Suara lift terbuka bahkan suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas di telinga. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas hari ini. Seperti biasa Olivia selalu menjadi penghuni pertama yang menginjakkan kaki di lantai ini setelah Muslimin. Arloji ditangan masih berada di angka enam ketika Olivia tiba di kantor.
“Hari ini datang pagi lagi, Mbak,” sapa Muslimin dan langsung dibalas anggukan oleh Olivia.
“Iya, Mas. Kebetulan aku bangun pagi-pagi sekali hari ini. Mas Mus sudah sarapan? Nih, aku ada bubur ayam untuk Mas Mus.”
“Aduh saya jadi tidak enak sama, Mbak. Mbak Olivia perlu saya buatkan kopi atau teh?”
“Kalau ada susu hangat, aku mau itu ya, Mas.”
“Siap laksanakan!”
Muslimin pun berlalu. Begitulah awal hari Olivia setiap harinya. Berbincang-bincang sejenak dengan Muslimin di pagi hari atau sekedar menyapanya saat bertemu di area pantry. Olivia meletakkan tas pundaknya di dalam lemari kemudian mulai berkutat dengan notebook yang telah berubah menjadi Ipad demi mempermudah pekerjaannya. Beberapa tumpukan map yang sempat Lana berikan padanya, Olivia buka dan memberikan sticky notes bagian-bagian mana saja yang membutuhkan tanda tangan Yusa nantinya. Olivia membuka pintu ruangan Yusa perlahan lalu meletakkan map di atas meja hingga sebuah tangan tiba-tiba melingkari pinggangnya yang membuat Olivia memekik karena kaget.
“Yusa ....” kata Olivia kesal.
Yusa menangkupkan tangannya meminta ampun sembari memamerkan sederetan giginya yang putih. Kemudian laki-laki itu menarik Olivia duduk disebelahnya. “Kamu selalu datang sepagi ini?” Yusa lanjut bertanya.
“Tergantung sih. Kenapa?” Olivia balas bertanya.
Yusa menggeleng pelan lalu merebahkan diri dengan menjadikan pangkuan Olivia sebagai bantalan. Tangan Olivia yang bebas tidak luput pula menjadi incarannya. Membuat Olivia menjadi salah tingkah sendiri karena perlakuannya.
“Yusa, ini kantor. Jangan seperti ini,” kata Olivia memperingati.
“Aku habis lembur, Via. Aku butuh charger. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai sebelum opening ceremony nanti. Lana benar-benar monster sesungguhnya.”
Olivia tertawa menimpalinya. “Kamu jahat sekali. Mbak Lana itu salah satu staf yang paling loyal sama perusahaanmu tahu,” tukas Olivia membela. “Kamu beruntung punya dia.”
“Salah ....” kata Yusa tidak setuju. “Aku beruntung punya kamu. Andaikan aku bisa seperti ini setiap hari, aku pasti makin giat bekerja,” lanjut Yusa kemudian.
Perlakukan Yusa semakin membuat Olivia mulai merasa tidak nyaman. Apalagi ketika kedua lengan laki-laki itu tiba-tiba mulai berjalan melingkari pinggang—tubuh Olivia memberikan sinyal peringatan. Berduaan saja dengan Yusa di ruang tertutup memang tidak baik. Tangan Yusa suka meraba apa saja yang bisa laki-laki itu raba. Itulah alasan kenapa Olivia berulang kali menahan tangan Yusa agar tidak bertindak lebih jauh.
“Kenapa? Aku bebas melakukan apapun di ruanganku, kan? Lagipula kamu calon istriku.”
“Aku muak berulang kali mengatakan ini, Yusa. Beri aku waktu berpikir.”
“Maka aku pun juga muak dengan alasanmu itu, Via.”
Yusa mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Olivia. Membuat Olivia refleks menahan tubuh Yusa dengan kedua tangannya dengan cepat.
“Yusa ....”
Yusa bergeming—malah semakin merapatkan tubuhnya ke Olivia.
“Yusa ....” ulang Olivia merasa risih.
“Kamu benar-benar membuatku kehabisan kesabaran, Via. Kupikir aku perlu sesuatu untuk mengikatmu,” katanya.
“K-Kamu mau apa?” Olivia mulai terbata.
Yusa berdecak lalu menggeser tubuhnya menjauhi Olivia. Ada sesuatu yang tidak beres yang Olivia rasakan di sini. Yusa, seperti bukan dirinya lagi.
Menjelang makan siang, tiba-tiba saja Yusa kembali menarik pergelangan tangan Olivia agar laki-laki itu mau mengikutinya. Percuma saja Olivia bertanya karena Yusa sama sekali tidak mau mendengarkan celotehannya. Olivia bahkan hanya pasrah saat Yusa telah melarikan mobilnya menjauhi area kantor.
“Kenapa kamu membawaku kemari?” protes Olivia.
Yusa memarkirkan mobilnya di depan salah satu rumah perhiasan di kawasan Rungkut yang tentu saja membuat Olivia kaget seketika.
“Katakan padaku kenapa kamu membawaku kemari, Yusa,” sergah Olivia lagi.
“Kita beli cincin. Kamu bebas memilih. Jangan pedulikan harganya.”
“Aku menolak.”
“Via ....”
“Berhenti memaksaku, Yusa. Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa terburu-buru seperti ini? Kamu bahkan nggak sekalipun mendengarkanku.”
Batas kesabaran Olivia habis sudah. Padahal jika Yusa mau bersabar menunggunya, mungkin saja keajaiban Olivia untuk segera menerima pinangan laki-laki itu bisa saja terjadi.
“Via, tunggu. Aku bisa jelaskan,” cegah Yusa meraih tangan Olivia agar dirinya berhenti dan menatapnya. “Aku mengaku salah. Jadi tolong ma—“
“Tolong beri aku jeda, Yusa. Beri aku satu bulan untuk memikirkan semuanya. Jangan paksa aku atau kesempatan itu tidak akan pernah datang lagi padamu.”
Satu kebodohan yang baru saja Olivia sesali. Sifat Olivia yang tidak menolak terang-terangan membuat segala di depannya menjadi rumit. Yusa bukan laki-laki jahat. Hanya caranya saja yang salah. Dan Olivia masih berusaha mempertaruhkannya.
***
Malam ini Olivia memutuskan menginap di rumah Elok. Tidak hanya Elok yang senang, Lussi pun demikian. Sayangnya ketika ia tiba, Si Kembar sudah terlelap ke alam mimpi. Lalu Yusa datang menyapa, membuat Lussi dan Elok saling bertukar pandangan. Sopannya sikap Yusa membuat Elok seketika jatuh hati. Bahkan setelah tahu status laki-laki itu.
“Calon suami?!?” Suara Lussi yang tiba-tiba meninggi membuat Elok mencubit menantunya.
“Kamu ngigau? Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Hei, Yusa aku tahu dari sejak Mapala dulu kamu memang sudah naksir Via, tapi calon suami? Are you kidding me?”
Yusa hanya tertawa menanggapi ucapan Lussi.
“Maaf ya, Lu. Tapi aku nggak bohong. Kamu bisa tanya sendiri ke Via.”
“Sejak kapan? Kok aku sama sekali nggak tahu apa-apa? Kamu paksa Via, kan?”
Perdebatan Lussi versus Yusa pun masih terus terjadi. Sementara Elok malah mendukung hubungannya dengan Yusa agar cepat-cepat berlanjut ke pelaminan. Kata Elok, sesuatu yang baik pamali kalau terlalu lama ditunda. Karena kita tidak pernah tahu cobaan apa yang akan datang di depannya.
“Kalau gitu kamu harus cepat-cepat bilang sama Budemu, Via. Tante yakin Ambar pasti akan senang mendengarnya. Kalian berdua ini ya berita sepenting ini kenapa baru diumumkan sekarang sih. Dasar anak muda zaman sekarang.”
Olivia mengangguk tanpa berniat membantah. Selang tak lama kemudian Yusa pun pamit dengan kembali mencium punggung tangan Elok. Dan tak lupa Yusa mendaratkan kecupan dipipi Olivia sebelum ia melarikan mobil menjauhi kediaman Elok.
Interogasi pun akhirnya dimulai. Sejak dulu Lussi memang tidak pernah menyukai Yusa yang terlampau dekat dengan Olivia. Menurut Lussi, tipe laki-laki seperti Yusa adalah tipe teraneh yang pernah ia temui. Wajar saja jika respon Lussi sungguh luar biasa ketika mendengar kata calon suami dari bibir Yusa.
“Sekarang jujur sama aku, Via. Apa yang membuatmu menerimanya? Kesampingkan kalau aku pernah menganggap dia aneh, tapi kenapa? Dia maksa kamu?” tembak Lussi langsung.
Olivia menggeleng. “Nggak ada unsur paksaan kok. Cuma sedikit terburu-buru. Yusa hampir nggak memberiku waktu buat berpikir.”
“Ya itu sama saja,” timpal Lussi. “Harusnya kamu perlu curiga kenapa dia maunya terburu-buru? Jangan-jangan ada yang dia sembunyikan. Tuh kan! Dugaanku menganggap dia anehmemang nggak pernah salah.”
Olivia hanya diam sebagai balasan. “Yusa sudah banyak berubah kok, Lu.”
Lussi menghela napasnya. “Berarti kamu sudah mantap dengan pilihanmu itu ya, Via. Suka nggak suka, aku pasti akan mendukung keputusanmu itu. Lagipula kalau bukan aku siapa lagi yang berpihak padamu, kan?
Olivia tertawa menimpali. “Kamu benar. Memang cuma kamu yang aku punya sejak dulu.”
“Glad to hear that. Aku ikut senang mendengarnya. Asal jangan jadikan ini sebagai pelarian. Nggak hanya kamu, kasihan juga Si Yusa.”
Olivia kembali tidak menjawab.
“Lima tahun bukan waktu yang sebentar, Via. Sudah cukup kamu menunggunya mencarimu. Sudah cukup kamu mengharapkannya kembali. Mulai sekarang belajarlah menerima laki-laki di depanmu.”
“Aku tahu, Lu ....”
Benar. Sudah cukup aku menunggunya, batin Olivia.
“Anti Viaaaaa ....”
Olivia dan Lussi menoleh. Kedua anak kembar Lussi itu berlari lalu menghambur ke arahnya sembari membawa dua buah guling dalam pelukan. Olivia terjerembab saat duo kembar itu menabraknya.
“Kalian kok belum tidur?” tanya Olivia pada salah satu putra Lussi. Deliandra menjawabnya dengan sigap.
“Ala dengal suala Anti dali atas. Ya kan, Alo?” Devandro mengangguk cepat.
“Yuk Anti bobok sama Alo,” tambah Devandro yang langsung diberi anggukan kembarannya.
“Iya nanti Anti bobok sama kalian ya. Tapi sekarang Anti mau ngobrol dulu sama Mama. Aro, Ara masuk kamar sekarang ya. Nanti dimarahi Papa loh kalau Papa pulang.”
Kedua bocah kembar itu saling berpandangan lalu berkata. “Siap laksanakan!”
Kekompakan dan kelucuan dari Si Kembar sejenak membuat Olivia lupa. Ia lupa akan hal yang membuatnya gelisah. Ia lupa akan beban dipundaknya. Tapi bukankah itu hal bagus?
“Via ....”
Tatapan Lussi pada Olivia mengandung arti lain. Berbeda dari tatapan sebelumnya.
“Benar bukan pelarian, kan?”
Olivia menggeleng pelan disela-sela senyumnya. “Akan kucoba, Lu,” kata Olivia menyudahi pembicaraannya.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Rasanya berlalu begitu cepat. Olivia menengadah menatap langit biru dengan pemandangan laut disekelilingnya. Sepuluh tahun belakangan ini berlalu penuh dengan emosi dan airmata. Begitu banyak yang Olivia curahkan, begitu banyak pula yang Olivia tinggalkan, termasuk hubungannya dengan Dante. Olivia seketika teringat bagaimana dulu pertemuannya dengan Dante dan bagaimana mereka akhirnya menjalin kasih yang berlanjut pada sebuah perpisahan. Berat sekali rasanya sampai-sampai Olivia tidak ingin merasakannya lagi. Olivia mendadak tersenyum ketika merasakan ada sepasang tangan yang terulur memegangi sebelah pahanya yang telanjang tanpa penutup apa-apa. Olivia menurunkan pandangan lalu beradu pandang pada sosok mungil yang menengadah menatapnya. “Kok sendirian? Papa mana?” tanya Olivia. Pemilik sepasang tangan itu adalah seorang gadis kecil dengan wajah bak pinang dibelah dua oleh laki-laki yang Olivia panggil denga
Dante marah besar saat tahu Yusa kembali menghubungi Olivia. Emosinya yang meluap-luap membuat Olivia harus memberikan pengertian pada suaminya itu. “Nggak. Aku nggak mau dengar apapun, Via. Dan jangan pernah memaksaku untuk bersikap tenang disaat aku tahu Yusa kembali mendekatimu. Apa perlu aku menghajarnya sampai mati dulu baru dia mau melepaskanmu? Fine! Akan aku kabulkan.” See? Kecemburuan Dante membutakan mata sekaligus hatinya. Belum ada sepatah kata yang Olivia lontarkan untuk pembelaan, Dante sudah membombardirnya dengan setuja serangan. “Yusa nggak mencoba mendekatiku lagi, Dante. Dia hanya ingin bicara. Lagipula dia bersedia kemari kalau aku memang mengizinkannya.” Dante melebarkan matanya. “Kamu memberitahunya kalau kita di Bali?! Buat apa?” Kecemburuan Dante sudah membuatnya menjadi tidak waras. Semua seolah menjadi hitam dihadapannya. “Via—” “Yusa ingin bicara sesuatu yang penting. Aku nggak tahu itu apa, tapi dia
“Sekarang?!” Olivia mengerjapkan matanya berulang kali. Pasalnya baru tiga hari ke depan Olivia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dante mengulas senyuman ketika melihat ekspresi terkejut Olivia. Wajar saja! Belum ada satu hari Dante mengungkapkan keinginannya pada Reihan untuk berlibur, tapi hari ini laki-laki itu telah benar-benar melaksanakannya. Reihan yang kebetulan ikut berkunjung mengantarkan kue kiriman Lussi untuk Olivia pun juga terngaga tak percaya. “Bro, baru juga kemarin siang lo bilang rencana ini ke gue, kenapa jadi gini?” protes Reihan. “Lo yang bilang akan handle semuanya. Kenapa sekarang malah protes?” Dante membalas. “Iya sih, tapi nggak hari ini juga. Gue sama sekali nggak ada persiapan. Ini nih yang nggak gue suka dari lo. Suka meledak-ledak kayak ABG.” “Sialan, lo!” umpat Dante tidak terima. “Pokoknya semua file yang perlu lo handle sudah gue kirim by email. Lo tinggal cek dan hubungi klien kita kalau semisal ada komp
Silaunya lampu membuat Olivia memicingkan matanya. Olivia tahu dirinya di mana saat ini. Selimut yang menyelimuti tubuhnya, perban dikepala yang Olivia rasakan, dan juga siapa laki-laki yang tengah tertidur dengan menangkupkan kepalanya dikedua lengan, semuanya dapat menjadi petunjuk bahwa saat ini ia telah berada di salah satu kamar di rumah sakit. Punggung tangan Olivia terulur, mengusap lembut pucuk kepala laki-laki yang terlelap dengan perlahan. Dante mengeliat sesaat karena sentuhannya, berharap supaya laki-laki itu terbangun namun malah membuat laki-laki itu semakin tenggelam ke alam mimpi. Olivia kembali memejamkan matanya. Sangat sulit melupakan kejadian mengerikan itu. Apalagi … astaga! Olivia ingat akan satu hal yang hampir saja ia lupakan. Bagaimana keadaan bayinya? “Hei!” Olivia menoleh saat tahu siapa yang tengah menyapanya. Bahkan dengan wajah bangun tidur pun Dante terlihat sangat menawan. Dante beranjak dari kursi yang ia duduki lalu beralih ke bibir
“Pak Dante, kita harus segera menolong Ibu Via sebelum terlambat.” Dante mengeraskan rahangnya ketika mendengar Olivia juga disekap oleh orang yang sama. Orang yang sama juga pernah meneror mereka beberapa hari yang lalu dengan bangkai tikus. Sejenak Dante terdiam. Teror bangkai tikus itu adalah peringatan yang diperuntukkan untuk kedua keponakannya. Betapa bodohnya Dante tidak bisa membaca segala kemungkinan yang akan terjadi. “Sekarang katakan padaku, Sumi. Gimana keadaan Via di sana?” Mendadak Sumi menangis karena teringat apa yang telah Olivia lakukan untuknya supaya bisa kabur. “Mereka menjambak rambut Ibu Via, Pak. Bahkan terkadang mereka juga menamparnya.” Darah Dante langsung mendidih mendengarnya. Olivianya disiksa. Dan itu sudah cukup Dante jadikan alasan untuk segera menghabisi komplotan itu dengan tangannya sendiri. “Apalagi yang kamu tahu, Sumi? Apalagi yang telah mereka lakukan pada Via? Ceritakan tanpa ada yang terlewat.
Percikan air membangunkan Olivia dari pingsannya. Olivia menyipitkan mata karena silaunya lampu yang menerangi ruangan yang terbilang asing untuknya itu. Rasa sesak mulai dirasakan Olivia akibat debu dan minimnya sirkulasi udara. Olivia memeriksa sekeliling dengan matanya. Ia mencoba menerka serta mencari tahu di mana lokasinya saat ini. Nihil. Tidak ada informasi yang bisa Olivia dapatkan. Kalau begini caranya akan sulit bagi Olivia menyelinap dan meminta bantuan orang sekitar. Pintu besi yang sedari tadi tertutup terbuka lebar. Seringai menjijikkan milik laki-laki brengsek itu mendadak membuat Olivia ingin muntah dihadapannya. Yogan berjongkok, menarik dagu Olivia mendekat. Kemudian tanpa Olivia sadari Yogan sudah melumat bibir Olivia begitu rakus seolah bibir Olivia adalah oase di padang pasir. Olivia memberontak, tapi tangan yang beralih fungsi mencengkram tengkuk Olivia saat ini amat begitu kuat. Yogan menjelajah begitu dalam sehingga mengambil kesempatan Olivia untuk m
Tangan yang menggenggam tangan Olivia berkeringat ketika Dante menceritakan semuanya pada Lussi dan Reihan. Olivia tidak peduli aibnya terbongkar dihadapan kedua sahabatnya itu. Di dalam pikiran Olivia saat ini hanyalah keselamatan Devandro dan Deliandra semata. Kedua bocah gembul itu sama sekali tidak pantas menerima perlakuan karena ulahnya terdahulu. Lussi memutar posisi duduknya menghadap Olivia. Genangan airmata terlihat di sana. “Kenapa kamu nggak bilang, Via? Kenapa kamu bungkam padaku selama ini.” Olivia menepuk punggung tangan Lussi. “Sudah berlalu, Lu. Nggak perlu diungkit-ungkit lagi. Sekarang yang terpenting anak-anakmu. Yogan sudah mengenali Si Kembar dua kali.” “Kalau gitu untuk sementara Si Kembar nggak usah ke sekolah dulu.” Reihan mengambil alih topik obrolan. “Aku pikir itu adalah solusi paling aman.” “Nggak, Rei. Kalau Si Kembar nggak ke sekolah seperti biasanya, maka Mama Elok akan curiga. Mama sudah tua dan aku nggak mau k
Terjadi. Ancaman Yogan pada Olivia benar-benar terjadi. Sebuah paket diperuntukkan untuk Olivia datang bertubi-tubi. Lima paket yang sama di lima hari yang berbeda datang untuknya. Dengan gemetaran Olivia menerima paket dari seorang tangan kurir suruhan Yogan. Anehnya lagi Olivia tidak pernah merasa pernah memberikan alamat tinggalnya pada laki-laki gila itu. Dan hari ini adalah puncak dari kiriman paket yang tidak pernah Olivia buka sama sekali. Kali ini sebuah nomor tidak dikenal mengirim Olivia sebuah pesan singkat dan memintanya untuk melihat isi dari kotak yang dikemas rapi itu. Olivia menjerit lalu terduduk lemas di lantai ketika membuka isi kotak yang ternyata adalah dua ekor bangkai tikus. Sejenak Olivia teringat akan sesuatu. Mungkinkah tikus ini melambangkan Si Kembar? Batin Olivia. Olivia memberingsut menjauh. Olivia ketakutan ditengah sepinya rumah. Hingga tiba-tiba saja Dante muncul dari pintu depan dan tampak kaget dengan apa yang ditem
Wajah Olivia yang memucat jelas mengundang segudang pertanyaan untuk Lussi. Tidak ada yang bisa Olivia katakan untuk mengungkapkan perasaannya sekarang. Olivia cuma ingin tiba di rumah secepatnya dan bertemu Dante. “Via, kamu nggak apa-apa?” Lussi tiba-tiba bertanya. Sayangnya niat Olivia untuk menjawab benar-benar sirna. Olivia tidak ingin membuka mulutnya sampai tiba di rumah. “Via, please bilang sama aku. Aku bisa dimarahi Dante kalau memulangkanmu dalam keadaan seperti ini.” Kembali Olivia tidak menggubris. Tatapannya menerawang jauh tak terselami. Olivia sejenak larut kembali dalam lamunan tidak menyenangkan. Olivia masih tidak bisa melupakan wajah dan senyum seringai milik Yogan. Tidak ada yang berubah, hanya guratan luka di pipinya saja yang berbeda. Ah … masa bodoh! Bukan itu yang Olivia risaukan. Olivia takut kehadiran Yogan malah justru akan mengusik kebahagiaannya atau bahkan menghancurkannya lagi. Mobil Olivia masuk ke pekarangan rumah. De