Share

Bab 6

Dapur mendadak sunyi setelah meluncur kalimat tajam dan penuh keyakinan dari mulut Nauna. Dia menyorot wajah-wajah di depannya tanpa rasa takut. Dia sudah menahan diri sedari tadi, tapi mendengar omong kosong mereka—yang tak kunjung berhenti—membuatnya sungguh muak.

Setelah beberapa saat terpaku, Lusi maju satu langkah. Dia membalas tatapan berani Nauna dan menarik segaris senyum meremehkan.

“Kamu bilang apa barusan? Mau membuat Dean mengusir kami dari rumah ini?” Lusi mengutip kata-kata Nauna lalu mendecih dengan keras. “Nauna, selama ini aku pikir kamu perempuan polos yang penurut dan baik hati, tapi ternyata aku salah. Kamu punya niat busuk!” Telunjuknya menuding Nauna tepat di depan wajah.

“Sepertinya selama ini kamu hanya berpura-pura baik di depan Dean. Ternyata, kamu ingin menyingkirkan kami dari rumah ini. Begitu?” Tari ikut maju. Dia berdiri di samping Lusi dan melipat tangan di depan dada.

“Ternyata kamu perempuan licik!” Tika menimpali dengan sengit. “Sepertinya dia mau berperang dengan kita, Mbak,” ucapnya pada Tari dan Lusi. Senyum mengejek tercetak di wajahnya.

“Ya, dia sudah membuka topengnya di depan kita. Selama ini dia hanya berpura-pura baik, ternyata aslinya seperti ini, jahat dan licik!” tukas Tari.

“Oh, jadi kamu mau perang dengan kami?” Lusi bertanya, segaris senyum sinis tertarik di bibirnya. “Selama ini, kami sudah bersikap baik dan menerima kamu sebagai ipar termuda di rumah ini, tapi ini balasan kamu? Kamu ingin bermusuhan dengan kami?”

Nauna tersenyum kecil. Dia baru tahu bahwa para iparnya begitu manipulatif. Mereka seolah sedang berlagak sebagai korban, sedangkan Nauna adalah seorang pelaku kejahatan yang wajib untuk diadili.

Sebenarnya, dia tidak ingin memantik api permusuhan, tapi tiga perempuan di depannya semakin hari semakin keterlaluan. Dia masih bisa menahan diri ketika mereka terus memanfaatkan keadaan dan melempar tanggung jawab mereka padanya.

Tapi, setelah tahu apa yang diam-diam sedang mereka rencanakan, Nauna benar-benar tidak bisa tinggal diam. Dia bersumpah, tidak akan membiarkan mereka menjual rumah Dean begitu saja.

Melihat Nauna yang diam saja, Lusi kembali berbicara. “Jangan harap kamu bisa mengusir kami dari rumah ini, Nauna. Kamu lupa ini rumah siapa? Ini rumah peninggalan ayah dan ibu mertua. Semua anaknya memiliki hak yang sama atas rumah ini. Ini bukan rumah suamimu, jadi kamu nggak ada hak untuk mengusir kami!”

Pada saat ini, Nauna ingin sekali berkata bahwa rumah ini memang milik ayah dan ibu mertua, tapi sudah diwariskan pada Dean, seperti apa yang dia dengar dari pembicaraan Rudy dan pria tinggi besar di kafe tadi. Dengan kata lain, rumah ini adalah milik Dean, bukan milik bersama.

Namun, dia menahan diri untuk tidak mengatakannya. Sekarang, bukan saat yang tepat untuk itu. Biarkan mereka berpikir dia tidak tahu apa-apa. Setidaknya, untuk beberapa saat lagi.

“Mungkin dia lupa soal itu, Mbak. Dia pikir, mentang-mentang suaminya lebih banyak menutupi kebutuhan dapur dan membayar tagihan, rumah ini sudah jadi miliknya. Padahal, itu adalah salah satu bentuk balas budi Dean untuk kakak-kakaknya.” Tari berkata dengan begitu percaya diri.

“Dan sepertinya dia lupa darimana dia berasal. Sebelum menikah dengan Dean, dia kan hanya gadis kampung yang merantau ke kota dan tinggal di kontrakan sempit. Sekarang, bisa tinggal di rumah sebesar ini langsung lupa diri dan ingin menguasai semuanya! Benar-benar serakah dan nggak tahu diri!” ujar Tika ketus.

Mendengar kata-kata itu, Nauna menarik senyuman sinis. Ternyata ipar-iparnya yang manipulatif ini benar-benar tidak mengenal dirinya dengan baik. Mereka bahkan tidak pernah tahu latar belakang keluarganya.

Mereka pikir, Nauna hanyalah gadis kampung yang tidak punya apa-apa. Menurut mereka, dia baru merasakan hidup enak setelah menikah dengan Dean. Mereka mungkin akan terkejut jika tahu yang sebenarnya.

“Kamu seharusnya sadar posisimu, Nauna. Diantara kita, kamu adalah yang paling terakhir masuk ke rumah ini, tapi kamu berlagak seperti nyonya besar!” Tari kembali bersuara.

“Dean akan marah kalau tahu istrinya mulai kurang ajar pada kakak-kakak iparnya. Kamu nggak ingat tadi pagi saat kita berdebat? Dia bahkan nggak membelamu sama sekali dan malah nyuruh kamu jangan mendebat kami! Dia itu tahu diri, jadi kamu nggak usah mimpi bisa mempengaruhinya untuk bersikap buruk pada kami!” timpal Tika berapi-api.

Lusi tertawa mengejek. “Ya, dan jangan mimpi bisa mengusir kami dari rumah ini. Ingat, ini bukan rumah suamimu!” Dia berkata dengan penuh penekanan.

Nauna mendengkus. Jika menuruti emosi, dia mungkin sudah berkelahi dengan para iparnya karena kata-kata pedas yang terus meluncur dari mulut mereka. Tapi, dia tidak mau bertindak bodoh dengan melakukan kekerasan.

“Kalian masih ingin terus bicara?” Nauna bertanya dengan dingin. Dia menatap tiga perempuan di depannya dengan tajam. “Sebentar lagi, anak-anak kalian pulang sekolah. Apa kalian mau mereka kelaparan?”

Dia meraih salah satu kresek berisi bahan masakan yang dia beli lalu melemparnya ke lantai. Lusi, Tari dan Tika terbelalak melihatnya. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Nauna akan berani melakukan hal tidak sopan seperti ini.

“Tunggu apa lagi? Ayo masak! Bukankah kalian takut keluarga kalian kelaparan? Aku sudah bermurah hati membelikan semua bahan yang kalian perlukan. Jadi, silahkan masak yang enak untuk keluarga kalian masing-masing.”

Setelah berkata begitu, Nauna beranjak pergi. Baru beberapa langkah, dia berhenti dan membalikkan badan. Sekali lagi dia menatap para iparnya dengan sorot tajam.

“Sebenarnya, aku nggak ingin bermusuhan apalagi sampai berperang dengan kalian. Aku masih menghormati kalian sebagai ipar, tapi kalau kalian terus bicara omong kosong dan menyudutkanku seperti tadi, aku nggak tahu apakah masih bisa menghormati kalian atau nggak.”

Nauna kembali berbalik dan melangkah pergi di bawah tatapan marah ipar-iparnya. Tika hampir saja berlari kearahnya dan berniat menarik jilbabnya, tapi Lusi dengan sigap menahan aksi perempuan itu.

“Biarkan saja. Kita sudah nggak punya banyak waktu.” Lusi mengingatkan. Walaupun sebenarnya, dia juga ingin menghajar Nauna, tapi hari benar-benar telah beranjak siang. Anak-anak sebentar lagi akan pulang dan mereka belum memasak apa-apa.

“Nauna benar-benar sudah nggak takut sama kita. Aku nggak nyangka dia seberani itu. Kemarin-kemarin, dia masih penurut. Dia bahkan nggak berani menyela saat kita bicara, tapi hari ini sangat berbeda!” Tari menyampaikan apa yang dia pikirkan. Meski sedari tadi dia begitu percaya diri menyerang Nauna, namun dalam hatinya dia merasa ada yang aneh.

Lusi dan Tika juga memiliki pikiran yang sama. Mereka cukup terkejut dengan perubahan Nauna hari ini. Perempuan itu berani melawan bahkan mengancam para iparnya seolah dia punya kuasa. Tiba-tiba aja, Lusi teringat sesuatu.

“Apa mungkin... dia sudah tahu rencana kita?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status