Lusi berjalan terburu-buru menuju kamar sembari tetap mendengarkan Rudy bicara melalui ponsel di telinga. Dia sedang sibuk di dapur, ketika suaminya itu menelepon dan menyuruhnya mencari sesuatu yang disebut penting. “Sebentar, aku cari di kamar.”Pintu dibuka, Lusi melangkah masuk ke dalam kamarnya yang rapi dan luas. Langkahnya kemudian berhenti di depan meja rias. Dia mulai memeriksa semua laci dengan tangannya yang bebas, sementara tangan yang lain menahan ponsel tetap menempel di telinga. “Nggak ada, Mas.” Dia berkata pada Rudy yang masih terhubung dengannya.Dari meja rias, Lusi berpindah ke meja nakas di samping tempat tidur. Tangannya kembali sibuk membuka laci dan menggeledah isinya dengan terburu-buru. “Di sini juga nggak ada, Mas. Kamu taruh di mana, sih?” Lusi mulai mengeluh karena tak juga menemukan apa yang dicari. Pandangannya kini tertuju pada lemari pakaian yang tepat berada di depannya. Keningnya berkerut dan dia bertanya dengan ragu, “Di dalam lemari?”Tepat keti
Pertanyaan itu terus berputar di pikiran Nauna sepanjang hari. Sayangnya, dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mendapatkan jawaban. Kembali ke kamar Lusi dan Rudy bukan pilihan yang tepat. Lagi pula, siapa yang bisa menebak password brankas orang lain? Dia bahkan tidak tahu tanggal lahir Rudy atau pun Lusi. Begitu pula tanggal pernikahan mereka. Bertanya pada Dean hanya akan membuat laki-laki itu curiga. Pada akhirnya, Nauna tidak bisa tidur—seperti malam kemarin. Pikirannya yang buntu terus dipaksa mencari cara hingga dia terjaga sampai menjelang tengah malam. Pukul dua belas kurang sepuluh menit, Nauna beranjak ke luar kamar. Bukan untuk menyelinap dan mencari bukti seperti sebelum-sebelumnya. Dia hanya haus dan ingin mengambil segelas air di dapur. Langkahnya tertahan di ujung tangga, ketika dia melihat Lusi keluar dari kamar dan berjalan dengan langkah terburu-buru. Diam-diam, Nauna mengikuti kemana perempuan itu pergi. Rupanya, Lusi masuk ke garasi lewat pintu di dekat ruan
Nauna mengerjap berkali-kali. Dia tidak tahu janji apa yang akan Dean tuntut darinya, tapi perasaannya seketika menjadi tak karuan.Sementara dia terdiam bingung, laki-laki di sampingnya terus menatapnya dengan serius, menunggu jawaban atas permintaan sesaat lalu. Melihat Nauna yang tak kunjung membuka suara, Dean kembali berkata, “Berjanjilah, kalau rumah ini benar atas nama ayah dan ibu, kamu nggak akan lagi bersikap seperti ini terhadap para iparmu.”Itu adalah permintaan yang sulit. Nauna tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semalam, dia telah mendengar pembicaraan Lusi dan Rudy tentang sertifikat yang kini ada di tangan mereka. Pasangan itu begitu percaya diri, bahkan tidak sabar ingin menunjukkan sertifikat itu pada Dean. Bagaimana mungkin Nauna berani menjanjikan apa yang diminta Dean, jika kemungkinan dia kalah dari para iparnya hampir seratus persen? Dia bahkan harus menanggung konsekuensi dari tantangan yang diberikan Lusi kemarin lalu. Dan sekarang, suaminya justru menamba
Alarm brankas telah berhenti berbunyi dengan sendirinya. Tidak ada lagi suara berisik yang berlomba dengan degup jantung Nauna, tapi suasana di kamar itu tidak berubah menjadi lebih baik. Tatapan nyalang Lusi dan Tari yang tak bergeser sedikit pun dari wajahnya, membuat Nauna bergeming untuk beberapa saat. Sementara itu, dia melihat Tika membawa Bella pergi sembari mengeluarkan ponsel dari saku. “Beraninya kamu masuk ke kamarku dan mencoba membuka brankas. Apa yang ingin kamu ambil, hah? Dasar pencuri!” Lusi berteriak, telunjuknya menuding Nauna tepat di depan wajah. Selama hidupnya, Nauna belum pernah merasa terhina seperti ini. Ketika lancang mulut Lusi menyebutnya sebagai pencuri, dia merasa harga dirinya telah dijatuhkan dengan keji. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Tuduhan Lusi tidak bisa dia terima begitu saja. Meskipun dia memang menyelinap ke kamar perempuan itu dan mencoba membuka brankas, tapi dia bukan pencuri.“Semakin lama, semakin terlihat kelakuan
Begitu mendapat kabar dari Tika bahwa seseorang telah menyusup ke kamar Lusi dan mencoba membobol brankas, Dean segera meminta izin pada atasannya untuk pulang ke rumah. Dia sudah menyuruh Tika menghubungi polisi, tapi ketika sampai di rumah, dia tidak melihat tanda-tanda kehadiran aparat sama sekali. Hanya ada tukang kebun yang membantu membukakan gerbang untuknya. Setelah memarkir mobil dengan asal, Dean bergegas masuk ke dalam rumah. Seketika, suara ribut orang-orang di ruang tengah sampai ke telinganya. Dia tidak membuang waktu lagi dan segera beranjak ke sumber suara. “Apapun yang ingin kamu ambil dari brankasku, kamu tetaplah seorang pencuri!” “Ya, nggak perlu mengelak lagi. Mengaku saja bahwa kamu memang pencuri!” Langkah Dean tertahan di ambang pintu, ketika jelas caci maki itu terdengar olehnya. Dia mengedarkan pandangan, melihat satu per satu, siapa saja yang ada di ruangan itu. Dia pikir, orang yang menyusup ke kamar Lusi sedang dihakimi, tapi dia tidak melihat ada ora
Semua orang yang berkumpul di ruang tengah, telah berpindah ke kamar Lusi. Beberapa berdiri di depan lemari, beberapa lainnya duduk di atas sofa dan tempat tidur. Nauna dan Dean adalah yang berdiri di depan lemari, bersama dengan Yoga yang berkacak pinggang dan Lusi yang bersiap membuka brankas. Pada saat ini, jantung Nauna berdebar sangat kencang. Pandangannya tidak beralih sedikitpun dari brankas yang telah membuatnya kelimpungan hari ini. “Ayo buka brankasnya, Mbak! Biar semuanya jelas.” Yoga mengomando, tampak tidak sabar ingin melihat isi di dalam brankas milik Lusi. Nauna merasa semakin gusar. Jika memang di dalam sana ada sesuatu yang bisa membongkar rahasia para iparnya, mereka pasti tidak akan seberani ini. Segala kemungkinan terburuk bisa saja terjadi, tapi Nauna tidak punya kesempatan untuk mundur. Dia hanya bisa berharap, keberuntungan berpihak padanya kali ini. Sementara itu, Lusi mulai menekan beberapa tombol di pintu brankas. Bunyi ‘klik' menandakan kunci telah ber
Nauna bukan tipikal orang yang sulit mengucap kata maaf, tapi itu tergantung kepada siapa dia harus mengucapkannya. Sekalipun dia tidak salah, jika orang itu pantas mendapatkan permintaan maaf, maka dia akan melakukannya dengan segala kerendahan hati. Tapi, dalam hal ini, para iparnya adalah pengecualian. Ketika Dean menyuruhnya untuk meminta maaf pada mereka, dia malah bergumam dengan pelan, “Minta maaf?”Nauna menatap orang-orang di sekitarnya satu per satu. Berbagai ekspresi tercetak di wajah mereka. Yoga dan Daniel terang-terangan tersenyum sinis. Tari dan Tika masih dengan wajah marah mereka yang menakutkan. Sedangkan Lusi dan Rudy terlihat lebih terlihat tenang. Mereka semua seperti menunggu permintaan maaf darinya untuk kemudian menertawakannya dalam hati. Membayangkan bagaimana mereka akan merayakan keberhasilan hari ini, membuat Nauna tidak sudi meminta maaf. Tatapannya lalu berhenti di wajah Dean. Seraut suram itu belum berubah. Mata kelam yang menatap ke arahnya masih mem
Mungkin, itu adalah permintaan maaf terberat yang pernah Nauna ucapkan. Dia terus menundukkan kepala, tidak mau melihat raut kemenangan di wajah para iparnya. Mereka mungkin sedang menertawakannya dalam hati—pikirnya.Beberapa saat berlalu, belum ada respons dari permintaan maafnya yang tidak tulus. Pada saat ini, Nauna memberanikan diri mengangkat kelopak mata dan melihat para iparnya memalingkan wajah darinya. “Kalau memang ingin minta maaf, lakukanlah dengan tulus.” Rudy berkata dengan acuh tak acuh. Ekspresinya tidak bisa ditebak. Nauna meringis dalam hati, tapi hanya bisa menghela napas dan menundukkan kepala sekali lagi. Setelah mengatur suaranya, dia kembali mengulang, “Aku minta maaf.”“Terdengar nggak tulus sama sekali.” Tika mencemooh. “Nau, lakukan dengan sungguh-sungguh.” Dean meminta. “Berjanjilah, kamu nggak akan mengulangi lagi dan akan bersikap baik pada mereka.”Nauna menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. Dia benar-benar diperlakukan seperti orang