"Nggak ada apa-apa di dalam makam Diva, peti matinya kosong." Seandainya mereka tidak sedang berada di rumah sakit, wajah tampan itu pasti sudah babak-belur dihajarnya. Juna mengepalkan kedua tangannya kuat sampai buku-buku jarinya memutih, ia menahan amarah. Begitu mudahnya Arkan mengatakannya, tidak ada tubuh Diva di makamnya, makam itu palsu, dan ia dengan bodohnya percaya jika tubuh tak bernyawa Diva terbaring di sana. Bahkan sempat tidur di makam itu. Ia sangat ingin menyela, tapi juga ditahannya mati-matian. Ia ingin mendengar semuanya lebih dulu, setelah itu baru melancarkan pertanyaan yang menumpuk di dalam kepalanya. "Waktu jantung Diva emang udah nggak berdetak lagi, dia juga kehilangan banyak darah makanya dinyatakan dokter meninggal." Arkan menghela napas, menatap ke dalam ruang ICU, berusaha untuk mencari tahu apa saja yang dilakukan dokter untuk menolong sepupunya. "Pas lu pingsan, mayat Diva juga udah ditutupin nggak tau kenapa perawat yang bertugas melepas semua pera
Juna mendengkus, masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Diva. Namun, ada satu yang membuatnya harus mengenyampingkan perasaan bersalah itu. Masih ada satu pertanyaannya yang belum terjawab. Saat hari pemakaman, sebelumnya dia melihat Diva di dalam peti mati. Ia bahkan menciumnya dan merasakan kulitnya yang dingin. Ia yakin itu memang manyat, 'kan, atau ia salah. Itu bukan mayat Diva, tetapi boneka yang didandani dan diserupakan seperti Diva. Manekin!"Mayat ...." Juna tidak meneruskan kalimatnya. Tidak mungkin ia mengatakan mayat Diva. Hei, wanitanya masih hidup! Diva baik-baik saja, dokter sedang memeriksanya di dalam sana. Sebagai gantinya, ia mengibaskan kedua tangan dengan kacau. Arkan berdeham. Ia sudah menyangka pasti Juna akan menanyakan hal itu. "Kayaknya biar pun nggak gue kasih tau lu tetap bakalan ngehajar gue, 'kan, Jun?" tanyanya terkekeh lagi. "Jadi, mending gue kasih tau lu aja, deh, biar lu puas." Juna memutar bola mata. Arkan benar-benar menguji kesaba
Diva masih di ruang ICU, masih belum dipindahkan. Masih ada beberapa alat rumah sakit yang menancap di tubuhnya, para perawat itu masih belum melepaskannya. Kata mereka, Diva masih memerlukan benda-benda itu. Tubuhnya masih lemah, masih memerlukan bantuan peralatan medis agar tubuhnya cepat pulih seperti sediakala. Sejak dulu Juna tidak pernah menyukai rumah sakit, ia tidak suka pada bau obat yang menyengat. Perutnya terasa mual setiap kali menciumnya, kepalanya juga terasa berdenyut. Oleh sebab itu, setiap kali sakit atau merasakan sesuatu yang tidak enak terhadap tubuhnya, ia lebih suka memanggil dokter keluarga daripada harus ke rumah sakit. Ketidaksukaannya pada rumah sakit diperparah dengan tewasnya Diva di ranjang rumah sakit. Juna tak lagi tidak menyukainya, ia membencinya. Terkadang ia menyalahkan dokter-dokter itu yang dinilainya tidak becus sehingga kekasihnya sampai kehilangan nyawa. Namun, kemudian ia menyadari semua sudah takdir. Menyalahkan orang lain juga percuma, keka
Diva dipindahkan ke kamar VVIP satu jam kemudian. Tiga puluh menit lebih lambat dari waktu yang ditentukan. Masalahnya tak hanya Diva yang tertidur, tetapi juga Juna. Lelah menangis keduanya tertidur sambil berpelukan. Juna berbaring menyamping di sisi Diva, memeluknya posesif. Dokter Maya yang ingin memindahkan Diva ke ruangan yang sudah disiapkan untuknya, mengurungkan niat. Dia membiarkan mereka tidur tanpa berniat membangunkan, dan akan memindahkan Diva bila mereka terbangun. Tak ada yang mengganggu, Arkan dan Kevin menunggu di kamar tidur nap Diva selama itu."Kamu nggak ngasih tau Mama sama Papa, 'kan, Ar?" Diva bertanya setelah Sang Sepupu selesai menghubungi sekretarisnya. Arkan memberitahu wanita itu jika dia akan kembali setelah makan siang yang akan jatuh sebentar lagi. Untuk makan siang, Juna hanya memesan saja, dia tak ingin ke mana-mana. Ingin tetap menemaninya, katanya. "Aku nggak mau mereka khawatir."Arkan menggeleng. "Lu tenang aja, Va, aman, kok. Nggak bakalan gue k
"Iya, Mama, Diva baik-baik aja." Diva tersenyum, menatap Juna yang sibuk dengan laptopnya. Dia duduk di sofa. "Udah makan juga."Juna tidak pulang ke rumahnya. Pria itu bersikeras untuk menemaninya di sini sampai dia diperbolehkan pulang nanti. Juna juga tidak ke kantornya, dia rela mengerjakan semua pekerjaannya di sini. Duduk di sofa itu sudah sejak dua jam lalu. Setelah meminta maaf karena tidak bisa mengajaknya mengobrol, Juna terus saja berkutat dengan laptop dan beberapa tumpuk kertas di meja. "Mama nggak perlu khawatir, ini juga Diva istirahat, kok. Diva udah di tempat tidur, siap-siap mau bobo." Diva meringis tanpa suara, dia telah membohongi Mama. Meskipun bukan untuk yang pertama kali, tetap saja rasa bersalah itu ada. "Sampai nanti, Mama. Diva juga sayang Mama."Terlalu kekanak-kanakan? Iya, Diva menyadarinya, tapi dia tak peduli. Dia hanya ingin menunjukkan rasa sayangnya terhadap Mama. Diva memutuskan sambungan setelah memberikan ciuman jarak jauh, meletakkan ponsel di a
"Lu mau tau apa lagi, sih, Jun?" tanya Arkan kesal. Juna mendatangi kantornya pagi-pagi, menuntutnya untuk jujur mengenai Diva. Pria itu percaya masih ada yang disembunyikan. Padahal tidak ada, ia sudah menceritakan semuanya. "Gue udah nyeritain semua yang gue tau sama lu." Arkan mengusap wajah kasar, menyandarkan punggung pada sandaran kursi kebesarannya. Sementara Juna duduk di depannya, dipisahkan oleh meja kerjanya. Juna benar-benar tidak pulang ke apartemennya tadi malam, ia menginap di rumah sakit menunggui Diva. Pagi ini pun, seandainya tidak ada pertemuan penting yang harus dihadirinya hari ini, dia tidak akan meninggalkan Diva. Kevin melaporkan semuanya, dia yang membawa baju ganti Juna tadi pagi. "Nggak!" Juna menatap Arkan tajam. "Gue yakin masih ada yang gue nggak tau. Feeling gue bilang lu masih nyembunyiin sesuatu." "Astaga!" Arkan merosot di kursinya. Ia beruntung hari ini tidak ada yang penting yang harus dikerjakannya sehingga bisa meladeni Juna sementara ini, set
Dua hari bermalam di rumah sakit, Diva baru diperbolehkan pulang. Sebenarnya,.dia sudah bisa pulang keesokan hari, tapi Juna tidak memperbolehkan. Pria itu tidak percaya jika dirinya sudah baik-baik saja. Lebih gila lagi, Juna ingin dia terus dirawat selama beberapa hari lagi. Astaga! Entah apa yang dipikirkannya. Salahkah dirinya sekarang merasa kesal padanya. Juna terlalu pemaksa, selain posesif dan overprotektif. Sangat menyebalkan. Juna juga melarangnya bekerja. Dengan pongahnya dia mengatakan, masih bisa memberikan apa pun padanya meskipun tak bekerja. Juna memintanya untuk duduk manis di rumah saja, dan menyerahkan semua urusan keuangan padanya. Hei! Siapa dirinya bisa mengaturnya seperti itu? Siapa Juna sehingga mau menafkahinya? Dasar orang gila!Untungnya, setelah dibujuk yang membuat mulutnya nyaris berbusa karena terllau banyak bicara, akhirnya Juna menyetujui untuknya pulang keesokan harinya. Juna juga lahirnya membiarkannya bekerja dengan syarat harus tidak boleh terlalu
Selama beberapa saat tak ada suara di dalam mobil selain suara deru mesin. Entah perasaannya saja atau tidak, suara Diva terdengar meninggi. Juna mengangguk tanpa meliriknya sama sekali, ia lebih memilih untuk fokus pada jalanan. Lalu lintas macet seperti biasa, membuatnya harus lebih hati-hati dalam berkendara. "Nggak!"Juna menahan napas menunggu kalimat selanjutnya. Sebenarnya ia tak ingin bertanya, hanya saja ia tak kuat melawan penasaran. Ia sangat ingin tahu apakah ada orang lain selain dirinya. Jika ada, tak apa-apa, ia akan berusaha menerimanya meskipun selama sebelas tahun ini ia tak pernah melakukan apa pun, Tak pernah berhubungan dengan wanita mana pun. Sudah dikatakannya, bukan, jika seluruh perasaannya mati? Lagipula, saat mereka pertama berhubungan, Diva juga mau menerimanya apa adanya. Lalu, seandainya Diva yang seperti itu, kenapa ia harus menolaknya? "Aku nggak pernah pacaran, nggak pernah dekat sama siapa pun kecuali sama Ruud.""Rudd?" ulang Juna tanpa sadar. Nama