Share

4. Kekejaman sang mucikari

Dimas memacu kendaraanya menuju kedai tempat mereka makan malam 3 hari yang lalu. Sepanjang perjalanan suasananya cukup hening, meskipun mereka berdua sama-sama ingin berbicara banyak atas gejolak hati yang bersembunyi di dalam dada mereka, namun mereka tertahan oleh rasa canggung. Kalau boleh jujur, sebenarnya Dimas menyukai Dewi sejak pertemuan malam itu, hanya saja dia memiliki kekasih, yang tentu saja tidak akan terima jika dirinya mendua.

Dimas memperhatikan betul gerak-gerik Dewi yang mahir memainkan sendok dan garpu di tanganya, menyantap dengan lahap hidangan yang tersaji di meja mereka. Dimas amat manyukai pemandangan ini. Perempuan berusia 25 tahun itu terlihat sangat menarik.

Merasa ada sepasang mata yang mengamati, Dewi pun menatap ke arah pemilik manik yang sedari tadi memperhatikannya. Seketika dia merasa malu, dan tersenyum ke arah laki-laki di depanya.

"Lapar banget ya, Dew?", tanya Dimas sembari melempar senyum hangat. Dia sangat menyukai perempuan yang saat ini ada dihadapanya.

"Hehehe, iya Dim. Terganggu ya dengan cara makanku?"

"Nggak kok! Aku suka!", jawab pria itu santai.

"Dimas, sebenarnya ada perlu apa kamu menemuiku?", tanya Dewi sembari menyudahi makannya. Dia terdengar serius untuk pertanyaan ini.

"Pengen ketemu aja, Dew. Aku kangen mendengar suaramu."

"Maksud kamu? Tapi kamu datang ngajak aku makan, memang cuma itu atau ada maksud lain, Dim?" Dewi hanya ingin memastikan, apakah Dimas memang menganggapnya sebagai teman atau seperti pria hidung belang pada umumnya. Dewi mulai menaruh hati pada pria itu.

"Baik, aku akan mengajak kamu pergi ke suatu tempat."

Jawaban Dimas cukup membuat Dewi kecewa. "Ternyata sama seperti yang lain ya.", Dewi bergumam dalam hati.

"Ayo kita pergi sekarang!"

"Iya." jawab Dewi singkat. Dalam hati kecewa, tapi berusaha sebisa mungkin agar semua terlihat baik-baik saja. Karena mau bagai mana pun, Dimas juga berhak dilayani seperti tamu laki-laki lainya.

............

Mobil yang mereka kendarai tiba di suatu hotel mewah. Dimas mengurus check-in hotel didampingi Dewi yang sedari tadi hanya diam dan mengikutinya, seperti anak kucing yang mengekori induknya.

" Aku harus terima jika memang Dimas mengajakku berkencan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya sebagai pria dewasa, toh memang ini profesiku. Sebaiknya aku tidak berharap lebih.", pungkas Dewi dalam hati.

Mereka berjalan beriringan tanpa bicara sepatah kata pun. Langkah kaki mereka terhenti di depan pintu kamar ber nomor 302. Dimas membuka pintu dan melayangkan telapak tangan, mempersilahkan Dewi untuk masuk.

"Silahkan!"

Dewi melangkah masuk tanpa menjawab. Jika biasanya dia bersikap ramah dan menyuguhi para tamu laki-laki dengan senyuman, tapi kali ini berbeda. Ekspresi wajah muram sangat terlihat sekali pun dia berusaha tersenyum. Dimas dapat membaca mimik wajah itu dengan jelas.

"Kenapa wajahmu muram?"

"Oh, maaf, Tuan. Terlihat seperti itu ya?", jawabnya dengan senyum terpaksa. Kali ini dia memanggil Dimas dengan sebutan tuan, sebagaimana dia memanggil tamu-tamu pria lain.

"Duduk lah. Kenapa hanya berdiri di situ?"

"Baik, Tuan." jawab Dewi sembari melangkahkan kaki mendekati Dimas.

Dimas, meminta Dewi untuk duduk disebelahnya dengan isyarat menolehkan kepala ke arah ranjang tempatnya duduk saat ini.

"Berbaring lah!"

Dewi pun membaringkan tubuhnya di ranjang, Dimas melepaskan sepatu yang dikenakan oleh Dewi.

Jantung Dewi berdegup kencang, saat Dimas membaringkan tubuh kekar itu disebelahnya. Baru kali ini dia merasa berdebar saat melayani tamu. "Kok rasanya aneh ya. Nggak biasanya aku deg-degan seperti ini. Apa aku jatuh cinta dengan pria ini?", hatinya terus bertanya-tanya.

"Kita rebahan dulu ya, Dew. Aku jenuh dirumah nggak ada temen ngobrol."

Dewi mengernyitkan dahi, terheran dengan sikap Dimas. "Dia tidak menyentuhku, dan mengajakku ke hotel berbintang hanya untuk menemaninya rebahan?", Dewi terus bertanya dalam hati. Dewi berpikir Dimas akan langsung melampiaskan nafsu saat menyuruh dirinya berbaring di atas ranjang, ternyata firasatnya salah.

"Kok diem sih, Dew?", tanya Dimas membuyarkan lamunan.

"E-eh, iya, Tuan?", jawab Dewi terbata.

"Panggil kayak biasanya aja, Dew. Aneh kesanya."

"Tapi bukan kah kamu juga tamuku yang sudah sepatutnya aku layani sebaik mungkin, Dim?"

"Oh, serius kamu mau ngelayani aku?!", ucap Dimas sembari terperanjat dari posisi berbaringnya. Dia terkekeh mendengar ucapan Dewi.

"Terus, Dim?", tanya Dewi masih tak mengerti.

"Aku datang menemui mu karena memang aku sudah menganggap kamu teman, Dew!", jawab Dimas sembari kembali berbaring di samping Dewi. "Bukankah hal wajar jika aku ingin menemui temanku?"

Dewi menghela nafas panjang, hatinya begitu lega. Ternyata Dimas menganggapnya sebagai teman.

"Aku pikir kamu akan memperlakukan aku sebagaimana tamu laki-laki yang datang kepada ku, Dim."

"Aku sama sekali tidak punya pikiran demikian, aku sangat suka bisa berteman denganmu," jawab Dimas sembari menatap langit-langit ruang kamar itu. "Kalau untuk bayaranmu, kau tenang saja, aku akan tetap membayarmu, Dew. Berapa tarif yang biasa kau pasang?" sambung Dimas sembari menoleh ke arah Dewi.

"Nggak, Dim! Nggak perlu! Bukan hal yang pantas jika seorang teman membayarku hanya karena ingin bertemu, kau tidak perlu membayar aku untuk ini! Makasih ya, Dim sudah mau berteman denganku?", jawab Dewi dengan mata berbinar.

Seketika jantung Dimas berdegup kencang, baru kali ini ada perempuan yang tersenyum tulus padanya. Seringnya Ramona tersenyum kalau ada maunya.

"Aku masih boleh kan datang menemui kamu di hari berikutnya?"

"Tentu saja, Dim! Datang lah kapan pun kau mau."

...........

Waktu menunjukan pukul 1 dini hari, Dimas mengantar Dewi pulang ke tempat lokalisasi itu. Karena ada kewajiban yang harus ditunaikan Dewi setiap selesai kencan. Setor setengah pendapatanya kepada Mami Dori. Sebenarnya Dewi sangat berat hati untuk membagi penghasilanya, tapi itu lah yang menjadi kesepakatan sedari awal Dewi datang ke tempat itu.

"Dew, tolong terima ini," ucap Dimas sembari menyerahkan 10 lembar uang seratus ribuan.

Mata Dewi membulat, karena itu jumlah yang sangat banyak untuk tarif sekali kencan.

"Nggak usah, Dim! Kita kan teman. Dan lagi, aku sama sekali nggak ngelayanin kamu!"

"Tolong diterima ya?", pinta Dimas dengan suara lirih. Tatapan memelas dengan maksud agar Dewi segan menerima uang pemberiannya.

"Ini, Dim. Ini udah cukup buat setor ke Mami!" jawab Dewi sembari mengembalikan 7 lembar uang yang Dimas berikan.

"Terus, buat kamu?"

"Please! Jika kamu menganggapku teman, jangan pernah membayarku setiap kali kita bertemu, Dimas!", pungkas Dewi yang sontak membuat Dimas mengalah.

"Baik, tapi bagaimana kalau aku sering mengajak mu bertemu? Kamu nggak ada pemasukan dong?!"

"Dimas!" Dewi menatap tajam ke arah Dimas.

"Baiklah jika memang mau mu begitu. Makasih ya, Wi? Udah nemenin aku malam ini." ucap Dimas sembari melengkungkan bibir renumnya.

Dewi hanya tersenyum melihat kelakuan Dimas. Hatinya terpikat dengan senyuman bibir Dimas yang renum. Fisik Dimas yang sempurna dan cara Dimas memperlakukan dirinya. Dewi mendambakan sosok laki-laki yang menghargai dan mengasihinya dengan tulus, meski sadar dia bukanlah perempuan baik-baik.

............

Dewi melangkah kan kakinya meninggalkan Dimas yang masih menatapnya dari kejauhan. Berjalan masuk ke ruang dimana biasanya para perempuan penghibur mencari laki-laki yang mau membayar mereka untuk ditemani. Dari kejauhan Dewi melihat perempuan tua yang sering dia panggil dengan sebutan 'Mami' itu sedang duduk di atas meja dengan menyilangkan kaki. Tampak tangan kirinya sedang memegang sebatang rokok yang masih menyala.

"Ini, Mi!", ucap Dewi sembari menyerahkan uang setoran.

"Sepertinya laki-laki itu orang kaya, apa benar dia hanya memberimu segini?", tanya snag mucikari melotot sembari menentengkan uang di depan wajah Dewi.

"Iya, Mi. Hanya segitu," Dewi berusaha terlihat tenang.

Menatap Dewi dari atas-ke bawah. Perempuan itu menyadari kalau baju yang dikenakan Dewi berbeda dengan baju yang dia pakai sebelum pergi dengan pria itu.

"Plakk!", sebuah tamparan mendarat dipipi kanan Dewi. Dewi mengelus pipi kananya yang terasa sakit karena tamparan sang mucikari. Beliau tidak segan menghajar anak buahnya jika ketahuan berbohong.

"Kau pikir aku percaya!? Melihat pakaian yang kau pakai terlihat kalau itu pakaian mahal! Pasti Tuan kaya itu memberimu lebih banyak dari ini!", hardik Mami Dori yang kini berkacak pinggang dengan wajah yang penuh dengan amarah.

"Kau pakai uang bayaranmu untuk membeli pakaian itu sebelum memperlihatkan seutuhnya pendapatanmu kepadaku!? Kurang ajar anak ini!", maki Mami Dori sembari menjambak rambut hitam panjang Dewi.

Mereka yang menyaksikan hanya diam tak bergeming. Mereka takut jika dikira ikut campur urusan perempuan tua menyebalkan itu. Akan bertambah panjang dan berlarut-larut masalahnya. Meski tidak dapat dipungkiri, mereka sangat ingin saling menolong jika salah satu diantara mereka ada yang menerima siksaan keji dari nenek lampir itu.

"Aduh! Ampun, Mi, sakit...", ucap Dewi lirih sembari menutup mata menahan sakit.

"Sakit!? Hanya saja aku belum puas!", tangan keriput itu mencengkram lebih kuat rambut Dewi, tanpa memperdulikan Dewi yang merasa kesakitan.

Seolah belum puas dengan kesakitan yang Dewi alami, kini dia menodongkan rokok yang masih menyala di depan wajah gadis cantik yang ada dalam cengkramanya. Membelai wajah Dewi dengan bara api yang melekat pada sebatang rokok ditangan kirinya. Dewi begitu takut, namun tidak cukup keberanian untuk melawan. Air mata membanjiri wajah cantik itu. Dibiarkanya tangan keriput itu memberikan lepuhan pada pipi kananya dengan sebatang rokok yang dipegang perempuan tua itu.

"Itu akibat jika kamu bermain-main denganku, Nona cantik," ucap perempuan itu sembari tersenyum sengit. Mendorong tubuh Dewi dan pergi meninggalkan gadis malang itu tanpa merasa berdosa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status