Masuk
Senian perlahan membuka mata dan menatap sekeliling ruangan yang asing.
Udara di dalam ruangan itu dingin, sedikit lembap, bau kapur dan aroma kayu lapuk menyeruak. Dinding kamar kusam dan perabotaan sederhana yang tak pernah dia lihat, tapi anehnya semuanya terasa sangat akrab. Cahaya yang masuk dari sela jendela kecil menyilaukan wajahnya membuat dia menyipitkan mata.
Dia mengangkat tangan menutupi wajahnya dari cahaya matahari yang silau. Matanya mulai menatap sekeliling ruangan.
Ruangan ini hanya ada satu pintu kayu dengan gagang pintu yang sedikit berkarat. Ada goresan di ambang pintu, bekas tangan.
Potongan memori yang lambat-lambat merayap naik.
“akh ini bukan kamarku, tapi …….” Senian membelalakkan matanya. Sesaat dia ingat, ruangan ini, seperti kejadian enam tahun yang lalu.
“Kenapa aku kembali ke sini?” pikirnya. Suaranya serak bahkan untuk dirinya sendiri.
Apakah ini mimpi? Beberapa menit yang lalu dia ingat, memori tentang hari pernikahan, gaun yang belum sempat dipakai, wajah yang dingin, janji-janji yang retak, nyala api yang membesar, lalu kegelapan dan seharusnya itu akhir.
Apa yang terjadi, bukankah dia sudah mati!?
Dia meraba saku, berharap menemukan sesuatu yang nyata tapi tidak menemukan apapun. Dia melihat ada bekas luka samar di pergelangan yang terasa perih seperti bekas jeratan. Jemarinya masih halus, kulitnya belum dipenuhi garis lelah enam tahun pernikahan.
Dia terdiam, lalu bangkit dengan susah payah menuju cermin kecil yang tergantung miring di dinding. Bayangan yang menatap balik adalah wajah mudanya, mata penuh cahaya, kulit segar, bukan wajah lusuh yang pernah dia lihat di akhir hidupnya.
Matanya berkaca-kaca, bukan hanya karena sakit, tapi ada campuran ketakutan, kebingungan, dan sesuatu yang lebih berbahaya. Ruangan ini tidak asing, dia mengenalnya karena sesuatu yang paling buruk dalam hidupnya pernah terjadi.
Ini adalah tempat dia pernah terkurung enam tahun lalu. Ingatan itu meledak, padat dan dingin. Gambaran villa, pemindahan, keheningan yang mematikan.
Dalam sekejap, semua ingatannya kembali.
“Bagaimana mungkin?” bisiknya.
Jika dia kembali di sini, berarti waktu telah bergeser atau dirinya dipaksa untuk mengulang. Ada alasan mengapa jejak-jejak itu disiapkan untuknya lagi.
Perlahan, kesadaran berpindah dari panik ke kegembiraan kecil, jantungnya yang berdetak memberi bukti bahwa dia masih hidup, dan ini adalah kesempatan.
Jika dia memang hidup lagi, jika takdir memberinya detik kedua, apakah dia akan membiarkan kejadian lama terulang?
Di ujung bibirnya terbit senyum kecil, tipis tetapi nyata.
Napasnya tercekat. “Aku… kembali?” Gumaman itu menggema lirih.
Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin masuk hingga ke dasar paru-paru, dan untuk pertama kali sejak membuka mata, sebuah rencana kecil bergema di otaknya bukan untuk lari lagi, tapi untuk mengubah akhir.
Ternyata dia benar-benar telah bereinkarnasi!
Bereinkarnasi kembali ke enam tahun lalu, pada hari pernikahannya.
Dia adalah Senian Zhuge, putri sulung keluarga Zhuge. Dia bertunangan dengan Xieran Murrel, anak tunggal Muriel Group, pewaris tunggal bisnis keluarga Murrel. Senian mempunyai adik laki-laki Marco Zhuge dan seorang adik tiri, Yuilan Zhuge.
Ingatannya menyeruak, malam sebelum pernikahan, adik tirinya, Yuilan, mengetuk pintu dengan senyum manis.
Dia mengajaknya berbincang, berkata ingin menenangkan hati kakaknya yang akan menikah besok. Tanpa curiga, dia menuruti. Di meja, ada minuman yang Yuilan suguhkan. Dia meneguk tanpa berpikir. Lalu gelap.
Ketika dia sadar, Senian berada di ruangan terkunci.
Sekarang, puzzle itu tersusun jelas. Dulu, dia sama sekali tidak mencurigai kelicikan itu. Dia bodoh, terlalu percaya pada adik tirinya hingga akhirnya, dia terbangun di tempat ini, tidak sadar bahwa hidupnya akan berubah selamanya.
Air mata menggenang di pelupuk, bukan karena kelemahan, melainkan karena campuran getir dan marah.
“Jadi ini awal segalanya” pikirnya.
Tuhan, atau takdir, atau entah siapa, telah mengembalikannya tepat ke titik sebelum kehancuran dimulai.
Hari pernikahannya!.
Hari yang dulu dia kira akan membuka kebahagiaan, tetapi justru membawanya ke neraka panjang.
Kali ini, tidak akan ada kebodohan. Tidak ada lagi kelengahan. Jika ini kesempatan kedua, maka dia bersumpah, kelicikan itu tidak akan pernah berhasil.
Dia tidak akan menjadi korban lagi.
Senian menatapnya dengan mata berkilat dengan amarah yang telah lama dia kubur.“Kamu ingin tahu kebenarannya?” Senian mendekat setengah langkah, suaranya rendah tapi tajam seperti pecahan kaca. “Cinta itu Xieran, cintamu membunuhku.”Xieran mengerjap, seolah pukulan tidak terlihat menghantam dadanya.“Aku dulu mencintaimu sampai aku lupa diriku sendiri,” lanjut Senian, suaranya bergetar karena luka yang terbuka lagi.“Aku mencintaimu sampai aku kehilangan harga diriku, kebahagiaanku, bahkan masa depanku. Tapi akhirnya, Cinta itu… menghabisi nyawaku.”Dia menarik napas gemetar, lalu menatap Xieran lurus, tanpa belas kasihan.“Dan sekarang? Cinta itu sudah mati. Tidak ada lagi yang tersisa untukmu.”Xieran memucat. Kata-kata itu menampar lebih keras dari kebencian mana pun.Kata-kata Senian menggema di kepala Xieran seperti gema di ruang kosong.“Cinta itu membunuhku.”Bukan kiasan. Bukan ungkapan patah hati biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih nyata.Xieran menatap Senian dengan
Xieran berhenti beberapa langkah dari pintu keluar hotel. Ada dorongan di hatinya, entah apa yang membuatnya menoleh kembali.Di kejauhan, dia melihat Senian berjalan berdampingan dengan Emilia.Senian berbicara sambil tersenyum tipis, anggun dan percaya diri. Cara dia berdiri, cara dia berjalan, sangat berbeda. Aura itu tenang namun berwibawa, jelas bukan lagi sosok yang dulu selalu menunduk di sisi dirinya.Dia berubah, dan bukan sekadar berubah.Dia berkembang.Cahaya lampu lobi memantulkan kilaian lembut di wajah Senian, memperlihatkan sosok wanita yang matang, mandiri, dan kuat. Tidak lagi gadis lembut yang dulu menunggu perhatiannya.Senian kini menjadi wanita yang dihormati, dipandang, dan bersinar tanpa dirinya.Xieran merasakan sesak halus di dadanya.Ada kebanggaan aneh menyelinap, dia senang melihat Senian hidup dengan baik, penuh harga diri, seperti yang seharusnya sejak dulu.Namun di balik itu, ada kenyataan pahit yang menusuk. Wanita yang bersinar itu bukan lagi milikny
“Kebetulan saja atau mungkin tidak?” balasnya halus, nada ucapannya seperti tantangan.Senian yang duduk di meja tidak jauh darinya melihat interaksi itu, sedikit terkejut tapi tetap tenang. Begitu juga Emilia. Tenyata apa yang dirasakannya benar adanya. “Firasatmu peka juga” bisik Emilia.Xieran menahan diri, menatap Senian sebentar sebelum memalingkan wajah ke Lucien. “Jangan berani mengganggu dia,” ucap Xieran, suara rendah tapi tegas. Lucien menatap balik, tidak gentar.Lucien bangkit dari duduknya, posisinya sekarang sudah ketahuan oleh Senian. Tidak baik untuk berdiam disini.“Aku tidak akan menyentuhnya, untuk saat ini. Ingat krisis Muller Group beberapa waktu lalu. Fokuslah pada perusahaanmu jika ingin tetap aman,” bisiknya sambil berlalu meninggalkan Xieran.Kata-kata itu begitu dingin dan terukur, seolah menamparnya langsung.Rahangnya menggertak, otot di lehernya menegang. Xieran tahu benar, semua kekacauan yang menimpa proyek-proyek Muller bukan sekadar kecelakaan atau ma
Matahari mulai naik lebih tinggi ketika ketenangan pagi itu mulai terganggu oleh suara notifikasi di ponsel Nathan. Dia menatap layar sebentar, wajahnya berubah tegang. Senian yang masih berada dalam pelukan, menoleh penasaran.Nathan menutup ponsel dan memandang Senian, nada suaranya tenang tapi tegas. “Sepertinya kita tidak bisa menikmati pagi ini terlalu lama,” ucapnya sambil menghela napas. “Ada seseorang yang sudah kembali, Lucien Arden. Dia mengamati kita.”Senian duduk perlahan, rambutnya masih kusut karena tidur, namun matanya tajam mendengar nama itu.“Lucien? Apa maksudmu?” tanyanya, mencoba memahami situasi.Nathan membawa Senian ke ruang kerja pribadinya.“Lucien telah kembali dari Eropa. Selama Xieran koma aku membuat beberapa masalah di perusahaannya di eropa agar dia pergi dan kita fokus ke Xieran.”Nathan menunjukkan beberapa dokumen dan foto yang dikirim oleh tim khusus Daniel Barta. Semua menunjuk pada gerak-gerik Lucien. Mengikuti jadwal mereka, kehadiran di lokasi
Di ruang rapat, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya tajam namun penuh perhatian. Di hadapannya terhampar laporan-laporan proyek, grafik pertumbuhan, dan dokumen strategi bisnis yang kompleks.“Hari ini, aku akan memberikan kalian tugas pertama,” ujar Senian.“Ini bukan sekadar latihan. Ini adalah proyek nyata yang harus kalian selesaikan dengan baik. Tujuannya adalah agar kalian memahami bagaimana perusahaan berjalan dari bawah, dan bagaimana setiap keputusan berdampak pada seluruh operasi.”Marco menatap dokumen dengan wajah campur aduk antara kagum dan cemas. “Ini… serius, ya? Tidak ada latihan palsu?”Senian tersenyum tipis.“Ini nyata, Marco. Aku ingin kalian belajar dari pengalaman langsung, bukan sekadar teori. Tidak ada ruang untuk kesalahan yang diulang-ulang tanpa pembelajaran.”Gao Lin menatap proyek yang diberikan, matanya berbinar. “Baik, kak Senian. Kami siap.”Senian mengangguk, lalu membagi tugas.Marco akan memimpin analisis pasar dan strategi ekspansi p
Di ruang kantor yang luas dan terang, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya menatap dokumen, laporan, dan rencana strategi tersebar di meja, menandakan hari pertama mereka memasuki dunia nyata perusahaan.“Dengar baik-baik,” ujar Senian dengan tegas namun tidak keras.“menjadi pewaris bukan soal jabatan atau nama besar. Itu tentang kemampuan, disiplin, dan tanggung jawab. Aku tidak akan memberikan jalan mudah pada kalian.”Marco mengerutkan kening, merasa sedikit terkejut.Meskipun dia adalah pewaris keluarga Zhuge, posisi direktur tidak langsung diberikan padanya. Dia harus memulai dari bawah dan belajar memahami operasi, strategi, dan tanggung jawab manajerial terlebih dahulu.Gao Lin, di sisi lain, tampak antusias.Dia menyadari pentingnya pengalaman langsung dan kesempatan belajar di bawah bimbingan Senian. “Baik, Nona. Aku siap belajar,” ujarnya mantap.Senian melirik Gao Lin, dia menahan senyum. “Gao Lin… tolong jangan panggil aku Nona lagi.”Gao Lin terkejut, matan







