Kris berdiri mematung cukup lama di halaman besar itu. Tatapannya tak lepas dari deretan penjaga keamanan yang berdiri kaku seperti patung, tubuh-tubuh besar mereka membentuk barisan penghalang yang sulit ditembus. Keringat dingin merembes di pelipisnya. Ia tahu betul, semakin lama ia menunda, semakin besar pula risiko yang harus ia tanggung ketika kembali pada Abian.Mendadak, sebuah ide konyol melintas di kepalanya. Ia mengangkat tangan, menuding ke arah langit dengan suara lantang, "Woah! Pesawat tempur sedang menari balet!"Spontan para penjaga menoleh ke arah yang ia tunjuk. Gerakan refleks mereka memberi celah, walau hanya sekejap.‘Kesempatan!’ pekik Kris dalam hati.Dengan langkah secepat bayangan, ia berlari ke arah berlawanan. Nafasnya tertahan, degup jantung berdegum keras di telinga. Tanpa suara, ia menyelinap masuk melewati sisi pagar, hingga akhirnya tubuhnya berhasil menjejak lantai marmer dingin di dalam rumah besar itu.Namun, baru beberapa langkah ia menoleh ke belak
“Pak, jika diizinkan. Biar saya yang mencari Nyonya,” ujar Kris dengan suara bergetar, seolah kata-kata itu sendiri memberatkannya.Abian terdiam. Sesak menyesak di dadanya membuat kata-kata tak kunjung keluar. Napasnya naik turun tidak teratur, tatapannya kosong namun menyimpan bara. Untuk beberapa saat ia hanya menatap Kris tanpa suara, hingga akhirnya tangan itu bergerak—lambaian tegas yang menjadi tanda persetujuan.“Bawa dia kembali secepatnya. Jika dia terluka, nyawamu jadi penggantinya,” ucap Abian. Suaranya rendah, serak, namun sarat ancaman yang menusuk seperti pisau dingin.Kris menelan ludah keras-keras. Tenggorokannya tercekat, dan seketika ia menyesali inisiatif yang tadi diucapkannya. Namun apa gunanya penyesalan sekarang? Yang terpenting hanyalah memastikan keselamatan sang Nyonya. Dengan membungkuk hormat, ia menegaskan kepatuhan.“Baik, Pak.”Tanpa menunggu waktu lebih lama, Kris berbalik. Langkahnya tergesa, seolah setiap detik yang ia sia-siakan sama dengan memperpe
Lara kini terdiam, duduk di kursi penumpang mobil di samping Calista. Sorot matanya kosong, menembus kaca depan seolah-olah tidak benar-benar melihat jalan raya. Wajahnya pucat, ekspresi seperti seseorang yang baru saja diterpa ombak besar, diombang-ambingkan, lalu ditinggalkan tak berdaya.Calista, yang berada di balik kemudi, melirik putrinya beberapa kali dengan pandangan penuh cemas. Hatinya dipenuhi tanya. Ada banyak hal yang ingin ia lontarkan—tentang isu berita yang sempat beredar, tentang wajah Lara yang nampak begitu rapuh malam ini. Namun, kata-kata itu seakan tertahan di kerongkongan. Yang terucap hanya hembusan napas panjang, berat, seperti hendak membuang rasa khawatir yang menekan dadanya.“Ada apa? Kamu bertengkar dengan Abian?” akhirnya Calista membuka suara. Pertanyaan itu meluncur pelan, hampir ragu. Ia masih teringat jelas, sebelum meninggalkan kediaman Mahendra tadi, ia menyaksikan sendiri bagaimana Abian berdiri tegak membela putrinya di hadapan wartawan. Hubungan
Lorong rumah sakit memantulkan cahaya putih yang dingin, seperti garis-garis tipis yang membelah gelap. Bau antiseptik menusuk hidung, bercampur samar dengan aroma obat yang menggantung di udara. Di antara bunyi roda brankar yang menderu pelan, napas Lara terdengar patah-patah. Jemarinya gemetar saat berusaha menyeka air mata yang tak juga berhenti.“Abian, aku mohon bertahanlah ….” suaranya pecah di sela isak tangis. Kata-kata itu meluncur serupa doa yang putus-putus, mengikuti langkah cepat perawat yang mendorong brankar tempat Abian terbaring tak sadar. Selang oksigen menempel di hidungnya; dada bidang yang biasanya tegap naik turun tak teratur, bagai perahu ringkih dihantam ombak di malam yang buruk.Kris, yang mendampingi sejak awal, menahan lengan Lara ketika ia hendak menerobos pintu IGD yang mulai menutup. Sentuhan Kris keras namun hati-hati, semacam jangkar di tengah riuh gelombang. “Nyonya, tolong tenanglah. Biarkan dokter bekerja,” ucapnya pelan tetapi tegas, menatap Lara d
Mobil hitam yang dinaiki Calista kini telah berhenti di depan kediaman Mahendra. Dari balik jendela, terlihat puluhan wartawan sudah mengepung area depan rumah megah itu. Delapan petugas keamanan tampak kewalahan menahan terjangan kamera dan mikrofon yang berusaha masuk melewati pagar. Suasana begitu ricuh—teriakan, desakan, dan kilatan lampu kamera silih berganti memenuhi udara.Calista menggenggam ujung tasnya dengan gelisah. Nafasnya memburu, matanya menatap penuh resah pada kerumunan yang terus meneriakkan pertanyaan menyudutkan tentang putrinya. Ia benar-benar tidak tahan mendengar nama Lea disebut-sebut dengan nada penuh tuduhan. Tangan mungilnya akhirnya bergerak, meraih gagang pintu mobil dengan niat untuk turun.Namun, baru saja jarinya menyentuh permukaan dingin logam itu, perhatiannya terhenti oleh sebuah pemandangan dari balik kaca. Abian, menantunya, muncul dari gerbang tinggi kediaman dengan langkah tegap. Di sisinya, Lea berjalan beriringan, wajahnya terlihat pucat namu
“Pak, ini aneh, berita itu menghilang secara tiba-tiba. Alpha News kembali menduduki peringkat pertama trending topik di media sosial!” ujar salah seorang karyawan Pak Brata dengan suara panik. Napasnya tersengal karena berlari menuju meja atasannya.Pak Brata yang sedang duduk santai di kursi putarnya sontak berdiri. Telapak tangannya menghantam meja dengan keras.Brak!“Bagaimana mungkin?! Setengah jam yang lalu berita itu masih berada di tingkat teratas!” suaranya berat, sarat amarah bercampur keheranan.Karyawan itu menunduk, lalu menjelaskan dengan terbata. “Sejak video wawancara itu disisipkan cuplikan panas putri Anda, tayangan itu seolah tidak dapat dihentikan, Pak. Bahkan dijeda tayangan iklan pun tidak bisa. Saya menduga ada seseorang yang dengan sengaja mengaturnya. Dan orang yang menekan berita itu, pasti orang yang sama.”'Ya, dari awal, aku sudah curiga. Pasti orang-orangnya Abian yang mengatur semua ini. Tapi apa keuntungan yang mereka dapatkan setelah menghancurkan Alp