalnya sang rekan
Denting jam telah menunjukkan pukul sebelas malam.Suara deru mesin mobil yang mulai memasuki halaman rumah terasa memecah keheningan malam.Abian yang baru menyelesaikan meeting mendadak dengan beberapa klien hari ini gegas pulang ke rumah.Rasa lelah membuat tubuhnya terasa hampir tak bertenaga.Namun baru selangkah Abian melewati garis pintu masuk utama, ia dikejutkan dengan kehadiran sang istri yang tiba-tiba muncul dari balik pintu."Sudah pulang?" tanya Lara berbasa-basi. Ia ingin mempraktekkan penjelasan sang mertua tentang sebuah perhatian yang Abian butuhkan. Dan beginilah caranya memberi perhatian pada mantan suaminya sepulang dari tempat kerjanya dulu.Setengah tersentak membuat tubuh Abian menegang. Pria itu lantas menajamkan pandangan matanya ke arah Lara seolah menunjukkan rasa kesal.Namun itu hanya berlangsung sesaat, sebelum Abian beranjak melewati tubuh sang istri begitu saja. "Sudah tau ngapain tanya?" ketus Abian seraya pergi berlalu.Lara membulatkan mata tak perc
Keesokan paginya.Abian yang telah bersiap dengan pakaian dinasnya, gegas berjalan gontai menuju meja makan.Pemandangan pertama yang Abian saksikan kala itu adalah sang istri yang sedang sibuk menyajikan berbagai hidangan di atas meja.Suatu pemandangan yang mampu menghentikan langkah kaki Abian dan membuatnya seketika berdiri mematung."Lihat Istrimu! Pagi-pagi sekali dia bangun untuk memasak sarapan untukmu. Rajin sekali, kan?" Celetukan Sita yang muncul tiba-tiba berhasil membuat sang putra tersentak.Abian lantas buru-buru mengalihkan pandangan matanya dari meja makan. "Rajin apanya? Ini sudah hampir jam sembilan," timpal Abian mengetuk arlojinya.Raut wajah bahagia Sita seketika dibuat luntur oleh sang putra. Wanita paruh baya itu lantas mencubit keras lengan Abian untuk menyadarkan putranya dari sebuah kesalahan."Akh! Sakit, Ma.""Kamu ini benar-benar! Kamu pikir memasak tidak membutuhkan waktu? Apa kamu pikir memasak itu sama halnya dengan sulap? Sekali cling! Bahan makanan s
Hampir satu jam perjalanan menembus keramaian ibu kota, akhirnya mobil Abian berhenti sampai di halaman rumah.Keduanya gegas turun dari dalam mobil dan memasuki pintu utama.Pemandangan pertama yang menyambut mereka kala itu adalah senyum bahagia dari empat orang yang seakan telah lama menunggu kedatangan keduanya. Gegas bangkit dari tempat duduknya dan menatap ke arah pintu.Salah seorang wanita paruh baya yang terlihat cantik nan anggun terlihat berjalan menghampiri Lara dan Abian yang langkah kakinya terhenti di ambang pintu."Sayang, bagaimana kabarmu?" Wanita paruh baya itu lantas memeluk Lara erat, sembari meneteskan air mata haru."Eh?" Lara melebarkan mata. Menatap Abian dengan wajah bingung. Namun Abian malah membuang muka seolah tak peduli.Saking eratnya pelukan hangat yang wanita itu berikan. Membuat Lara hampir tak bisa bernapas."Tan-tante, bisa lepaskan pelukan Anda? Kalau begini terus saya bisa mati kehabisan napas." Lara menepuk perlahan lengan wanita itu seraya bers
"Ini sudah masuk jam-jam makan malam. Bagaimana kalau kita makan malam bersama hari ini?" ujar Sita ragu guna mencairkan suasana canggung diantara mereka."Kedengarannya cukup bagus. Kita jadi bisa memiliki banyak waktu mengunjungi Lea. Benar kan, Ma?" sahut Hendrik--ayah Lea menyetujui. Ia tahu sikap sang istri yang keras kepala dan tak mudah percaya dengan orang lain. Itulah yang Hendrik khawatirkan, sebab secara tidak sadar, Calista telah menurunkan sifat jeleknya pada sang putri.Hendrik akan selalu berperan sebagai peluluh hati sang istri ketika orang lain tidak sengaja membuatnya tidak senang."Baiklah," jawab Calista singkat. Namun tak mengalihkan tatapan sengitnya dari Abian sedikit pun.Setelah semua orang duduk mengitari meja makan, seluruh pelayan wanita nampak keluar dari dalam dapur. Membawa nampan berisi berbagai hidangan mewah yang dipindahkan ke atas meja atas perintah sang atasan.Sita yang datang paling akhir setelah keluar dari dapur, gegas menghampiri sang putra ya
Buk!Di luar dugaan, satu bogem mentah mendarat tepat di pipi kiri Abian. Membuat pria tampan itu berdiri terhuyung dengan tatapan penuh tanya yang mengarah sepenuhnya ke sang ayah."Papa!" teriak Sita tak mengira jika suaminya tega menempeleng anaknya sendiri.Seluruh pelayan yang menyaksikan kejadian di dapur kala itu seketika menundukkan kepala. Tak berani sedikit pun mencampuri urusan keluarga sang majikan."Berani kamu bilang begitu tentang Lea! Asal kamu tahu, dia belakangan ini selalu bangun pagi hanya untuk memasak sarapan untukmu. Menyiapkan seluruh keperluanmu seperti baju, sepatu dan lain sebagainya. Lantas, di mana letak kekanak-kanakannya?" protes Zaki tidak terima. Matanya melotot tajam menatap sang putra yang tak sekali pun memiliki keberanian menatap wajahnya, diiringi napas yang memburu hebat.Abian diam membisu. Mungkin ucapan sang ayah tak sepenuhnya salah. Tapi mau bagaimana pun juga, kesan Lea sudah jelek di mata Abian dari dulu. Sebab itu, sampai kapan pun Abian
Lara mengerucutkan bibir menahan rasa dongkol.Sedangkan Abian gegas mendorong tubuh sang istri menjauh darinya dan segera bangkit. Rasa gusar membuatnya melangkahkan kakinya cepat keluar dari dalam ruangan."Dia datang!" suara tipis yang terdengar samar membuat langkah Abian terhenti selang selangkah melewati garis pintu.Sadar tengah diperhatikan diam-diam, Abian memutar bola matanya menyisir seluruh penjuru ruangan. Namun tak membuat pria itu menggerakkan kepalanya. Hal itu ia lakukan agar si pengintai tak tahu jika Abian mengetahui keberadaan mereka.Sebuah siku terlihat bergerak dari balik vas bunga keramik yang letaknya tak jauh dari tempat Abian berdiri kala itu. Vas bunga yang tak terlalu besar, tak dapat menutupi dua tubuh orang dewasa yang tengah bersembunyi di balik sana.Bisa Abian pastikan, jika mereka adalah mertua Abian yang tengah menguping di depan kamar. Terlihat dari gelang emas yang dipakai mama mertuanya sebelum ini.Abian menghela nafas panjang, sebelum beranjak
Sadar sesuatu menyembul dari balik resleting celana, mata Abian yang sebelumnya memejam tiba-tiba melebar. Ia gegas mendorong tubuhnya menjauhi Lara.Tautan bibir yang dipaksa terlepas membuat napas Abian dan Lara memburu. Kedua pandangan mata itu saling bertemu untuk beberapa saat, sebelum Abian memutuskan untuk bangkit dan melawan hawa nafsu yang mulai menguasai dirinya.Lara diam mematung. Merasakan kekecewaan yang mulai menyesakkan dada."Se-sepertinya orang tuamu sudah pergi. Aku akan cek ke luar," ujar Abian tergagap sebab salah tingkah. Matanya mengedar, seakan tak ingin teralih pada tubuh sang istri lagi, yang kini pakaiannya acak-acakan sebab ulahnya sendiri. Mungkin kejantanannya akan kembali bangkit jika hal itu benar terjadi.Abian gegas melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Namun bukan untuk mengecek keberadaan kedua mertuanya, Abian justru memasuki ruang kerjanya.Abian lantas buru-buru menutup pintu dan bersender di dinding ruangan. Mencoba menjernihkan pikirannya seb