MasukPagi itu, cahaya matahari baru saja menyelinap lewat jendela ketika teriakan panik seorang pelayan terdengar dari kamar lantai atas.
“Nona… nona tidak ada! Nona Senian tidak ada di kamarnya!”
Suasana rumah seketika heboh. Para pelayan yang sedang menyiapkan hidangan dan hiasan berlarian ke arah kamar pengantin wanita. Pintu kamar terbuka lebar, ranjangnya kosong, selimut sedikit berantakan tanda pernah digunakan. Pengantinnya sendiri menghilang tanpa jejak.
Seorang pelayan menutup mulutnya dengan tangan, matanya membesar ketakutan.
“Bagaimana mungkin nona pergi di hari pernikahannya? tidak mungkin… ini pasti ada yang salah.” Ucap Gao Lin.
Gao Lin adalah asisten pribadi Senian, dia adalah orang paling dekat dengannya saat ini. Saat mendengar nona mereka tidak ada, dia langsung panik.
Yang lain mencoba mencari petunjuk membuka lemari, memeriksa balkon, bahkan mengintip ke bawah meja. Namun tak ada satu pun jejak keberadaan Senian. Tidak ada catatan, tidak ada barang bawaan, hanya kekosongan yang membuat bulu kuduk mereka merinding.
“Kalau keluarga tahu… bagaimana ini?” bisik salah satu pelayan dengan wajah pucat pasi. Gao Lin hanya terdiam membeku.
Mereka tahu, pagi ini adalah hari besar, hari di mana seluruh tamu penting sudah dijadwalkan hadir. Ketidakhadiran sang pengantin wanita bisa berarti bencana, bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi para pelayan yang bertugas.
Dengan langkah gemetar, mereka berhamburan keluar kamar, menyusuri lorong-lorong rumah besar itu, memanggil nama nona mereka di setiap sudut.
“Nona Senian! Nona, di mana Anda?” Suara mereka menggema, tapi hanya keheningan yang menjawab.
Dan semakin lama mereka tidak menemukan apa pun, semakin besar rasa takut yang menggerogoti hati mereka. Seolah-olah pengantin wanita itu lenyap begitu saja dari dunia, meninggalkan misteri di hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan.
Pagi itu, rumah keluarga Zhuge berubah menjadi lautan kepanikan.
Seharusnya hari paling membahagiakan, tapi suasana justru mencekam. Gaun putih yang sudah digantung sejak malam kini bergoyang pelan tertiup angin dari jendela terbuka, sementara kamar pengantin wanita kosong tanpa jejak pemiliknya.
Mama Senian, Camila terduduk di kursi, wajahnya pucat dengan air mata yang mengalir.
“Anakku… di mana Senian? kenapa bisa menghilang di hari sepenting ini?” Suaranya pecah, tangannya bergetar meremas sapu tangan yang sudah basah kuyup.
Papa Senian, Andrian mondar-mandir di lorong, wajahnya merah padam, urat di leher menegang.
“Bagaimana mungkin pengantin wanita bisa hilang?! apa kalian semua buta?!” teriaknya pada para pelayan yang juga kebingungan mencari ke setiap sudut rumah.
Sementara itu, Yuilan berdiri di dekat ibu mereka, menundukkan kepala dengan ekspresi penuh simpati yang dipoles rapi.
“Mama tenanglah… mungkin Kakak hanya sedang gugup. Aku yakin sebentar lagi dia akan kembali,” ucapnya lembut, tangannya mengusap punggung sang ibu seolah menenangkan.
“Bukankah masih ada waktu, ini masih terlalu pagi untuk ke acara pernikahan” lanjut Yuilan menenangkan.
Namun di balik wajah manisnya, tersimpan kilatan samar kemenangan kecil yang dia rahasiakan. Yuilan menahan tawa kecil di dalam hati.
Tak seorang pun tau.
“Mereka tidak akan menemukannya. tidak hari ini!.” Batinnya penuh kebanggaan, seakan setiap langkah rencananya berjalan mulus.
Sementara itu, suasana rumah semakin kacau balau. Para pelayan bertabrakan di lorong, perintah saling bersahutan, sementara dekorasi pernikahan yang sudah hampir rampung berantakan karena tergesa-gesa, bunga yang dipersiapkan terinjak, meja hidangan miring terkena sapuan rok pelayan yang panik.
Persiapan yang semestinya megah berubah menjadi kekacauan.
Dan di tengah hiruk-pikuk itu, Yuilan menunduk seolah ikut bersedih, padahal dalam hatinya ia menikmati setiap detik kepanikan itu, karena semua ini adalah panggung awal dari kebanggaan dirinya.
Tiba-tiba dari lorong samping terdengar derap langkah sepatu berhak tinggi.
Tamara, tante Yuilan, muncul dengan gaun elegan berwarna ungu tua, rambutnya sudah disanggul rapi dengan perhiasan berkilau. Seharusnya dia hanya tinggal duduk anggun di kursi tamu kehormatan, menikmati acara megah ini. Namun yang dia dapati justru pemandangan kacau balau pelayan berlarian, suara tangisan dan teriakan memenuhi udara.
“Apa yang terjadi di sini?” seru Tamara dengan dahi berkerut.
Gaunnya yang mewah seolah tidak sejalan dengan kepanikan yang melingkupi rumah itu. Dia segera menghampiri Camila, mama Senian yang masih duduk pucat sambil menutup wajah dengan sapu tangan basah oleh air mata.
“Kenapa, ada apa?” tanya Tamara dengan nada panik.
Senian menatapnya dengan mata berkilat dengan amarah yang telah lama dia kubur.“Kamu ingin tahu kebenarannya?” Senian mendekat setengah langkah, suaranya rendah tapi tajam seperti pecahan kaca. “Cinta itu Xieran, cintamu membunuhku.”Xieran mengerjap, seolah pukulan tidak terlihat menghantam dadanya.“Aku dulu mencintaimu sampai aku lupa diriku sendiri,” lanjut Senian, suaranya bergetar karena luka yang terbuka lagi.“Aku mencintaimu sampai aku kehilangan harga diriku, kebahagiaanku, bahkan masa depanku. Tapi akhirnya, Cinta itu… menghabisi nyawaku.”Dia menarik napas gemetar, lalu menatap Xieran lurus, tanpa belas kasihan.“Dan sekarang? Cinta itu sudah mati. Tidak ada lagi yang tersisa untukmu.”Xieran memucat. Kata-kata itu menampar lebih keras dari kebencian mana pun.Kata-kata Senian menggema di kepala Xieran seperti gema di ruang kosong.“Cinta itu membunuhku.”Bukan kiasan. Bukan ungkapan patah hati biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih nyata.Xieran menatap Senian dengan
Xieran berhenti beberapa langkah dari pintu keluar hotel. Ada dorongan di hatinya, entah apa yang membuatnya menoleh kembali.Di kejauhan, dia melihat Senian berjalan berdampingan dengan Emilia.Senian berbicara sambil tersenyum tipis, anggun dan percaya diri. Cara dia berdiri, cara dia berjalan, sangat berbeda. Aura itu tenang namun berwibawa, jelas bukan lagi sosok yang dulu selalu menunduk di sisi dirinya.Dia berubah, dan bukan sekadar berubah.Dia berkembang.Cahaya lampu lobi memantulkan kilaian lembut di wajah Senian, memperlihatkan sosok wanita yang matang, mandiri, dan kuat. Tidak lagi gadis lembut yang dulu menunggu perhatiannya.Senian kini menjadi wanita yang dihormati, dipandang, dan bersinar tanpa dirinya.Xieran merasakan sesak halus di dadanya.Ada kebanggaan aneh menyelinap, dia senang melihat Senian hidup dengan baik, penuh harga diri, seperti yang seharusnya sejak dulu.Namun di balik itu, ada kenyataan pahit yang menusuk. Wanita yang bersinar itu bukan lagi milikny
“Kebetulan saja atau mungkin tidak?” balasnya halus, nada ucapannya seperti tantangan.Senian yang duduk di meja tidak jauh darinya melihat interaksi itu, sedikit terkejut tapi tetap tenang. Begitu juga Emilia. Tenyata apa yang dirasakannya benar adanya. “Firasatmu peka juga” bisik Emilia.Xieran menahan diri, menatap Senian sebentar sebelum memalingkan wajah ke Lucien. “Jangan berani mengganggu dia,” ucap Xieran, suara rendah tapi tegas. Lucien menatap balik, tidak gentar.Lucien bangkit dari duduknya, posisinya sekarang sudah ketahuan oleh Senian. Tidak baik untuk berdiam disini.“Aku tidak akan menyentuhnya, untuk saat ini. Ingat krisis Muller Group beberapa waktu lalu. Fokuslah pada perusahaanmu jika ingin tetap aman,” bisiknya sambil berlalu meninggalkan Xieran.Kata-kata itu begitu dingin dan terukur, seolah menamparnya langsung.Rahangnya menggertak, otot di lehernya menegang. Xieran tahu benar, semua kekacauan yang menimpa proyek-proyek Muller bukan sekadar kecelakaan atau ma
Matahari mulai naik lebih tinggi ketika ketenangan pagi itu mulai terganggu oleh suara notifikasi di ponsel Nathan. Dia menatap layar sebentar, wajahnya berubah tegang. Senian yang masih berada dalam pelukan, menoleh penasaran.Nathan menutup ponsel dan memandang Senian, nada suaranya tenang tapi tegas. “Sepertinya kita tidak bisa menikmati pagi ini terlalu lama,” ucapnya sambil menghela napas. “Ada seseorang yang sudah kembali, Lucien Arden. Dia mengamati kita.”Senian duduk perlahan, rambutnya masih kusut karena tidur, namun matanya tajam mendengar nama itu.“Lucien? Apa maksudmu?” tanyanya, mencoba memahami situasi.Nathan membawa Senian ke ruang kerja pribadinya.“Lucien telah kembali dari Eropa. Selama Xieran koma aku membuat beberapa masalah di perusahaannya di eropa agar dia pergi dan kita fokus ke Xieran.”Nathan menunjukkan beberapa dokumen dan foto yang dikirim oleh tim khusus Daniel Barta. Semua menunjuk pada gerak-gerik Lucien. Mengikuti jadwal mereka, kehadiran di lokasi
Di ruang rapat, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya tajam namun penuh perhatian. Di hadapannya terhampar laporan-laporan proyek, grafik pertumbuhan, dan dokumen strategi bisnis yang kompleks.“Hari ini, aku akan memberikan kalian tugas pertama,” ujar Senian.“Ini bukan sekadar latihan. Ini adalah proyek nyata yang harus kalian selesaikan dengan baik. Tujuannya adalah agar kalian memahami bagaimana perusahaan berjalan dari bawah, dan bagaimana setiap keputusan berdampak pada seluruh operasi.”Marco menatap dokumen dengan wajah campur aduk antara kagum dan cemas. “Ini… serius, ya? Tidak ada latihan palsu?”Senian tersenyum tipis.“Ini nyata, Marco. Aku ingin kalian belajar dari pengalaman langsung, bukan sekadar teori. Tidak ada ruang untuk kesalahan yang diulang-ulang tanpa pembelajaran.”Gao Lin menatap proyek yang diberikan, matanya berbinar. “Baik, kak Senian. Kami siap.”Senian mengangguk, lalu membagi tugas.Marco akan memimpin analisis pasar dan strategi ekspansi p
Di ruang kantor yang luas dan terang, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya menatap dokumen, laporan, dan rencana strategi tersebar di meja, menandakan hari pertama mereka memasuki dunia nyata perusahaan.“Dengar baik-baik,” ujar Senian dengan tegas namun tidak keras.“menjadi pewaris bukan soal jabatan atau nama besar. Itu tentang kemampuan, disiplin, dan tanggung jawab. Aku tidak akan memberikan jalan mudah pada kalian.”Marco mengerutkan kening, merasa sedikit terkejut.Meskipun dia adalah pewaris keluarga Zhuge, posisi direktur tidak langsung diberikan padanya. Dia harus memulai dari bawah dan belajar memahami operasi, strategi, dan tanggung jawab manajerial terlebih dahulu.Gao Lin, di sisi lain, tampak antusias.Dia menyadari pentingnya pengalaman langsung dan kesempatan belajar di bawah bimbingan Senian. “Baik, Nona. Aku siap belajar,” ujarnya mantap.Senian melirik Gao Lin, dia menahan senyum. “Gao Lin… tolong jangan panggil aku Nona lagi.”Gao Lin terkejut, matan







