Share

3. Aku datang sebagai tamu

Udara malam ini cukup dingin, angin berhembus kencang membelai wajah tampan lelaki berusia 32 tahun yang sedari sore duduk di balkon kamarnya sembari menikmati secangkir kopi yang mulai mendingin. Hanya duduk bersantai sambil memainkan ponselnya. Lengan kekarnya mulai terasa dingin, dia memutuskan masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar sambil berpikir, apa yang sebaiknya dia lakukan untuk mengisi ahir pekan?

Jenuh jika hanya rebahan dan bermalas-malasan di kamarnya. Biasanya ada Ramona yang mengajaknya pergi setiap ahir pekan, walau hanya menemani kekasihnya berbelanja, namun rasanya cukup menghibur, dibanding hanya berdiam diri dirumah tanpa melalukan apapun. Namun, bukan bayang-bayang keseruan bersama kekasihnya yang terlintas di benak pria itu, melainkan gadis penghibur yang beberapa waktu lalu ia tolong saat ada razia satpol PP.

Dalam sekejap bayang wajah ayu itu terlintas dalam benak Dimas, hati kecilnya merayu tubuhnya, agar segera bangkit dan menemui perempuan penghibur itu.

Tak berselang lama dia bangkit dan berjalan ke kamar mandi, berdiri di depan cerimin kamar mandi, dan mengambil alat pencukur. Dimas mencukur bulu kumis yang mulai lebat, dan menyisakan sedikit hingga tampak kumis tipis di atas bibir ranumnya. Bagian berewok sengaja dibiarkan. Setelah di rasa sudah cukup, dia membasuh wajah. Berjalan ke arah almari pakaian dan mengeluarkan kemeja, serta celana jeans panjang untuk dia kenakan. Dia terlihat keren dalam balutan busana yang ia kenakan.

............

Dimas memacu mobilnya ke arah toko pakaian wanita yang cukup terkenal di kota itu. Memarkirkan mobilnya, dan berjalan masuk ke toko pakaian itu dengan langkah panjang dan pandangan diangkat lurus ke depan. Dia terlihat sangat menawan malam ini. Membuat mereka yang menatapnya merasa terpana dengan kharisma yang dimiliki pria itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?", tawar seorang pelayan perempuan dengan sopan.

"Saya sedang mencari blouse lengan panjang dan celana jeans panjang untuk wanita. Bisa tolong carikan model paling bagus?", ucap Dimas sembari memilah-milah pakaian yang ada di depanya.

"Tentu saja, Tuan! Mari ikut saya ke lantai atas!", jawab sang pelayan sembari melayangkan telapak tanganya mempersilahkan Dimas naik ke lantai 2.

"Disini Tuan", jawab sang pelayan sembari mengambil blouse lengan panjang bermotif floral.

Dimas meraih blouse itu, memperhatikan setiap jahitan yang melekat, dan mengamati warnanya.

"Akan kah cocok bila Dewi mengenakan blouse ini?", gumamnya dalam hati.

"Blouse ini akan saya berikan kepada perempuan berkulit putih langsat, apakah ini cocok?"

"Tentu saja cocok, Tuan. Warna peach ini adalah pilihan yang tepat untuk pemilik kulit putih langsat!" jawab sang pelayan dengan sekali anggukan kepala.

"Tapi untuk harganya, memang lebih mahal, Tuan. Ini edisi khusus, dan motifnya pun tidak pasaran!", sambung sang pelayan seraya meyakinkan.

"Saya ngga memperdulikan harga, saya ambil yang ini", jawab Dimas yang masih melihat dan membolak-balikan blouse yang dipilihnya. Dia harus memastikan kalau blouse itu benar-benar cocok untuk membalut tubuh gemulai yang diam-diam begitu dikaguminya.

"Saya juga mencari celana jeans panjang untuk perempuan. Bisa minta tolong carikan?", pinta Dimas terdengar sopan. Dimas adalah tipe orang yang lemah lembut. Dia menghormati siapa pun yang berbicara denganya, sekali pun itu adalah orang yang lebih muda darinya.

"Baik, Tuan! Kira-kira untuk lingkar pinggang berapa senti?"

Dimas sama sekali tidak tahu berapa ukuran lingkar pinggang Dewi. Kebetulan dia melihat seorang perempuan yang, kira-kira memiliki pinggang seukuran pinggang Dewi.

"Kamu lihat perempuan berbaju kuning disana?", tanya Dimas kepada sang pelayang sambil menunjuk seseorang yang dia maksud.

"Iya, Tuan, saya melihatnya," pelayan itu mengangguk.

"Kurang lebihnya seukuran itu!"

"Baik, Tuan. Tunggu sebentar ya? Saya akan segera kembali!"

Dimas memang berniat membelikan baju untuk Dewi. Karena menurutnya, baju-baju yang Dewi kenakan terlalu vulgar. Dimas tidak rela jika mata laki-laki lain tertuju pada tubuh indah milik perempuan yang hendak dia kencani itu. Selang 15 menit, sang pelayan datang membawa sebuah celana jeans panjang sebagai mana yang diminta Dimas. Celana jeans berwarna biru yang menurutnya akan sangat cocok jika dipadukan dengan blouse pilihanya.

"Tolong dibungkuskan sekarang ya!", pinta Dimas sembari tersenyum.

"Baik, Tuan! Bisa langsung ke kasir ya sekalian bayar!", jawab sang pelayan sembari melayangkan telapak tangan ke arah meja kasir.

.................

Kali ini Dimas memberanikan diri memasuki tempat yang sering mendapat julukan 'surga dunia' itu. Kedatangan Dimas disambut seorang perempuan tua yang berpakaian minim dengan riasan wajah menor.

"Selamat datang, Tuan tampan, mau saya pilih kan atau Tuan pilih sendiri?", ucap Mami Dori mulai menawarkan barang dagangan miliknya.

"Mari Tuan!", Mami Dori berjalan di ikuti Dimas.

"Yang ini namanya Ningsih, cantik, tapi masih baru, Tuan. Belum terlalu pintar!", tawar Mami Dori sembari merangkul seorang gadis cantik.

Gadis itu tersenyum kepada Dimas. Dimas membalas senyuman gadis lugu itu, dalam hati dia merasa miris, "Apakah gadis ini dipaksa untuk melakukan profesi ini?", Dimas bertanya dalam hati.

Dari kejauhan Dewi melihat sosok laki-laki yang menurutnya tidak asing lagi baginya. Hatinya begitu senang, laki-laki itu Dimas! Dewi bergegas mendekati pria tampan yang menolongnya 3 hari lalu.

"Dimas!", sapa Dewi sambil melambaikan telapak tangan.

"Kok kamu disini?", Mami Dori menatap dengan tatapan heran.

"Loh, ini teman kamu, Dewi?", tanya Mami Dori mengernyitkan dahi.

"Saya pilih yang ini, Mam!", sanggah Dimas sebelum Dewi menjawab pertanyaan sang mucikari.

"Oh, silahkan Tuan. Dewi ini primadona kami," sang mucikari melempar senyum bisnis ke arah Dimas.

"Saya pinjam dulu ya, Mam!", Pamit Dimas seraya menggandeng tangan Dewi. Sengaja Dimas bertingkah layaknya laki-laki nakal. Dewi menatap keheranan. Ini bukan seperti Dimas yang dia temui beberapa waktu lalu.

"Apakah Dimas juga akan memperlakukan aku sebagaimana profesi yang aku jalani?", tanyanya dalam hati. "Aku pikir dia menganggapku sebagai teman!", Dewi menghela nafas panjang.

"Selamat bersenang-senang!", seru mami Dori dengan suara lantang.

Dimas berjalan merangkul Dewi tanpa menoleh ke arah sumber suara.

..........

"Dimas, kita mau kemana?"

"Kita makan ke kedai yang waktu itu ya, Dew?"

"Oh, cuma makan ya, Dim. Aku pikir kamu mau ... ", Dewi malu untuk melanjutkan ucapanya.

"Aku mau ajak kamu makan, Dew. Kamu pikir aku mau ngapain?", tanya Dimas menahan tawa.

"Jangan buat aku malu, Dimas!"

"Iya, maaf. Kamu ganti pake baju ini ya?", pinta Dimas sembari menyerahkan bingkisan baju yang dia beli sore ini.

Dewi mengernyit, penasaran untuk segera membuka bingkisan itu dan melihat apa isi di dalamnya. Mata lentiknya membulat, kaget seolah tak percaya.

"Loh, Dim? Kenapa kamu belikan aku pakaian? Bukankah merek ini terlalu mahal?"

"Udah, kamu pakai aja!"

"Kenapa? Kamu ngga suka dengan penampilanku ya, Dim? Terlalu norak?"

"Bukan begitu, hanya saja bajumu terlalu terbuka. Aku nggak mau laki-laki lain memperhatikan tubuh kamu, Dew."

Wajah Dewi memerah, dia tersipu mendengar kalimat itu keluar dari bibir renum milik pria tampan di sebelahnya.

"Kamu ganti di belakang ya? Aku nggak akan ngintip!" Dimas menunduk dan memeluk kemudi mobil.

"Iya, Dim." Dewi tersenyum. Merasa lucu melihat kelakuan Dimas.

Dewi mengganti baju ketat yang dia gunakan dengan baju mahal pemberian Dimas di belakang kursi kemudi. Dia masih tidak percaya, betapa pria ini menghargai dirinya yang menyandang gelar 'perempuan hina'.

"Udah, Dim!"

Dimas tersenyum puas. Dewi terlihat begitu sempurna dalam balutan busana yang dia beri. Bendana yang dikenakan Dewi menambah kesan manis.

"Kamu suka?"

"Iya, Dim. Aku suka! Terimakasih!" Dewi tersenyum riang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status