Share

2. Mengamati Kupu-kupu cantik dari kejauhan

Suasana tempat kerja yang sibuk cukup membuat Dimas suntuk menjalani pekerjaannya sehari-hari. Semuanya terasa monoton. Dimas bekerja sebagai direktur di perusahaan milik keluarganya yang bergerak di bidang pangan. Perusahaan yang cukup besar hasil kerja keras yang dirintis oleh almarhum kakeknya.

Sesekali ia memasuki singgasana miliknya yang dipersiapkan secara khusus demi mengusir penat, sebuah ruangan khusus dengan meja bertuliskan 'DIREKTUR'.

Jarum jam menunjuk pada angka 12, bel tanda istirahat karyawan berbunyi diikuti riuhnya suara karyawan yang berlarian keluar menuju loker masing-masing. Didalam ruang pribadinya, Dimas tengah menikmati secangkir cokelat panas yang sudah menjadi favoritnya selama 3 bulan belakangan ini. Cokelat panas yang dipesan dari cafe milik pamannya, yang terletak di seberang perusahaan tempatnya bekerja. Sebenarnya berulang kali paman Dimas, Roy, menolak pembayaran atas cokelat panas yang dipesan Dimas setiap hari melalui cleaning service kantor, tetapi Dimas mengancam, tidak akan menerima cokelat panas dari cafe itu jika pamannya menolak uang pembayaran darinya.

"Tok tok tok!", terdengar suara ketukan pintu dari luar.

"Masuk!", sahut Dimas sembari kembali menyesap cokelat panas yang ada dalam pelukan jari-jarinya.

Seorang perempuan cantik berambut ikal-pirang masuk dengan berlenggak-lenggok sambil tersenyum genit. Dia Ramona, pacar Dimas yang sama-sama bekerja di instansi itu.

"Sayang ...", ucapnya sembari melayangkan kedua tangan memeluk Dimas dari belakang kursi. "Aku lapar, ayo ajak aku makan diluar?!", ucap Ramona dengan nada manja.

"Sayang, aku lagi bete, kamu makan sendiri ya?"

"Kok gitu, aku marah nih!", Ancam Ramona yang kini mulai mengerutkan bibirnya.

"Iya deh, iya." jawab Dimas sembari berdiri terpaksa.

Ramona tersenyum puas. Tangannya bergelayut menggait tangan kekar pria yang tampan yang menjadi kebanggaanya selama ini.

Hubungan mereka sudah berlangsung selama 5 tahun, keduanya dijodohkan karena ibu mereka bersahabat sejak remaja, dan berjanji akan menikahkan anak mereka agar hubungan persahabatan mereka tetap langgeng.

***

"Sayang... hari ini aku sebel deh, ada anak baru di devisiku, setiap aku arahin dia ngga mudeng-mudeng, terus ada kerjaan kayanya dia juga asal-asalan ngerjainya, bla bla bla bla ..." curhat Ramona panjang lebar.

"Menurut kamu, aku harus gimana, sayang?" mata Ramona masih berfokus pada hidangan yang ada di depanya.

Merasa cukup lama dia menunggu jawaban Dimas, matanya mulai menatap tajam ke arah laki-laki itu.

Tak terdengar sedikit pun tanggapan dari Dimas, mata besarnya menatap kesal ke arah Dimas yang melamun sambil menyangga dagu.

"Brak!!", tangan Ramona menggebrak meja makan mengungkapkan kekesalan dirinya, hal itu sontak membuyarkan lamunan Dimas.

"Kamu dengar nggak sih, dari tadi aku ngomong!", bentak Ramona yang wajahnya mulai memerah. Tersirat kekesalan dari wajah kecil itu.

"Ah, i-iya sayang? Kamu bicara apa tadi?" Dimas kelabakan menanggapi Ramona yang tersulut emosi.

"Kamu mikirin apa, sih! Perasaan dari tadi kamu bengong terus, aku ngomong juga kamu ngga merhatiin!"

"Maaf, sayang. Ahir-ahir ini aku sibuk banget, sampe ngga fokus ngapa-ngapain!"

"Tau, ah! Males!", caci Ramona sembari mengambil tas, bergegas pergi meninggalkan meja tempat mereka makan.

"Sayang! Kamu mau kemana?!"

Ramona terus berjalan tanpa memperdulikan Dimas yang terus berjalan mengikutinya. Langkah kakinya terhenti, melambaikan tangan menghentikan taxi yang saat itu melintas.

"Mona!!", seru Dimas sembari mengetuk pintu jendela taxi.

"Jalan, Pak!"

Tampak supir taxi menganggukan kepala tanpa mengucap sepatah kata, memberi isyarat mengiyakan perintah Ramona.

Dimas menghela nafas panjang sembari berlutut menatap taxi yang ditumpangi kekasihnya itu semakin menjauh, dan hilang. Ini bukan kali pertama Ramona bersikap demikian, dia tipe perempuan manja, yang menurut Dimas selalu haus akan perhatian.

***

Siang telah berganti dengan gelapnya malam, sengaja kali ini Dimas membiarkan Ramona pulang sendiri. Berpikir, mungkin saat ini Ramona butuh waktu untuk sendiri, dan memilih untuk menemuinya ketika kondisi hati kekasihnya sudah membaik.

"Klotak klotak klotak", terdengar suara high heels melintas di koridor tempat Dimas saat ini tengah berdiri. Dari suara langkahnya, Dimas merasa sangat familiar. Itu suara langkah kaki Ramona. Mengangkat kepala dan melempar senyum berwibawa kepada perempuan yang melintas didepanya, tetapi perempuan itu sama sekali tidak memperdulikan. Dia memilih untuk membuang muka.

***

Setibanya diluar kantor, Ramona menggerutu meluapkan kekesalanya kepada Dimas.

"Tak tak tak!", dihentakkan kakinya dengan mata terpejam. Membanting tas miliknya, dan duduk tersungkur memegang kepalanya yang sama sekali tidak sakit.

"Aaaakkkhhhh!!", teriaknya memekikkan telinga orang yang ada disekitarnya.

Sekalipun banyak orang berlalu-lalang, namun tidak ada satupun yang berusaha mendekatinya, walau hanya sekedar bertanya, 'kenapa'?. Mengapa bisa begitu? Apakah Ramona gadis yang menyebalkan? Ya! Karena semua orang disana tau, Ramona adalah gadis yang cukup menyebalkan dengan kepribadian yang cukup buruk. Setiap orang yang bekerja di perusahaan itu selalu menyayangkan, mengapa Dimas mau berpacaran dengan perempuan seperti Ramona? Yang tidak ada hal menarik ditonjolkan olehnya selain kecantikan paras yang dia miliki.

"Kenapa lihat-lihat!", hardiknya dengan mata melotot kepada orang yang melintas didepanya.

Mereka yang ada disana hanya bergeming, bersikap seolah tidak tau apa-apa.

............

Dimas terduduk di dalam mobil. Menarik nafas dalam dan menghelanya dengan mata terpejam. Kejadian hari ini cukup membuatnya muak. Saat matanya terpejam, bukan bayangan Ramona yang terlintas dalam benaknya, melainkan perempuan cantik yang ditemuinya secara tidak sengaja di sekitaran area lokalisasi di malam itu. Seketika Dimas tersenyum, hatinya tergerak untuk menemui kembali perempuan itu. Menyalakan mesin mobil dan melaju ke tempat dimana dia dan Dewi bertemu pertama kali.

...............

Saat tiba di tempat perempuan itu mengais nafkah, Dimas memutuskan untuk tidak turun dari mobilnya. Memandangi tempat hiburan malam itu dari balik kaca mobilnya, dengan harap bisa menemukan sosok yang dia cari.

Terlihat banyak orang berlalu-lalang disana, diantaranya laki-laki dan perempuan yang saling merangkul, dari situ Dimas bisa menebak bahwa mereka bukanlah pasangan suami istri. Tiba-tiba pandanganya tertuju pada seorang perempuan cantik yang baru saja keluar dari salah satu pintu. Tidak salah lagi, perempuan itu yang Dimas cari.

Dimas melihat Dewi sedang bersama seorang pria yang merangkulnya dengan tangan kanan, sedang tangan kiri pria itu menggenggam sebotol minuman beralkohol. Pemandangan yang wajar, mengingat memang itulah profesi Dewi sebagai perempuan penghibur. Tapi jauh dari lubuk hati yang terdalam, Dimas merasa sakit dengan pemandangan yang saat ini nampak oleh netranya. Tak bisa berbuat banyak, Dimas hanya memandangi Dewi dari kejauhan.

.........

Masih teringat jelas bayang-bayang Dewi saat bersama laki-laki lain. Berpenampilan cantik dan menyuguhkan senyum manis kepada tamu laki-laki yang memintanya untuk menemani. Sepanjang perjalanan pulang benaknya hanya menampilkan pemandangan itu secara berulang.

"Dewi ... Dewi. Mengapa harus menjadi perempuan penghibur sih, Dew!", gerutu Dimas sambil menggelengkan kepalanya. Jemari besarnya mencengkram erat kemudi mobil yang dikendarainya untuk menyalurkan perasaan kesal yang menyelimuti hatinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status