Home / Romansa / Rembulan Untuk Mantan Pramuria / 3. Aku datang sebagai tamu

Share

3. Aku datang sebagai tamu

Author: Yeny Yuliana
last update Last Updated: 2022-09-05 19:59:58

Udara malam ini cukup dingin, angin berhembus kencang membelai wajah tampan lelaki berusia 32 tahun yang sedari sore duduk di balkon kamarnya sembari menikmati secangkir kopi yang mulai mendingin. Hanya duduk bersantai sambil memainkan ponselnya. Lengan kekarnya mulai terasa dingin, dia memutuskan masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar sambil berpikir, apa yang sebaiknya dia lakukan untuk mengisi ahir pekan?

Jenuh jika hanya rebahan dan bermalas-malasan di kamarnya. Biasanya ada Ramona yang mengajaknya pergi setiap ahir pekan, walau hanya menemani kekasihnya berbelanja, namun rasanya cukup menghibur, dibanding hanya berdiam diri dirumah tanpa melalukan apapun. Namun, bukan bayang-bayang keseruan bersama kekasihnya yang terlintas di benak pria itu, melainkan gadis penghibur yang beberapa waktu lalu ia tolong saat ada razia satpol PP.

Dalam sekejap bayang wajah ayu itu terlintas dalam benak Dimas, hati kecilnya merayu tubuhnya, agar segera bangkit dan menemui perempuan penghibur itu.

Tak berselang lama dia bangkit dan berjalan ke kamar mandi, berdiri di depan cerimin kamar mandi, dan mengambil alat pencukur. Dimas mencukur bulu kumis yang mulai lebat, dan menyisakan sedikit hingga tampak kumis tipis di atas bibir ranumnya. Bagian berewok sengaja dibiarkan. Setelah di rasa sudah cukup, dia membasuh wajah. Berjalan ke arah almari pakaian dan mengeluarkan kemeja, serta celana jeans panjang untuk dia kenakan. Dia terlihat keren dalam balutan busana yang ia kenakan.

............

Dimas memacu mobilnya ke arah toko pakaian wanita yang cukup terkenal di kota itu. Memarkirkan mobilnya, dan berjalan masuk ke toko pakaian itu dengan langkah panjang dan pandangan diangkat lurus ke depan. Dia terlihat sangat menawan malam ini. Membuat mereka yang menatapnya merasa terpana dengan kharisma yang dimiliki pria itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?", tawar seorang pelayan perempuan dengan sopan.

"Saya sedang mencari blouse lengan panjang dan celana jeans panjang untuk wanita. Bisa tolong carikan model paling bagus?", ucap Dimas sembari memilah-milah pakaian yang ada di depanya.

"Tentu saja, Tuan! Mari ikut saya ke lantai atas!", jawab sang pelayan sembari melayangkan telapak tanganya mempersilahkan Dimas naik ke lantai 2.

"Disini Tuan", jawab sang pelayan sembari mengambil blouse lengan panjang bermotif floral.

Dimas meraih blouse itu, memperhatikan setiap jahitan yang melekat, dan mengamati warnanya.

"Akan kah cocok bila Dewi mengenakan blouse ini?", gumamnya dalam hati.

"Blouse ini akan saya berikan kepada perempuan berkulit putih langsat, apakah ini cocok?"

"Tentu saja cocok, Tuan. Warna peach ini adalah pilihan yang tepat untuk pemilik kulit putih langsat!" jawab sang pelayan dengan sekali anggukan kepala.

"Tapi untuk harganya, memang lebih mahal, Tuan. Ini edisi khusus, dan motifnya pun tidak pasaran!", sambung sang pelayan seraya meyakinkan.

"Saya ngga memperdulikan harga, saya ambil yang ini", jawab Dimas yang masih melihat dan membolak-balikan blouse yang dipilihnya. Dia harus memastikan kalau blouse itu benar-benar cocok untuk membalut tubuh gemulai yang diam-diam begitu dikaguminya.

"Saya juga mencari celana jeans panjang untuk perempuan. Bisa minta tolong carikan?", pinta Dimas terdengar sopan. Dimas adalah tipe orang yang lemah lembut. Dia menghormati siapa pun yang berbicara denganya, sekali pun itu adalah orang yang lebih muda darinya.

"Baik, Tuan! Kira-kira untuk lingkar pinggang berapa senti?"

Dimas sama sekali tidak tahu berapa ukuran lingkar pinggang Dewi. Kebetulan dia melihat seorang perempuan yang, kira-kira memiliki pinggang seukuran pinggang Dewi.

"Kamu lihat perempuan berbaju kuning disana?", tanya Dimas kepada sang pelayang sambil menunjuk seseorang yang dia maksud.

"Iya, Tuan, saya melihatnya," pelayan itu mengangguk.

"Kurang lebihnya seukuran itu!"

"Baik, Tuan. Tunggu sebentar ya? Saya akan segera kembali!"

Dimas memang berniat membelikan baju untuk Dewi. Karena menurutnya, baju-baju yang Dewi kenakan terlalu vulgar. Dimas tidak rela jika mata laki-laki lain tertuju pada tubuh indah milik perempuan yang hendak dia kencani itu. Selang 15 menit, sang pelayan datang membawa sebuah celana jeans panjang sebagai mana yang diminta Dimas. Celana jeans berwarna biru yang menurutnya akan sangat cocok jika dipadukan dengan blouse pilihanya.

"Tolong dibungkuskan sekarang ya!", pinta Dimas sembari tersenyum.

"Baik, Tuan! Bisa langsung ke kasir ya sekalian bayar!", jawab sang pelayan sembari melayangkan telapak tangan ke arah meja kasir.

.................

Kali ini Dimas memberanikan diri memasuki tempat yang sering mendapat julukan 'surga dunia' itu. Kedatangan Dimas disambut seorang perempuan tua yang berpakaian minim dengan riasan wajah menor.

"Selamat datang, Tuan tampan, mau saya pilih kan atau Tuan pilih sendiri?", ucap Mami Dori mulai menawarkan barang dagangan miliknya.

"Mari Tuan!", Mami Dori berjalan di ikuti Dimas.

"Yang ini namanya Ningsih, cantik, tapi masih baru, Tuan. Belum terlalu pintar!", tawar Mami Dori sembari merangkul seorang gadis cantik.

Gadis itu tersenyum kepada Dimas. Dimas membalas senyuman gadis lugu itu, dalam hati dia merasa miris, "Apakah gadis ini dipaksa untuk melakukan profesi ini?", Dimas bertanya dalam hati.

Dari kejauhan Dewi melihat sosok laki-laki yang menurutnya tidak asing lagi baginya. Hatinya begitu senang, laki-laki itu Dimas! Dewi bergegas mendekati pria tampan yang menolongnya 3 hari lalu.

"Dimas!", sapa Dewi sambil melambaikan telapak tangan.

"Kok kamu disini?", Mami Dori menatap dengan tatapan heran.

"Loh, ini teman kamu, Dewi?", tanya Mami Dori mengernyitkan dahi.

"Saya pilih yang ini, Mam!", sanggah Dimas sebelum Dewi menjawab pertanyaan sang mucikari.

"Oh, silahkan Tuan. Dewi ini primadona kami," sang mucikari melempar senyum bisnis ke arah Dimas.

"Saya pinjam dulu ya, Mam!", Pamit Dimas seraya menggandeng tangan Dewi. Sengaja Dimas bertingkah layaknya laki-laki nakal. Dewi menatap keheranan. Ini bukan seperti Dimas yang dia temui beberapa waktu lalu.

"Apakah Dimas juga akan memperlakukan aku sebagaimana profesi yang aku jalani?", tanyanya dalam hati. "Aku pikir dia menganggapku sebagai teman!", Dewi menghela nafas panjang.

"Selamat bersenang-senang!", seru mami Dori dengan suara lantang.

Dimas berjalan merangkul Dewi tanpa menoleh ke arah sumber suara.

..........

"Dimas, kita mau kemana?"

"Kita makan ke kedai yang waktu itu ya, Dew?"

"Oh, cuma makan ya, Dim. Aku pikir kamu mau ... ", Dewi malu untuk melanjutkan ucapanya.

"Aku mau ajak kamu makan, Dew. Kamu pikir aku mau ngapain?", tanya Dimas menahan tawa.

"Jangan buat aku malu, Dimas!"

"Iya, maaf. Kamu ganti pake baju ini ya?", pinta Dimas sembari menyerahkan bingkisan baju yang dia beli sore ini.

Dewi mengernyit, penasaran untuk segera membuka bingkisan itu dan melihat apa isi di dalamnya. Mata lentiknya membulat, kaget seolah tak percaya.

"Loh, Dim? Kenapa kamu belikan aku pakaian? Bukankah merek ini terlalu mahal?"

"Udah, kamu pakai aja!"

"Kenapa? Kamu ngga suka dengan penampilanku ya, Dim? Terlalu norak?"

"Bukan begitu, hanya saja bajumu terlalu terbuka. Aku nggak mau laki-laki lain memperhatikan tubuh kamu, Dew."

Wajah Dewi memerah, dia tersipu mendengar kalimat itu keluar dari bibir renum milik pria tampan di sebelahnya.

"Kamu ganti di belakang ya? Aku nggak akan ngintip!" Dimas menunduk dan memeluk kemudi mobil.

"Iya, Dim." Dewi tersenyum. Merasa lucu melihat kelakuan Dimas.

Dewi mengganti baju ketat yang dia gunakan dengan baju mahal pemberian Dimas di belakang kursi kemudi. Dia masih tidak percaya, betapa pria ini menghargai dirinya yang menyandang gelar 'perempuan hina'.

"Udah, Dim!"

Dimas tersenyum puas. Dewi terlihat begitu sempurna dalam balutan busana yang dia beri. Bendana yang dikenakan Dewi menambah kesan manis.

"Kamu suka?"

"Iya, Dim. Aku suka! Terimakasih!" Dewi tersenyum riang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   49. Aditya Putra Adimas

    Dimas menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan gelisah. Denga langkah seribu pria itu berjalan ke ruangan bersalin. Satu per satu kamar dia periksa demi mendapati sang istri, nyaris putus asa karena Dewi tak juga ditemukan. Kini langkahnya tiba di ruangan paling ujung. Pria itu menekuk lutut dengan kedua mata terpejam. Jantungnya memompa darah begitu cepat, bayangan dari rasa bersalah telah membiarkan istrinya yang saat ini sedang membutuhkannya terus berkelibat di kepala. Dewi tidak memiliki keluarga lain selain Dimas di kota itu. Suara rintihan dari seorang perempuan yang sangat familiar masuk ke dalam telinganya. Seketika kedua mata pria itu terbuka lebar dan menegakkan badan. Bergegas Dimas membuka gorden yang berada di sebelah kiri tubuh. Dilihatnya seorang wanita yang tengah menangis sembari berpegangan pada lengan Rina, salah satu karyawati di perusahaan tempatnya bekerja."Sabar, Bu. Bu Dewi pasti kuat." wajah wanita itu terlihat panik. Dia belum memiliki pengalaman mela

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   48. Diabaikan

    Di ambang pintu berpegangan pada kusen dan satu tangan mengelus perut yang terasa berdesir karena janin di dalam perut melakukan sebuah pergerakan, Dewi menatap nanar pada Dimas yang pergi berlalu melewatinya tanpa sepatah kata. Perasaan nyeri menyerang ulu hati mendapati sang suami beraut dingin, tidak sehangat biasanya. Dewi tidak menyangka jika Dimas akan semarah itu. Biasanya pagi-pagi sekali pria itu sudah mempersiapkan makanan untuk mereka sarapan, namun pagi ini terasa jauh berbeda dari biasanya. Hanya ada roti tawar dan selai kacang di balik tudung saji. Tidak ada lagi baki berisi beragam menu masakan seperti kemarin. Pria itu pergi ke tempat kerja tanpa berpamitan (walau di waktu lalu ucapan pamitnya kerap kali dibalas ketus, bahkan seolah terkesan Dewi abaikan), tetapi Dewi merasa lega. Keberadaannya masih berada dalam jangkauan perhatian pria itu. Tetapi itu kemarin, entitasnya saat ini seperti sebuah mahluk tak kasat mata. "Ini semua salahku. Seharusnya sejak awal aku m

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   47. Wanita Tak Tahu Diuntung

    Pagi itu Dewi bangun dan mendapati sarapan sudah tersedia di atas nakas di samping tempat tidur. Dimas menjadi suami siaga semenjak tahu istrinya hamil. Pria itu selalu menyempatkan diri untuk memasak jika waktu subuh tiba, atau membeli masakan di warteg jika dia tak sempat. Hal itu dilakukan Dimas tanpa pamrih, meski hingga hamil memasukki trimester terakhir pun Dewi masih hemat bicara dengannya. Segala sikap dingin Dewi diakari oleh kesalah pahaman Dewi terhadap Dimas dan Anggita. Pria itu hampir putus asa. Berulang kali Dimas menjelaskan, jika antara dirinya dengan Anggita tak ada hubungan sepesial, namun hanya punggung sang istri yang dia dapat. Perlahan Dewi beringsut mendekati nakas tanpa ada keinginan untuk melepas pantat yang menempel pada benda yang ada di bawah tubuh. Perlahan dia mengambil baki makanan dengan sangat hati-hati, khawatir jika makanan di dalamnya tumpah. Namun alis tebalnya tiba-tiba bertaut, mendapati secarik kertas di sekatan baki logam.'Mas sudah siapka

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   46. Dua Garis Merah

    Akhir-akhir ini Dewi merasa tidak enak badan. Tubuhnya mudah lelah, nafsu makan berkurang, mual disertai sakit kepala, bahkan tak jarang gadis itu muntah. Gejala-gejala tersebut selalu datang mengganggu harinya, dan semakin parah di waktu pagi.Sudah selama satu minggu Dewi tinggal di kosan Eva, Dewi enggan untuk kembali pulang. Rasa kecewanya terhadap Dimas yang membabi buta menjadikan dia lupa atas segala kebaikan sang suami."Wi, apa kau tidak ingin memeriksakan kondisimu ke dokter?" tanya Eva dengan raut wajah menunjukkan kekhawatiran. Gadis itu membaca gejala-gejala kesehatan yang Dewi alami akhir-akhir ini sebagai tanda kehamilan. Namun, melihat kondisi hati sahabatnya yang masih didera kecewa, Eva tidak ingin mengatakannya terlebih dahulu. Biarkan Dewi mengetahui sendiri."Tidak, Va, aku baik-baik saja." jawab Dewi yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah menumpahkan isi perutnya, bubur ayam yang menjadi sarapannya pagi ini.Jelas sekali gadis itu berbohong. Wajahnya yang

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   45. Salah Paham

    Dewi langsung memeluk Eva saat gadis itu muncul dari balik pintu. Membuat gadis itu terkesiap, dengan kehadiran Dewi yang tanpa aba-aba siang itu.Alis Eva bertaut, apa yang sudah membawa sahabatnya ini datang? Melihat gadis itu menangis terisak, Eva tahu betul, Dewi sedang tidak baik-baik saja saat ini. "Kita bicarakan di dalam ya?" bujuk Eva kepada Dewi yang langsung berbalas anggukan. Eva kembali di hadapan Dewi dengan segelas air. Dengan bibir mengulas senyum, Eva menyerahkan gelas berisi air tersebut kepada Dewi. "Kamu minum ya?" kembali Eva membujuk Dewi saat menyerahkan segelas air putih kepada perempuan itu. Dewi mereguk air minum sekali tandas. Menangis sepanjang hari benar-benar membuat tenggorokannya kering. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Eva dengan hati-hati. Pembawaan gadis bertubuh jangkung tersebut terdengar sangat hangat, sehingga Dewi tanpa ragu menceritakan masalah yang dia alami kepada Eva. "Rumah tanggaku ... sedang tidak baik-baik saja saat ini." ucap D

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   44. Anggita

    Tiga hari berlalu setelah bertemu dengan Risman wajah Dewi berangsur-angsur membaik. Bekas lebam sudah semakin memudar, hanya perlu sedikit polesan make up untuk menutupinya. Dewi segera menyusul Dimas di ruang makan seusai ia memantas diri. Seperti yang Dimas katakan tempo hari, Dimas mengijinkan Dewi untuk ikut ke tempat kerja.Aroma wangi yang menguar membuat pria yang sibuk berkutat dengan alat makan mengangkat wajah. Pandangannya menatap wanita yang berjalan mendekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu terlihat bertambah cantik setiap harinya. Lama Dimas memperhatikan Dewi yang diam mematung setelah menyadari pandangan sang suami seolah melekat pada tubuhnya. “Ada yang aneh?” tanya Dewi sembari melempar tatapan ragu. Takut jika karyawan di kantor tempat Dimas bekerja menilai penampilannya norak.“Engga, Sayang. Buruan makan.” Jawab Dimas datar lalu kembali dengan sarapannya.Dewi mendengus pelan. Disaat seperti ini dia membutuhkan saran atau pujian dari Dimas. Tapi pr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status