Share

Bab 5

Itu adalah fakta baru yang Nauna dengar hari ini. Selama ini, yang dia tahu, rumah yang mereka tempati sekarang adalah milik bersama dengan para iparnya—bukan milik Dean seorang.

Seperti apa yang pernah Dean katakan, ibunya ingin dia dan semua saudaranya tinggal di sana bersama-sama.

Pantas saja Nauna merasa ada yang aneh dengan keinginan mendiang mertuanya. Ternyata, memang ada yang disembunyikan. Mungkin wasiat itu tidak pernah ada sama sekali.

Pada saat mengejutkan itu, pelayan datang membawa segelas jus lemon. Nauna mengangguk sebagai tanda terima kasih dan pelayan itu segera pergi.

Agaknya, Rudy dan temannya juga akan pergi. Mereka tidak lagi berbicara, alih-alih memanggil pelayan dan meminta bill. Setelah membayar pesanan, mereka benar-benar beranjak dari sana.

Sudut mata Nauna mengikuti langkah mereka, sampai dua orang itu naik ke atas sepeda motor yang parkir tak jauh dari sana. Akhirnya, dia bisa membuka masker dan menghela napas panjang, setelah memastikan Rudy dan temannya itu benar-benar pergi.

Untuk beberapa saat, Nauna terpekur di tempatnya. Dia berusaha menenangkan pikiran dan berpikir dengan jernih. Kenyataan yang diam-diam dia dengar hari ini, cukup membuat kepalanya pusing.

Dia baru mengetahui bahwa rumah yang mereka tempati adalah milik Dean. Lantas, Rudy mencoba menjualnya—bukan hanya Rudy, para iparnya yang lain mungkin juga terlibat.

Nauna meneguk jus lemon—yang dia pesan secara acak—hingga tandas. Tenggorokannya yang kering menjadi jauh lebih baik setelahnya.

Pada saat ini, dia mendengar dering ponsel dari dalam tas. Tangannya bergerak cepat, menarik keluar benda pipih itu untuk melihat layarnya yang menyala.

Sebuah panggilan masuk dari Lusi. Nauna melirik jam digital di sudut kiri layar ponsel. Dia tersentak, mendapati waktu sudah hampir menunjuk pukul dua belas siang. Ternyata, dia sudah menghabiskan banyak waktu untuk mencuri dengar, hingga lupa untuk pulang.

Nauna tidak ingin berdebat dengan Lusi di telepon. Dia menolak panggilan itu dan mematikan ponselnya. Sebelah tangannya terangkat memanggil pelayan. Setelah membayar jus lemonnya, dia bergegas pergi.

Dia kembali pada mobilnya di area parkir hypermart. Lantas, dia melajukan mobil dengan kencang dan bersiap menerima sambutan dari para iparnya yang perempuan.

Tepat seperti dugaan, Nauna disambut oleh sorot emosi di mata Lusi, Tika dan Tari begitu dia tiba di rumah dan turun dari mobil. Alih-alih membantu mengangkat belanjaan yang begitu banyak, mereka justru menghalangi jalannya di depan pintu utama.

“Kamu sengaja mengulur waktu?” Lusi yang pertama kali bersuara. Dia sebagai ipar tertua di rumah ini selalu merasa punya hak untuk bicara lebih dulu. “Dan kamu sengaja menolak teleponku? Bahkan, kamu sengaja mematikan HP-mu!” Dia berkacak pinggang, menyorot Nauna seperti hendak mencakar wajahnya.

“Sepertinya, dia memang sengaja, Mbak!” Tari berbicara pada Lusi, tapi matanya mendelik pada Nauna. “Sepertinya, dia mulai keberatan membantu saudara-saudara iparnya. Padahal hanya belanja kebutuhan dapur dan bayar tagihan, tapi seolah-olah kita menguras habis hartanya. Dean saja nggak pernah keberatan!”

“Sejak kapan kamu mulai keberatan, Nauna? Apa jangan-jangan, selama ini kamu selalu mempengaruhi Dean supaya dia nggak mau membantu kami?” Tika ikut bersuara

Nauna mendecih. Dia sedang tidak ingin berdebat, tapi orang-orang ini sungguh menyebalkan. Mereka terus mengoceh dan membuat suasana hatinya semakin tidak baik.

“Ternyata, kamu ini perempuan licik, ya? Kamu ingin membuat suami kamu jauh dari saudara-saudaranya?” Lusi memindai wajah Nauna dengan sorot merendahkan.

“Kalian ini bicara apa?” Nauna menanggapi dengan tenang setelah berhasil menekan emosinya dalam-dalam. “Kalian sadar nggak? Dengan kalian berdiri di depan pintu, menghadang jalanku dan memarahiku seperti ini, kalian sudah mengulur lebih banyak waktu.”

Nauna tidak mengerti. Tiga perempuan ini marah karena dirinya pulang terlambat. Mereka menuduhnya sengaja mengulur waktu, tapi tak sadar bahwa mereka sendiri yang sebenarnya telah mengulur waktu.

Sebelum mereka sempat bersuara lagi, Nauna mengangkat tangan dan menunjuk pada jam tangan kecil yang melingkar di pergelangannya. Sudah hampir pukul setengah satu siang. Sebentar lagi, anak-anak pulang sekolah dan mereka masih membuang-buang waktu dengan merundung Nauna di depan pintu.

“Kalau kalian nggak mau anak-anak kalian kelaparan, lebih baik minggir sekarang.” Nauna berkata dengan tegas, tapi tenang, berbanding terbalik dengan raut kesal di wajah para iparnya.

Sesaat kemudian, mereka menyingkir dari pintu dan membiarkan Nauna masuk membawa banyak belanjaan di tangannya.

“Ingat, Nauna, jangan pernah pengaruhi Dean untuk menjauh dari kami!” Lusi mewanti-wanti sembari mengekori langkah Nauna menuju dapur. Tari dan Tika juga ikut bersamanya.

Nauna memutar bola matanya, sama sekali tidak ingin peduli. Dia meletakkan belanjaan di atas meja dan menarik kursi untuk duduk. Tangannya meraih gelas dan teko kaca secara bersamaan, lalu menuangkan air dan meminumnya hingga habis.

“Ingat, keluarga Dean itu hanya kakak-kakaknya dan juga kami para iparnya. Dia sudah nggak punya orang tua. Jadi, kamu jangan sampai menjauhkannya dari saudara-saudaranya!” Tari ikut mewanti-wanti.

“Asal kamu tahu, Dean itu banyak hutang budi sama kakak-kakaknya. Sejak orang tuanya meninggal, kakak-kakaknya yang cari uang untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya kuliah dia. Sekarang, dia bisa kerja di perusahaan besar kan juga berkat usaha Mas Rudy, Mas Yoga dan Mas Daniel,” ucap Tika.

Nauna ingin tertawa, perempuan itu berlagak seolah paling tahu tentang keluarga ini. Padahal, Tika baru tinggal disini selama kurang lebih empat tahun.

Dia yakin, apa yang dikatakan Tika adalah omong kosong. Nauna tahu bagaimana perjuangan suaminya untuk bisa kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Meski dia belum membersamainya kala itu, tapi Dean telah menceritakan semua padanya.

Sama sekali tidak ada campur tangan kakak-kakaknya, seperti apa yang dikatakan Tika. Dean berjuang sendiri, bekerja sambil kuliah hingga mendapat gelar sarjana dan diterima di perusahaan besar.

“Beruntung kamu bertemu Dean saat dia sudah mapan. Kalau nggak, mana mungkin kamu mau menikah sama dia. Dari wajahmu saja sudah kelihatan, bahwa kamu tipikal perempuan yang nggak mau diajak susah!” Lusi berkata dengan pongahnya.

Nauna mendengarkan sembari menuang air lagi ke dalam gelas. Kali ini, dia meminumnya seteguk demi seteguk.

“Ya, seandainya kamu menikah dengan Dean saat keadaan keluarga ini sedang terpuruk karena perusahaan orang tuanya yang bangkrut, kamu pasti sudah kabur karena takut hidup susah. Nggak seperti kami yang tetap mendampingi suami kami dalam suka maupun duka. Bahkan, kami rela uang belanja kami berkurang demi membiayai kuliah suami kamu.” Tari menimpali seolah dia dan dua rekannya adalah perempuan paling setia.

“Jadi, kalau kamu berniat menjauhkan Dean dari kami, kamu benar-benar nggak tahu diri!” tukas Lusi.

Ting!

Nauna menghantamkan gelas di tangannya pada permukaan meja. Kemudian, dia berdiri. Kedua matanya menyorot wajah kakak iparnya satu per satu.

Lusi, Tari dan Tika mendadak terdiam, mereka seperti kehilangan suara untuk beberapa saat. Tatapan Nauna terlalu dingin dan tajam, mereka tidak pernah melihat itu sebelumnya.

Lantas, disaat diamnya tiga orang yang sedari tadi terus menyerang, Nauna membuka bibirnya dan berkata dengan dingin, “Kalau kalian terus bicara omong kosong padaku seperti ini, aku bukan hanya akan mempengaruhi Mas Dean untuk menjauhi kalian. Tapi, aku juga akan membuat dia mengusir kalian dari rumah ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status