Dapur mendadak sunyi setelah meluncur kalimat tajam dan penuh keyakinan dari mulut Nauna. Dia menyorot wajah-wajah di depannya tanpa rasa takut. Dia sudah menahan diri sedari tadi, tapi mendengar omong kosong mereka—yang tak kunjung berhenti—membuatnya sungguh muak.
Setelah beberapa saat terpaku, Lusi maju satu langkah. Dia membalas tatapan berani Nauna dan menarik segaris senyum meremehkan.“Kamu bilang apa barusan? Mau membuat Dean mengusir kami dari rumah ini?” Lusi mengutip kata-kata Nauna lalu mendecih dengan keras. “Nauna, selama ini aku pikir kamu perempuan polos yang penurut dan baik hati, tapi ternyata aku salah. Kamu punya niat busuk!” Telunjuknya menuding Nauna tepat di depan wajah.“Sepertinya selama ini kamu hanya berpura-pura baik di depan Dean. Ternyata, kamu ingin menyingkirkan kami dari rumah ini. Begitu?” Tari ikut maju. Dia berdiri di samping Lusi dan melipat tangan di depan dada.“Ternyata kamu perempuan licik!” Tika menimpali dengan sengit. “Sepertinya dia mau berperang dengan kita, Mbak,” ucapnya pada Tari dan Lusi. Senyum mengejek tercetak di wajahnya.“Ya, dia sudah membuka topengnya di depan kita. Selama ini dia hanya berpura-pura baik, ternyata aslinya seperti ini, jahat dan licik!” tukas Tari.“Oh, jadi kamu mau perang dengan kami?” Lusi bertanya, segaris senyum sinis tertarik di bibirnya. “Selama ini, kami sudah bersikap baik dan menerima kamu sebagai ipar termuda di rumah ini, tapi ini balasan kamu? Kamu ingin bermusuhan dengan kami?”Nauna tersenyum kecil. Dia baru tahu bahwa para iparnya begitu manipulatif. Mereka seolah sedang berlagak sebagai korban, sedangkan Nauna adalah seorang pelaku kejahatan yang wajib untuk diadili.Sebenarnya, dia tidak ingin memantik api permusuhan, tapi tiga perempuan di depannya semakin hari semakin keterlaluan. Dia masih bisa menahan diri ketika mereka terus memanfaatkan keadaan dan melempar tanggung jawab mereka padanya.Tapi, setelah tahu apa yang diam-diam sedang mereka rencanakan, Nauna benar-benar tidak bisa tinggal diam. Dia bersumpah, tidak akan membiarkan mereka menjual rumah Dean begitu saja.Melihat Nauna yang diam saja, Lusi kembali berbicara. “Jangan harap kamu bisa mengusir kami dari rumah ini, Nauna. Kamu lupa ini rumah siapa? Ini rumah peninggalan ayah dan ibu mertua. Semua anaknya memiliki hak yang sama atas rumah ini. Ini bukan rumah suamimu, jadi kamu nggak ada hak untuk mengusir kami!”Pada saat ini, Nauna ingin sekali berkata bahwa rumah ini memang milik ayah dan ibu mertua, tapi sudah diwariskan pada Dean, seperti apa yang dia dengar dari pembicaraan Rudy dan pria tinggi besar di kafe tadi. Dengan kata lain, rumah ini adalah milik Dean, bukan milik bersama.Namun, dia menahan diri untuk tidak mengatakannya. Sekarang, bukan saat yang tepat untuk itu. Biarkan mereka berpikir dia tidak tahu apa-apa. Setidaknya, untuk beberapa saat lagi.“Mungkin dia lupa soal itu, Mbak. Dia pikir, mentang-mentang suaminya lebih banyak menutupi kebutuhan dapur dan membayar tagihan, rumah ini sudah jadi miliknya. Padahal, itu adalah salah satu bentuk balas budi Dean untuk kakak-kakaknya.” Tari berkata dengan begitu percaya diri.“Dan sepertinya dia lupa darimana dia berasal. Sebelum menikah dengan Dean, dia kan hanya gadis kampung yang merantau ke kota dan tinggal di kontrakan sempit. Sekarang, bisa tinggal di rumah sebesar ini langsung lupa diri dan ingin menguasai semuanya! Benar-benar serakah dan nggak tahu diri!” ujar Tika ketus.Mendengar kata-kata itu, Nauna menarik senyuman sinis. Ternyata ipar-iparnya yang manipulatif ini benar-benar tidak mengenal dirinya dengan baik. Mereka bahkan tidak pernah tahu latar belakang keluarganya.Mereka pikir, Nauna hanyalah gadis kampung yang tidak punya apa-apa. Menurut mereka, dia baru merasakan hidup enak setelah menikah dengan Dean. Mereka mungkin akan terkejut jika tahu yang sebenarnya.“Kamu seharusnya sadar posisimu, Nauna. Diantara kita, kamu adalah yang paling terakhir masuk ke rumah ini, tapi kamu berlagak seperti nyonya besar!” Tari kembali bersuara.“Dean akan marah kalau tahu istrinya mulai kurang ajar pada kakak-kakak iparnya. Kamu nggak ingat tadi pagi saat kita berdebat? Dia bahkan nggak membelamu sama sekali dan malah nyuruh kamu jangan mendebat kami! Dia itu tahu diri, jadi kamu nggak usah mimpi bisa mempengaruhinya untuk bersikap buruk pada kami!” timpal Tika berapi-api.Lusi tertawa mengejek. “Ya, dan jangan mimpi bisa mengusir kami dari rumah ini. Ingat, ini bukan rumah suamimu!” Dia berkata dengan penuh penekanan.Nauna mendengkus. Jika menuruti emosi, dia mungkin sudah berkelahi dengan para iparnya karena kata-kata pedas yang terus meluncur dari mulut mereka. Tapi, dia tidak mau bertindak bodoh dengan melakukan kekerasan.“Kalian masih ingin terus bicara?” Nauna bertanya dengan dingin. Dia menatap tiga perempuan di depannya dengan tajam. “Sebentar lagi, anak-anak kalian pulang sekolah. Apa kalian mau mereka kelaparan?”Dia meraih salah satu kresek berisi bahan masakan yang dia beli lalu melemparnya ke lantai. Lusi, Tari dan Tika terbelalak melihatnya. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Nauna akan berani melakukan hal tidak sopan seperti ini.“Tunggu apa lagi? Ayo masak! Bukankah kalian takut keluarga kalian kelaparan? Aku sudah bermurah hati membelikan semua bahan yang kalian perlukan. Jadi, silahkan masak yang enak untuk keluarga kalian masing-masing.”Setelah berkata begitu, Nauna beranjak pergi. Baru beberapa langkah, dia berhenti dan membalikkan badan. Sekali lagi dia menatap para iparnya dengan sorot tajam.“Sebenarnya, aku nggak ingin bermusuhan apalagi sampai berperang dengan kalian. Aku masih menghormati kalian sebagai ipar, tapi kalau kalian terus bicara omong kosong dan menyudutkanku seperti tadi, aku nggak tahu apakah masih bisa menghormati kalian atau nggak.”Nauna kembali berbalik dan melangkah pergi di bawah tatapan marah ipar-iparnya. Tika hampir saja berlari kearahnya dan berniat menarik jilbabnya, tapi Lusi dengan sigap menahan aksi perempuan itu.“Biarkan saja. Kita sudah nggak punya banyak waktu.” Lusi mengingatkan. Walaupun sebenarnya, dia juga ingin menghajar Nauna, tapi hari benar-benar telah beranjak siang. Anak-anak sebentar lagi akan pulang dan mereka belum memasak apa-apa.“Nauna benar-benar sudah nggak takut sama kita. Aku nggak nyangka dia seberani itu. Kemarin-kemarin, dia masih penurut. Dia bahkan nggak berani menyela saat kita bicara, tapi hari ini sangat berbeda!” Tari menyampaikan apa yang dia pikirkan. Meski sedari tadi dia begitu percaya diri menyerang Nauna, namun dalam hatinya dia merasa ada yang aneh.Lusi dan Tika juga memiliki pikiran yang sama. Mereka cukup terkejut dengan perubahan Nauna hari ini. Perempuan itu berani melawan bahkan mengancam para iparnya seolah dia punya kuasa. Tiba-tiba aja, Lusi teringat sesuatu.“Apa mungkin... dia sudah tahu rencana kita?”Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka