Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Ini apa, Mas?”Nauna tidak berharap akan menemukan sesuatu yang membuat paginya berantakan hari ini. Tapi, selembar kertas itu seperti sengaja menunjukkan diri ketika dia sibuk memasukkan berkas-berkas penting ke dalam tas kerja suaminya. Pada saat itu, Dean belum selesai menata rambut. Dia terpaksa menoleh dan mendapati sorot mata tajam mengarah padanya. Lantas, dia menurunkan kelopak mata, hingga jatuh tatapnya pada selembar kertas di antara jari-jari Nauna. Oh, Dean tau kertas itu. Kemarin, dia memasukkannya ke dalam tas dan lupa membuangnya ke tempat sampah. Sekarang, dia sedikit menyesal. “Kamu bayarin tagihan air dan listrik bulan ini, Mas? Bukannya bulan ini giliran Mas Rudy yang bayar? Kenapa kamu lagi yang bayarin?” Nauna menatap penuh selidik. “Ah, itu, aku bantuin Mas Rudy untuk bayar pakai uangnya.” Dean tidak pandai berbohong, gelagatnya sungguh mencurigakan. Rambut yang hampir klimis berantakan lagi karena digaruk dengan asal. “Jangan bohong, Mas. Kamu yang bayarin
Nauna tersentak saat namanya dan nama suaminya disebut. Jadi, ini semacam obrolan rahasia yang disembunyikan dari dirinya dan juga Dean? Dia merapatkan tubuh ke balik tembok dan memasang telinga baik-baik. “Tadi, aku dengar mereka sedang berdebat soal tagihan listrik yang dibayarkan Dean. Aku pikir itu akan lama. Mereka mungkin masih di kamar sampai sekarang.” Tika berkata. Rupa-rupanya dia menguping pembicaraan Nauna dan Dean di kamar. Sungguh, tidak sopan! “Pokoknya, jangan sampai mereka dengar soal ini.” Lusi mewanti-wanti, seolah ada rahasia besar yang harus mereka pegang bersama. “Tenang, Mbak. Kami nggak akan bocor. Jadi, bisa terjual berapa?” Tari angkat suara, dia bertanya dengan penasaran. “Sekitar empat milyar rupiah,” sahut Lusi. Nauna terbelalak. Benda apa yang ingin mereka jual seharga empat milyar rupiah? Dia tidak bisa menerka. Apa itu tanah warisan atau yang lainnya? “Wah, kalau dibagi bertiga, bisa dapat masing-masing lebih dari satu milyar!” Tari berseru dengan
Itu bukan yang Nauna inginkan. Dia tidak berharap Dean mendukungnya, tapi setidaknya jangan ikut campur. “Apa yang kalian perdebatkan?” Meski sedari tadi dia mendengar apa yang diperdebatkan istri dan ipar-iparnya, tapi Dean tetap bertanya untuk memastikan. “Hari ini giliran Mbak Lusi belanja mingguan dan dia nggak mau melakukan itu.” Nauna mengadu. “Bukan nggak mau, tapi lagi nggak bisa.” Lusi meralat. Dia lalu menatap adik iparnya yang laki-laki. “Dean, kamu tau sendiri kami lagi banyak kebutuhan. Anak-anak lagi banyak kegiatan di sekolah. Rey bahkan mau study tour ke luar kota dengan biaya yang nggak sedikit.”“Nggak apa-apa, Mbak. Biar minggu ini kami yang belanja.” Dean berkata tanpa berpikir dua kali. Nauna melayangkan tatapan protes, tapi dia tidak mengubah keputusannya. “Nauna, sarapannya sudah siap? Aku harus segera berangkat. Tolong cepat sedikit, ya?”Setelah berkata begitu, Dean beranjak meninggalkan dapur. Nauna mendengus tak percaya. Tapi, dia tidak membantah. “Lihat,
Bagaimanapun caranya? Nauna mengulang dalam hati. Bukankah kalimat itu terdengar seperti ancaman untuk Dean? Dia tidak tahu apa yang direncanakan Lusi dan Rudy, tapi jika itu menyangkut suaminya, maka dia akan mencari tahu. Pada saat ini, Nauna tidak mendengar pasangan itu bicara lagi. Alih-alih, suara kursi yang bergeser. Dia bergegas melarikan diri ke lantai atas agar tak tertangkap basah telah mencuri dengar. Dari lantai atas, dia bisa melihat Lusi dan Rudy berjalan ke luar rumah. Nauna beranjak masuk ke kamarnya. Dia menjadi tidak tenang sepanjang hari karena memikirkan hal ini. Ponsel di tangannya digenggam dengan erat. Nauna ingin menghubungi Dean dan berbicara tentang apa yang dia dengar. Tapi, suaminya mungkin masih di perjalanan atau baru saja tiba di kantor. Bukan saat yang tepat untuk bicara hal serius. Nauna menyimpan rasa penasaran dan kekhawatirannya sendiri untuk sementara. Tapi, ini benar-benar membuatnya tidak bisa duduk dengan tenang sepanjang waktu. Pukul sebela
Itu adalah fakta baru yang Nauna dengar hari ini. Selama ini, yang dia tahu, rumah yang mereka tempati sekarang adalah milik bersama dengan para iparnya—bukan milik Dean seorang. Seperti apa yang pernah Dean katakan, ibunya ingin dia dan semua saudaranya tinggal di sana bersama-sama. Pantas saja Nauna merasa ada yang aneh dengan keinginan mendiang mertuanya. Ternyata, memang ada yang disembunyikan. Mungkin wasiat itu tidak pernah ada sama sekali. Pada saat mengejutkan itu, pelayan datang membawa segelas jus lemon. Nauna mengangguk sebagai tanda terima kasih dan pelayan itu segera pergi. Agaknya, Rudy dan temannya juga akan pergi. Mereka tidak lagi berbicara, alih-alih memanggil pelayan dan meminta bill. Setelah membayar pesanan, mereka benar-benar beranjak dari sana. Sudut mata Nauna mengikuti langkah mereka, sampai dua orang itu naik ke atas sepeda motor yang parkir tak jauh dari sana. Akhirnya, dia bisa membuka masker dan menghela napas panjang, setelah memastikan Rudy dan teman
Dapur mendadak sunyi setelah meluncur kalimat tajam dan penuh keyakinan dari mulut Nauna. Dia menyorot wajah-wajah di depannya tanpa rasa takut. Dia sudah menahan diri sedari tadi, tapi mendengar omong kosong mereka—yang tak kunjung berhenti—membuatnya sungguh muak. Setelah beberapa saat terpaku, Lusi maju satu langkah. Dia membalas tatapan berani Nauna dan menarik segaris senyum meremehkan. “Kamu bilang apa barusan? Mau membuat Dean mengusir kami dari rumah ini?” Lusi mengutip kata-kata Nauna lalu mendecih dengan keras. “Nauna, selama ini aku pikir kamu perempuan polos yang penurut dan baik hati, tapi ternyata aku salah. Kamu punya niat busuk!” Telunjuknya menuding Nauna tepat di depan wajah. “Sepertinya selama ini kamu hanya berpura-pura baik di depan Dean. Ternyata, kamu ingin menyingkirkan kami dari rumah ini. Begitu?” Tari ikut maju. Dia berdiri di samping Lusi dan melipat tangan di depan dada. “Ternyata kamu perempuan licik!” Tika menimpali dengan sengit. “Sepertinya dia mau
Sepanjang dua puluh lima tahun perjalanan hidupnya, Nauna tidak pernah berharap akan memiliki musuh—tidak satu orang pun. Dia terbiasa hidup dengan tenang. Menjadi perempuan baik-baik dan tidak pernah bermasalah dengan siapapun.Ketika masih duduk di bangku sekolah, dia memiliki banyak sekali teman. Saat naik ke jenjang kuliah, dia dikelilingi banyak orang yang menyukai kepribadiannya. Bahkan, ketika masuk lingkungan kerja, dia mendapat sambutan hangat dari semua orang. Singkatnya, dia memiliki reputasi yang baik. Namun, semuanya menjadi berbeda setelah dia menikah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa tidak disukai. Sejak hari dimana dia dan Dean resmi menjadi pasangan suami istri, dia sudah mendapat tatapan berbeda dari beberapa orang yang datang hari itu—Rudy, Yoga, Daniel dan para istri mereka yang manipulatif. Meskipun saat itu mereka tidak menunjukkan rasa tak suka secara terang-terangan, tapi Nauna dapat merasakan dari cara mereka menatapnya. Sekali pun mereka terseny