LOGINMeskipun pernikahan ini adalah perjodohan kedua keluarga, tapi calon suami Senian adalah orang yang baik, tampan dan bertanggung jawab. Setidaknya itu kesan yang dia dapatkan selama dua tahun menjadi tunangan Xieran.
Di kehidupan sebelumnya, Senian panik karena hari ini adalah hari pernikahannya. Bagaimanapun juga, selama dua tahun ini dia sudah jatuh cinta ke calon suaminya.
Dulu, Senian berusaha mencari cara untuk keluar. Dia berulang kali menekan gagang pintu, mengguncang keras-keras, sampai kulit telapak tangannya perih. Air mata hampir jatuh, namun rasa takut justru membuatnya semakin nekat. Dia menendang, memukul, meraba dan berteriak minta tolong.
Setiap sudut ruangan yang asing tapi terasa begitu nyata dalam ingatannya.
Setelah berjam-jam mencoba, sebuah panggilan kecil dari luar memberinya jalan keluar. Beberapa pelayan menemukannya. Mereka mencari Senian karena menghilang dari kamar di hari pernikahannya sendiri.
Senian jatuh terduduk di koridor gelap dengan napas terengah, tapi dalam hatinya tumbuh harapan baru. “Aku bisa keluar” pikirnya bahagia.
“Aku bisa tetap menikah dengan Xieran” batinnya dengan keyakinan penuh.
Baginya saat itu, pernikahan adalah satu-satunya pegangan, satu-satunya cara untuk hidup sesuai takdir yang telah dijanjikan.
Hari itu, dia akhirnya berdiri di pelaminan dengan gaun putih. Senyum terukir di wajahnya, meski dalam hati ada getir yang tak bisa dijelaskan. Xieran, pria tampan dan kaya yang sudah dua tahun menjadi tunangannya, kini resmi menjadi suaminya. Senian meyakinkan diri bahwa segala penderitaan sebelumnya akan terbayar, bahwa hidup barunya akan penuh kebahagiaan.
Namun, seiring waktu, keyakinan itu runtuh. Xieran tak pernah benar-benar menoleh padanya. Tatapannya selalu dingin, suaranya selalu datar. Setiap pagi dia berangkat kerja lebih awal, setiap malam pulang larut, jarang sekali tersenyum padanya selain sekadar basa-basi.
Kehadiran Senian tak pernah dianggap penting.
Dalam enam tahun berikutnya, Senian menghabiskan seluruh usahanya demi diterima oleh suaminya. Dia meninggalkan pekerjaan di perusahaan keluarga, padahal itu adalah warisan kakeknya, darah dan keringat ayahnya. Dia berpikir, dengan fokus pada rumah besar keluarga Muller, Xieran akan lebih menghargainya. Dia menyiapkan makanan hangat, merawat rumah dengan teliti, menunggu setiap dia pulang kerja.
Tapi semua itu hanya berbalas dengan keheningan. Senian merelakan masa mudanya, hanya untuk seseorang yang tidak pernah benar-benar menoleh padanya.
Selama enam tahun pernikahan itu, kehidupan Senian tampak nyaris sempurna di mata orang luar.
Xieran menjalankan perannya sebagai suami dengan baik, dia menyentuhnya, bahkan sesekali memberinya hadiah mewah yang membuat orang lain iri.
Di setiap acara keluarga, pesta bisnis, atau undangan resmi, mereka hadir bersama sebagai pasangan ideal, Senian dengan gaun anggun dan senyum lembutnya, Xieran dengan sikap tenang dan wibawanya.
Namun di balik panggung itu, Senian tahu ada dinding tebal yang tak bisa dia runtuhkan. Xieran memang selalu ada secara fisik, tapi jiwanya jauh, dingin, seolah tak pernah benar-benar membiarkan dirinya masuk. Tatapannya jarang melembut, senyumnya hampir tak pernah terlihat, dan meski dia tak pernah kasar, ada jarak beku yang membuat Senian merasa seolah dirinya hanyalah hiasan di sisinya.
Enam tahun dia mencoba segalanya.
Namun waktu berjalan tanpa keajaiban. Rahimnya tetap kosong, dan setiap bulan menjadi pengingat pedih bahwa dia belum juga memberi cucu untuk keluarga besar itu.
Mertua yang dulu pernah ramah mulai menunjukkan wajah asli. Di depan kerabat, ibu mertua melempar senyum manis, tapi di rumah ucapannya tajam seperti pisau.
“Perempuan macam apa yang tak bisa memberi keturunan?”
“Kalau saja Xieran menikah dengan gadis lain, pasti sekarang sudah ada penerus keluarga.”
Kata-kata itu menusuk, tapi Senian hanya menunduk, menahan air mata agar tidak jatuh.
Dan seakan penderitaan itu belum cukup, perlahan sosok Yuilan adik tirinya sendiri masuk ke dalam lingkaran hidup mereka.
Dengan wajah manis dan sikap penuh perhatian, dia berhasil menyita perhatian semua orang, termasuk Xieran dan ibu mertuanya. Senian menyaksikan perlahan suaminya mulai menoleh lebih sering pada Yuilan, sementara mertuanya terang-terangan menunjukkan kasih sayang padanya, seolah Yuilan lah menantu sejati yang selama ini mereka dambakan.
Di balik senyum yang terus dia pertahankan di depan semua orang, hati Senian terkikis sedikit demi sedikit, menyisakan kehampaan dan luka yang tak seorang pun mau mengerti.
Delapan tahun kebersamaan dengan Xieran menjadi sia-sia. Xieran hanya mengikis masa mudanya selama delapan tahun bersamanya.
Dengan kepala pening, potongan kehidupan masa lalunya seperti film yang diputar kembali di depannya.
Senian menatapnya dengan mata berkilat dengan amarah yang telah lama dia kubur.“Kamu ingin tahu kebenarannya?” Senian mendekat setengah langkah, suaranya rendah tapi tajam seperti pecahan kaca. “Cinta itu Xieran, cintamu membunuhku.”Xieran mengerjap, seolah pukulan tidak terlihat menghantam dadanya.“Aku dulu mencintaimu sampai aku lupa diriku sendiri,” lanjut Senian, suaranya bergetar karena luka yang terbuka lagi.“Aku mencintaimu sampai aku kehilangan harga diriku, kebahagiaanku, bahkan masa depanku. Tapi akhirnya, Cinta itu… menghabisi nyawaku.”Dia menarik napas gemetar, lalu menatap Xieran lurus, tanpa belas kasihan.“Dan sekarang? Cinta itu sudah mati. Tidak ada lagi yang tersisa untukmu.”Xieran memucat. Kata-kata itu menampar lebih keras dari kebencian mana pun.Kata-kata Senian menggema di kepala Xieran seperti gema di ruang kosong.“Cinta itu membunuhku.”Bukan kiasan. Bukan ungkapan patah hati biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih nyata.Xieran menatap Senian dengan
Xieran berhenti beberapa langkah dari pintu keluar hotel. Ada dorongan di hatinya, entah apa yang membuatnya menoleh kembali.Di kejauhan, dia melihat Senian berjalan berdampingan dengan Emilia.Senian berbicara sambil tersenyum tipis, anggun dan percaya diri. Cara dia berdiri, cara dia berjalan, sangat berbeda. Aura itu tenang namun berwibawa, jelas bukan lagi sosok yang dulu selalu menunduk di sisi dirinya.Dia berubah, dan bukan sekadar berubah.Dia berkembang.Cahaya lampu lobi memantulkan kilaian lembut di wajah Senian, memperlihatkan sosok wanita yang matang, mandiri, dan kuat. Tidak lagi gadis lembut yang dulu menunggu perhatiannya.Senian kini menjadi wanita yang dihormati, dipandang, dan bersinar tanpa dirinya.Xieran merasakan sesak halus di dadanya.Ada kebanggaan aneh menyelinap, dia senang melihat Senian hidup dengan baik, penuh harga diri, seperti yang seharusnya sejak dulu.Namun di balik itu, ada kenyataan pahit yang menusuk. Wanita yang bersinar itu bukan lagi milikny
“Kebetulan saja atau mungkin tidak?” balasnya halus, nada ucapannya seperti tantangan.Senian yang duduk di meja tidak jauh darinya melihat interaksi itu, sedikit terkejut tapi tetap tenang. Begitu juga Emilia. Tenyata apa yang dirasakannya benar adanya. “Firasatmu peka juga” bisik Emilia.Xieran menahan diri, menatap Senian sebentar sebelum memalingkan wajah ke Lucien. “Jangan berani mengganggu dia,” ucap Xieran, suara rendah tapi tegas. Lucien menatap balik, tidak gentar.Lucien bangkit dari duduknya, posisinya sekarang sudah ketahuan oleh Senian. Tidak baik untuk berdiam disini.“Aku tidak akan menyentuhnya, untuk saat ini. Ingat krisis Muller Group beberapa waktu lalu. Fokuslah pada perusahaanmu jika ingin tetap aman,” bisiknya sambil berlalu meninggalkan Xieran.Kata-kata itu begitu dingin dan terukur, seolah menamparnya langsung.Rahangnya menggertak, otot di lehernya menegang. Xieran tahu benar, semua kekacauan yang menimpa proyek-proyek Muller bukan sekadar kecelakaan atau ma
Matahari mulai naik lebih tinggi ketika ketenangan pagi itu mulai terganggu oleh suara notifikasi di ponsel Nathan. Dia menatap layar sebentar, wajahnya berubah tegang. Senian yang masih berada dalam pelukan, menoleh penasaran.Nathan menutup ponsel dan memandang Senian, nada suaranya tenang tapi tegas. “Sepertinya kita tidak bisa menikmati pagi ini terlalu lama,” ucapnya sambil menghela napas. “Ada seseorang yang sudah kembali, Lucien Arden. Dia mengamati kita.”Senian duduk perlahan, rambutnya masih kusut karena tidur, namun matanya tajam mendengar nama itu.“Lucien? Apa maksudmu?” tanyanya, mencoba memahami situasi.Nathan membawa Senian ke ruang kerja pribadinya.“Lucien telah kembali dari Eropa. Selama Xieran koma aku membuat beberapa masalah di perusahaannya di eropa agar dia pergi dan kita fokus ke Xieran.”Nathan menunjukkan beberapa dokumen dan foto yang dikirim oleh tim khusus Daniel Barta. Semua menunjuk pada gerak-gerik Lucien. Mengikuti jadwal mereka, kehadiran di lokasi
Di ruang rapat, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya tajam namun penuh perhatian. Di hadapannya terhampar laporan-laporan proyek, grafik pertumbuhan, dan dokumen strategi bisnis yang kompleks.“Hari ini, aku akan memberikan kalian tugas pertama,” ujar Senian.“Ini bukan sekadar latihan. Ini adalah proyek nyata yang harus kalian selesaikan dengan baik. Tujuannya adalah agar kalian memahami bagaimana perusahaan berjalan dari bawah, dan bagaimana setiap keputusan berdampak pada seluruh operasi.”Marco menatap dokumen dengan wajah campur aduk antara kagum dan cemas. “Ini… serius, ya? Tidak ada latihan palsu?”Senian tersenyum tipis.“Ini nyata, Marco. Aku ingin kalian belajar dari pengalaman langsung, bukan sekadar teori. Tidak ada ruang untuk kesalahan yang diulang-ulang tanpa pembelajaran.”Gao Lin menatap proyek yang diberikan, matanya berbinar. “Baik, kak Senian. Kami siap.”Senian mengangguk, lalu membagi tugas.Marco akan memimpin analisis pasar dan strategi ekspansi p
Di ruang kantor yang luas dan terang, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya menatap dokumen, laporan, dan rencana strategi tersebar di meja, menandakan hari pertama mereka memasuki dunia nyata perusahaan.“Dengar baik-baik,” ujar Senian dengan tegas namun tidak keras.“menjadi pewaris bukan soal jabatan atau nama besar. Itu tentang kemampuan, disiplin, dan tanggung jawab. Aku tidak akan memberikan jalan mudah pada kalian.”Marco mengerutkan kening, merasa sedikit terkejut.Meskipun dia adalah pewaris keluarga Zhuge, posisi direktur tidak langsung diberikan padanya. Dia harus memulai dari bawah dan belajar memahami operasi, strategi, dan tanggung jawab manajerial terlebih dahulu.Gao Lin, di sisi lain, tampak antusias.Dia menyadari pentingnya pengalaman langsung dan kesempatan belajar di bawah bimbingan Senian. “Baik, Nona. Aku siap belajar,” ujarnya mantap.Senian melirik Gao Lin, dia menahan senyum. “Gao Lin… tolong jangan panggil aku Nona lagi.”Gao Lin terkejut, matan







