Share

Aula

Namanya juga harapan, gak semuanya bisa jadi kenyataan.

Dengan berbagai macam keberanian, Nadya berjalan melangkah menuju tempat parkiran. Siapa tau Raga kembali mengajaknya pulang bersama. Namun kenyataan tetaplah kenyataan, tak sesuai dengan ekspetasi tingginya. Sosok Raga malah pergi berlalu bahkan setelah melihat Nadya berdiri disampingnya.

“Yah ko pergi sih!” Dengan langkah lesu, akhirnya gadis cantik itu berjalan pelan menuju halte bus dan duduk menunggu sendirian.

“Padahal aku kira kita udah deket,” ungkap Nadya dengan nada memelasnya.

••••

Nadya melemparkan tubuhnya ke kasur yang sudah menunggu untuk segera dinikmati. Dalam sekejap tubuhnya sudah telentang nyaman. Menyisakan suasana hening yang menjadi pengiring tidurnya.

Ketika keadaan sudah gelap, ia terbangun dari tidurnya. Beranjak dari kamar dan menutup semua tirai serta menyalakan lampu.

Jam dinding yang berteger manis itu ternyata sudah menunjukkan pukul 19:15 WIB. Ia segera berlari ke kamar mandi untuk mendapatkan kesegaran. Setelah selesai, Nadya mengenakan piyama yang menurutnya sangat nyaman. Ia kembali merebahkan tubuhnya tanpa ada niatan untuk terlelap lagi. Nadya hanya membaca novel kesukaannya untuk menghilangkan kejenuhan yang kian mendera. Tak ada seorang pun yang hidup di rumahnya saat ini. Itu artinya hanya dirinya sendirilah penghuni rumah besar tersebut.

Setelah menyelesaikan bacaan yang membuatnya tertawa itu ia kembali termenung. Menghirup udara malam yang sedari tadi memyelimutinya. Angin yang masuk dari celah jendela pun menerpa kulitnya hingga berhasil menyentuh tulang putihnya.

****

Pagi ini matahari enggan menampakan kehadirannya, Nadya bersiap untuk berangkat ke sekolah dengan diiringi langit yang sedikit gelap. Ia berpikir mungkin akan turun hujan, namun beberapa menit telah berlalu hujan tak kunjung turun. Langit tetap sendu sembari memaparkan kesedihannya. Nadya pun segera pergi meninggalkan rumah sambil menatap jalanan.

Ia melangkah menuju gerbang sekolah dengan langit yang masih menjadi peneduh untuknya. Cuaca kali ini sungguh bersahabat dengan perasaan gadis tersebut. Meski begitu Nadya tetap tersenyum dalam mengawali pagi yang masih gelap karena terhalang sendunya langit.

“Baru nyampe?” Seru Anaya yang sudah terduduk manis dikursi miliknya.

“Iya,” jawab Nadya sembari mendaratkan bokongnya pelan.

Suasana sekolah kali ini terlihat agak sepi, mungkin karena angin menerpa sangat kencang membuat setiap insan masih ingin berada dalam pelukan selimut yang ada di kamarnya.

“Selamat pagi dunia tipu-tipu!” Teriak Edo dengan kedua kaki yang siap melangkah memasuki ruang kalasnya.

“Berisik woy!” Aluna menatap tajam sembari melepar bulatan kertas yang sedari tadi digenggamnya.

“Lagi pms ya mbak nya,” goda Edo sembari berlalu menuju tempat duduknya dan meletakan tas ransel miliknya.

“Nih piket dulu!” Tangan Edo berhasil menangkap sapu ijuk yang dilemparkan kearahnya.

“Siap ibu negara!” Ucap Edo sembari memberikan hormat pada Rina yang sedang membersihkan papan tulis. Sontak siswa lain yang sedang sibuk bercerita itu ikut tertawa.

••••

Setelah jam istirahat berakhir, semua siswa dikumpulkan di aula sekolah untuk mempersiapkan acara yang akan digelar satu minggu ke depan. Nadya hanya duduk dibarisan belakang karena sudah yakin jika dirinya tak akan mendapat tugas apapun.

Benar saja, bahkan sosoknya seolah tak terlihat diantara kerumunan banyak orang. Ia merasa tersisihkan dalam keramaian yang tiada akhir ini.

“Kenapa?” Yunia membuka suara ketika melihat wajah lesu dari teman sebangkunya itu.

Nadya menggeleng kuat sebagai jawaban. Ia kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sejujurnya Nadya bukan tidak memiliki banyak teman, ia hanya tidak tau caranya untuk berteman. Meski begitu Yunia selalu memulai percakapan yang bahkan menurutnya tak penting sekalipun.

“Aku duduk sini ya!”

“Iya,” balas Nadya mempersilahkan Frida untuk duduk disamping kirinya.

Tak ada percakapan setelahnya, ketiga remaja itu kembali terdiam menatap lurus ke depan.

“Wey geser dong! Pen duduk disini.” Tiba-tiba Ema datang bersama Siska dibelakangnya. Dia sibuk memohon ke arah Herman yang sedang anteng terduduk.

“Yeuh cewek emang gak pernah mau ngalah!” Cerocos Herman sembari memberikan tatapan permusuhan. Namun tetap saja, sosoknya itu bangkit mempersilahkan kedua gadis menyebalkan itu untuk duduk dikursi tempatnya tadi.

“Gila ya kamu!” Tawa Yunia mendadak pecah menyaksikan kehebohan yang dilakukan temannya itu. Nadya dan Frida hanya bisa menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

“Si Risa gimana, masih sakit?”

“Iya, tadi pagi ibunya nelpon Siska,” balas Ema sembari menunjuk gadis disampingnya dengan dagunya. Siska hanya mengangguk setuju akan ucapan sahabatnya itu.

“Emang dia sakit apa?” Nadya mulai penasaran dengan topik yang sedang berlangsung ini.

“Demam sama batuk-batuk” ucap Siska sebagai penutup percakapan. Pasalnya pembahasan akan segera dimulai, terlihat dari intrupsi yang dilontarkan oleh salah satu dewan guru.

“Eh konsepan kali ini kayanya bakal seru deh,” bisik Yunia dengan tatapan yang masih fokus ke depan.

“Iya, keliatannya bakal lebih mewah dari tahun lalu,” respon Nadya mengacungkan kedua ibu jarinya.

“Berisik woy!” Rina yang duduk dibarisan depan memperingatkan dengan suara yang amat sangat pelan. Ia juga meletakkan jari telunjuknya tepat dibibir mungilnya.

“Iya-iya, sensian amat sih!” Yunia mendumel sebal, iya memanyun-manyunkan bibirnya kesal.

Nadya terkekeh pelan dengan tatapan yang kembali diarahkan ke depan. Memperhatikan segala penjelasan yang terkadang membuatnya terkagum-kagum. Sungguh jika dia yang merancang tak akan pernah bisa sebagus itu, itulah isi dari pikirannya saat ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status