Yogyakarta menjadi salah satu tujuan yang sengaja dipilih Olivia untuk menyendiri. Setelah memberikan uang fee pada petugas yang mengantarkan mereka menuju kamar villa, Olivia meletakkan tas yang sedari tadi menempel dipundaknya di atas meja bundar tidak jauh dari posisinya berada. Keheningan sekaligus indahnya kota Yogyakarta di malam hari yang dilihat Olivia dari balik pintu geser, seolah-olah menyeret jiwa terdalam Olivia untuk ikut melebur dalam bayangan malam. Olivia sama sekali tidak banyak bicara sejak pesawat hengkang dari Surabaya menuju ke Yogyakarta. Olivia benar-benar tidak ingin membahas apapun saat ini, detik ini, bahkan tidak ingin terlibat apapun lagi nantinya setelah pikirannya sempat berlari pada kenangan pahit yang telah lama tersimpan bertahun-tahun lamanya. Olivia pun tahu. Tinggal menunggu waktu saja sampai Dante berhasil menemukannya. Jujur saja Olivia tidak ingin pergi dengan cara seperti ini. Jika memang harus berpisah, Olivia ingin perpisahannya kali ini di
Olivia mengaduk-aduk teh di depannya berulang kali. Olivia gugup. Apalagi saat ini sudah ada Iko, Papa Dante yang dengan begitu lahap menikmati semangkuk mie instan buatannya dalam diam. Iko kemudian mendongak memandang ke arah Olivia penuh heran. “Kamu nggak suka teh buatan Om?” tanya Iko memecah keheningan. “Ah ... ng ... nggak ... bukan begitu, Om,” timpal Olivia gelagapan lalu memilih menyeruput segelas teh itu karena merasa tidak enak hati sendiri. “Kamu nggak perlu merasa gugup begitu. Om hanya ingin ngobrol santai denganmu,” lanjut Iko lalu menyudahi santapannya. “Dan terima kasih ya sudah membuatkan Om mie instan.” Olivia hanya menjawabnya dengan mengangguk pelan. “Om langsung pada intinya saja. Jadi kapan kami bisa menemui keluargamu secara resmi?” Mata Olivia seketika melebar pertanda tidak percaya.“Maksud, Om?” Olivia balik bertanya. Iko menghela napas sembari melipat kedua lengannya didada. “Om sudah tahu semuanya,
“Dante ....” Suara familiar menyapa telinga Dante. Lambaian tangan seorang perempuan dengan jeans belel dan kaos merah polos sontak membuat Dante mau tidak mau mengulas senyuman yang sempat hilang barang sejenak. Padahal baru saja semalam mereka melakukan video call, tapi ... ah sudahlah. Intinya Dante dilanda rindu. “Kamu selalu saja membuatku cemas. Apa penerbangannya delayed?” tukasnya. Olivia menggeleng. “Aku ke toilet dulu.” “Satu jam? Perutmu bermasalah?” Olivia menggeleng lagi. “Aku memang sengaja membuatmu menunggu kok.” “Apa?!?” “Aduuh, kalian ini.” Ambar menyela di antara obrolan sepasang kekasih itu. “Tadi Bude yang habis dari toilet, Dante.” “Ya ampun sampai lupa kalau ada Bude. Bude Ambar sehat?” kata Dante sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya di depannya. Ambar menepuk punggung Dante kemudian berkata. “Keadaanmu sudah benar-benar pulih, Dante?” Dante mengan
Tautan tangan Dante disela jemari Olivia sama sekali tidak ingin Dante lepaskan begitu saja. Bahkan ketika keduanya telah tiba di depan pintu apartemen Olivia sekalipun tampaknya Dante masih enggan melepaskan Olivia secara cuma-cuma. Padahal Dante tahu persis jika perempuannya itu capeknya bukan kepalang melewati satu hari ini. “Mau minum teh dulu nggak?” sahut Olivia menawarkan ketika akhirnya pintu apartemen berhasil dibuka dengan salah satu tangannya yang masih bertautan erat dengan Dante. Dante sepertinya serius tidak ingin membiarkannya pergi meski hanya untuk membuka pintu. “Kamu duduk dulu deh,” sahut Olivia lagi sembari menarik lembut tangan Dante agar laki-laki itu mau duduk disebelahnya. “Cerita sama aku apa yang membuatmu nggak puas, hm? Sejak tadi tampaknya kamu nggak rela melepaskan tanganku ini. Seingatku aku nggak mengoleskan lem atau apapun itu. Kenapa bisa jadi lengket begini ya.” Dante menghela napas penjangnya kemudian berkata. “Aku benci h
Dante bersama kedua orang tuanya datang ke rumah Ambar dua hari berikutnya. Begitu banyak bingkisan yang dibawakan Martha hingga membuat Olivia merasa tidak enak sendiri. “Kok jadi repot-repot segala sih, Tante?” tukas Olivia ketika membawa beberapa bingkisan dikedua tangannya. Ada lebih dari lima bingkisan yang Olivia terima hari ini. “Ini cuma makanan, Sayang. Lagipula Tante nggak enak dong datang kemari dengan tangan kosong.” Dada Olivia menghangat ketika Mama Dante itu memanggil Olivia dengan sebutan ‘Sayang’. Artinya Olivia benar-benar telah diterima dengan baik oleh mereka. Acara perkenalan kedua keluarga berlangsung secara intimate yang akhirnya merujuk pada kesepakatan bahwa dua bulan ke depan akan dilangsungkan pernikahan. Tanpa adanya acara pertunangan dan lain sebagainya karena dari calon mempelai pria yang tidak memiliki cukup kesabaran menahan segala prosesinya. Dua bulan akan menjadi waktu tersingkat untuk Olivia serta keluarganya mempersiapkan
Tepat dihari keempatbelas Olivia bersama dengan Lussi mengunjungi mall tempat biasanya mereka berdua dulu datangi. Jadwal terakhir sebelum dipingit adalah membeli seserahan. “Maaf ya, aku terpaksa mengajak mereka berdua. Mama Elok sedang nggak di rumah.” “It’s Ok. Malahan aku yang heran jika kamu nggak mengajak mereka. Aduh, gembulnya Anti. Aro sama Ara sehat ?” sapa Olivia kepada Si Kembar. Si Kembar tertawa bersamaan sembari menghambur ke pelukan Olivia. “Aduh, Anti nggak kuat kalau menggendong kalian berdua sekaligus, Sayang. Kita gandengan tangan saja ya.” Si Kembar mengangguk bersamaan lalu bergelayut manja dikedua tangan Olivia. Kemudian beberapa toko mulai mereka masuki satu per satu. Dimulai dari toko sepatu dan tas hingga toko pakaian dalam juga tak luput dari pandangan dua sahabat itu. Sejenak Olivia terhibur dari rasa lelahnya. “Sudah ada kabar dari Dante belum?” tanya Lussi saat mengembalikan menu pesanan pada waitress. Mereka bere
Lembaran tissue menyumbat hidung Olivia telah berganti dengan kapas yang diberikan dokter UGD untuk menghentikan darah yang tidak kunjung berhenti. Tidak ada sesuatu yang bahaya seperti dugaan Lussi. Semua murni hanya mimisan biasa akibat kepanasan. Elok menatap dua perempuan yang baru saja menginjakkan kaki di depan pintu rumahnya. Elok tidak bertanya apa-apa, namun sebagai gantinya ibu dari teman kecilnya itu mencarikan lembaran daun sirih untuk menyumbat kedua hidungnya. Kalau boleh jujur mata Olivia memang terasa panas, tapi ia baik-baik saja. Sungguh. Kata-kata itulah yang selalu diucapkan Olivia untuk meyakinkan sahabatnya itu. “Benar-benar kamu ini ya. Selalu saja membuat Tante jantungan,” kata Elok mengusap lembut pucuk kepala Olivia setelah mendapat laporan dari Lussi. Sahabat Olivia yang satu itu memang paling jago soal lapor-melapor. Hansip kompleks saja kalah. “Terakhir kali Tante melihat kamu mimisan itu sewaktu SMA. Kenapa bisa begini lagi? Kamu sedang
“Saya terima nikah dan kawinnya Olivia Zurkena binti Zurkeino Atmaja dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana, SAH?” “SAAAHH ….” Senyuman Olivia terukir begitu indahnya di dalam pantulan kaca saat momen ijab dan kabul yang diucapkan dengan lantang oleh Dante terngiang kembali ditelinga. Olivia tahu betapa groginya Dante satu hari sebelum akad nikah. Bahkan Reihan harus turun tangan langsung untuk menenangkannya. Dan sekarang, disaat mereka berdua telah resmi menjadi pasangan suami istri wajar saja senyuman terus menghiasi wajah Dante yang memang amat tampan itu. “Kenapa sih kamu kok pelit banget mengizinkan aku masuk?” Terdengar bentuk protes Dante dari ruangan sebelah karena keinginannya untuk menemui istri tercinta dihalang-halangi oleh sepupunya Lussi. “Bahkan setelah Olivia menjadi istriku pun kamu masih mau ikut campur. Are you kidding me, Lu?” tambah Dante semakin tidak terima. “Sumpah demi Tuhan, Dante. Penan
Pagi harinya Olivia terbangun tanpa Dante disisinya. Sisi kiri tempat tidur disebelahnya terasa dingin menandakan jika laki-laki itu tidak tidur di sana semalaman. Tidak ada yang berubah di dalam ruangan ini. Hanya ada jas yang dikenakan Dante semalam tersampir dipunggung sofa, selebihnya tidak ada lagi. Ini mungkin salahnya. Olivia telah melakukan kesalahan yang fatal semalam. Sekarang apa yang harus dia katakan saat bertemu dengan Dante nanti? “Kamu sudah bangun rupanya.” Sapaan itu terdengar manis ditelinga Olivia, tapi terlihat pahit disaat Dante masih mengenakan kemeja yang sama dengan kemarin. “Semalaman kamu ke mana ?” “Aku cari angin di luar dan kebetulan bertemu teman di sana.” Olivia mencium adanya kebohongan di kata-kata Dante. “Apa karena penolakanku? Apa karena alasan itu kamu nggak sudi tidur denganku?” “Nggak, Via. Aku hanya sedikit lupa waktu karena bertemu teman dan—” “Karena perlakuanku semalam hingga membuatm