Share

Rembulan Untuk Mantan Pramuria
Rembulan Untuk Mantan Pramuria
Author: Yeny Yuliana

1. Kupu-kupu cantik di malam yang dingin

Disuatu malam yang dingin, Dimas menghentikan laju mobilnya di kedai kopi yang terletak tidak jauh dari tempat lokalisasi, berniat turun dan memesan secangkir kopi untuk menghangatkan tubuh di kedai itu, tiba-tiba dengan lancang seorang perempuan datang menggedor pintu mobilnya, diiringi riuhnya suara sirene mobil polisi. Rupanya malam itu tengah diadakan razia Satpol PP ditempat lokalisasi.

"Mas-mas, tolong buka pintu mobilnya!" Perempuan itu menunjukan mimik wajah panik.

"Mungkin dia salah satu PSK disini, apakah aku perlu membukakan pintu? Atau membiarkan dia terciduk Polisi? Tapi kasihan sih, ah nggak ada salahnya aku nolongin, kali ini saja", gumam Dimas dalam hati yang diikuti gerak tangannya membukakan pintu mobil untuk perempuan malam itu.

Begitu pintu mobil terbuka, dengan sigap perempuan itu masuk, maringkuk dibawah carseat. Badanya bergetar hebat dengan kepala yang masih meringkuk kebawah. Apakah sedemikian takutnya perempuan ini dengan salah satu resiko yang harus dia tanggung sebagai perempuan malam?

Ingin Dimas menepuk bahu perempuan itu untuk sekedar menyadarkannya dari rasa panik yang menerjang, tetapi situasi ini cukup canggung bagi Dimas. Dia sama sekali tidak mengenal perempuan itu.

"Mbak, tenang ya? Dari luar kaca mobil ini tidak terlihat, Mbak nggak perlu meringkuk seperti itu...", ucap Dimas memecah suasana hening.

Perempuan itu mengangkat kepala dengan nafas yang masih tersenggal. Kedua tanganya memeluk tubuh gemulai yang masih bergetar itu. Perempuan itu menoleh ke arah luar mobil untuk memastikan situasi di luar aman.

"Mas, sementara saya di sini dulu ya sampai situasi di luar aman?",pinta perempuan itu dengan tatapan berkaca-kaca.

Dimas terpukau dengan kecantikan yang dimiliki perempuan itu. Rambut hitam panjang sepinggang dengan poni depan yang cukup tebal, membuat perempuan itu terlihat semakin manis. Dari wajah, kini tatapan mata Dimas turun tertuju pada tubuh perempuan yang kini duduk di sebelahnya. Leher yang begitu indah. Tubuh perempuan itu nampak sekal dibalut gaun merah terang yang sangat ketat di bangian dada, membuat buah dada yang subur itu nampak jelas.

"Mas?", ucap perempuan itu dengan kedua telapak tangan melambai di depan wajah Dimas.

"Mas dengar saya bicara?", sambung si perempuan membuat Dimas mulai tersadar dari lamunanya.

"Oh iya, Mbak, saya dengar kok. Sementara Mbak disini dulu saja sampai situasi di luar aman." jawab Dimas dengan senyum ramah.

Seketika suasana menjadi hening. Satu sama lain memiliki perasaan yang sama, sama-sama malu untuk memulai perbincangan di dalam ruang kecil yang saat itu hanya ada mereka berdua. Dimas masih terus memperhatikan perempuan itu yang sampai sekarang pandanganya terus tertuju di luar, berharap keselamatan memihak kepadanya.

"Mbak mau di sini aja atau kita pergi ke tempat lain?", ucap Dimas ngasal yang berhasil memecah keheningan.

"Eh, bukan gitu, maksud saya, mungkin kalau Mbak lapar kita bisa pergi ke tempat makan dulu sambil nunggu situasi aman."

"Boleh, Mas." jawab perempuan itu singkat.

Dimas memilih untuk memutar kendaraanya, memilih jalan lain untuk menghindari tempat lokalisasi itu.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, sengaja Dimas melakukan itu untuk membuat perempuan yang duduk di sebelahnya merasa nyaman. Laju kendaraan mereka terhenti di suatu kedai makan yang cantik dengan aksen vintage di dalamnya.

Ketika tangan perempuan itu hendak membuka pintu mobil, Dimas dengan sigap menghentikannya.

"Tunggu!", seru Dimas seraya melepas kemeja bermotif kotak yang dia kenakan.

"Ini Mbak, dipakai aja," Dimas menyerahkan kemejanya pada perempuan itu.

"Loh, Mas, kenapa sampai melakukan itu? Saya sudah terbiasa berpakaian seperti ini," jawab si perempuan.

"Jangan Mbak! Saya mohon, pakai kemeja ini. Tubuh Anda begitu beharga!" ucap Dimas meyakinkan.

Perempuan itu tersenyum, membalas ucapan Dimas dengan tangan menengadah, yang berati dia mengiyakan untuk memakai kemeja pemberian Dimas.

'Ternyata masih ada laki-laki yang menganggapku beharga di dunia ini.' gumam si perempuan dalam hati. Ucapan Dimas cukup membesarkan hatinya yang rapuh oleh banyaknya sayatan luka dari banyak pria yang pernah dia temani. Bagaimana tidak? Disaat semua laki-laki yang datang kepadanya hanya membutuhkan kenikmatan atas raganya, disaat setiap pria yang melaluinya tak segan berpandangan liar dan menggodanya, bahkan tak jarang dia menerima ucapan dan sikap kasar dari para tamu laki-laki yang datang.

"Kita duduk di bangku pojok ya,"

"Oh, iya Mas."

Mereka duduk saling berhadapan di bangku yang mereka tuju. Tangan Dimas memegang selembar kertas yang bertuliskan menu yang dijual di kedai itu.

"Mbak mau pesan apa?" tanya Dimas dengan tatapan mata masih tertuju pada selembar kertas yang dilaminating, bertuliskan menu di tanganya.

"Samaan aja Mas," jawab perempuan itu sambil menatap sekeliling.

"Oke," tangan Dimas menggenggam pena menulis pesanan untuk mereka.

"Dari tadi kita bicara panjang lebar tapi belum sempat kenalan ya? Namaku Dimas," ucap dimas sambil mengulurkan tangan.

Uluran tangan Dimas disambut saat itu juga,"Nama saya Dewi."

"Mulai sekarang panggil nama aja ya? Biar makin akrab," Dimas tersenyum ramah kepada perempuan yang beberapa detik lalu diajaknya berkenalan.

"Iya Mas, em, maksud saya Dimas." Dewi menjawab sembari melengkungkan bibir mungilnya. "Kok mulai sekarang? Apa mungkin kedepanya kita akan bertemu lagi?" perempuan itu menaikan kedua alisnya.

"Mungkin di lain waktu kita akan bertemu kembali, Wi. Aku boleh kan jadi teman kamu?", pinta Dimas dengan tatapan mata berbinar.

"Boleh Dim, tapi apa kamu nggak malu berteman dengan perempuan kotor seperti aku?", Dewi menunduk seolah merasa malu atas ucapanya sendiri.

"Tolong, Wi, jangan berkata seperti itu saat kita bertemu. Aku nggak suka." jawab Dimas dengan wajah kecewa.

"Iya, Dim. Maaf, aku nggak akan mengulanginya lagi."

Berselang 20 menit seorang waiters datang, seorang remaja laki-laki dengan kisaran umur 17-18 tahun, menyajikan makanan yang sudah mereka pesan.

" Beruntung ya, Om, punya istri cantik banget, hehe!", tak segan remaja laki-laki itu memuji kecantikan Dewi yang menurut Dimas sendiri memang Dewi adalah sosok yang sangat cantik.

"Uhuk!", seketika Dimas terbatuk saat menyesap minuman karena kaget dengan ucapan remaja itu.

"Iya deh, Om. Saya pergi kalo Om nya grogi," ucap remaja waiters sembari tersenyum lebar. Kedua tanganya memeluk baki, tampak gigi-gigi yang berjajar rapih dari senyum lebarnya.

"Kamu nggak apa-apa, Dim?", tanya Dewi dengan wajah khawatir akan kondisi kesehatan pria itu.

"Nggak kok, nggak apa. Ayo dimakan, keburu dingin," Dimas menjawab sambil mengangguk, mempersilahkan Dewi untuk menyantap makanan di depanya.

Dewi hanya tersenyum. Sesekali Dimas memperhatikan Dewi saat makan. Yang dengan anggun menyuapkan sepotong demi sepotong steak ke bibir mungilnya.

"Dimas, untuk kali ini, biar aku yang traktir ya? Anggap aja sebagai ungkapan terimakasih, karena kamu udah nolongin aku tadi," ucap Dewi yang kini mulai berbicara santai.

"Enggak, Dew. Dimana-mana yang harus bayarin ya laki-laki dong!"

"Dimas, kamu udah nolongin aku, aku jadi ngrepotin dong kalo kamu masih bayarin makananku?" tegas Dewi dengan wajah kesal.

"Sama sekali nggak ngrepotin, udah habiskan makananmu!", jawab Dimas tanpa menoleh ke arah Dewi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status